Postingan

Kalau kata si Riska Ovt: Ya betul OVERTHINKING!

ANTARA AKU DAN AKU  Ini bukan tentang solusi. Bukan pula tentang keberanian. Tulisanku ini hanya ingin menjadi selembar bantal bagi siapa saja yang kepalanya terlalu berat menampung keraguan, ketakutan, dan segala hal yang tak selesai. OVERTHINKING , kata orang, dan juga kata adekku, Riska tondii ni abang. Ya begitu katanya...tapi bagiku, itu adalah bentuk lain dari rindu yang belum punya nama. Rindu kepada hidup yang sederhana. Rindu kepada tidur yang damai. Rindu kepada diam yang tak perlu dipertanggungjawabkan. Aku tidak menulis ini untuk mereka yang kuat. Aku menulis untuk mereka yang duduk sendirian pukul dua pagi, yang membuka lembaran kosong bukan untuk berkarya, tapi sekadar ingin merasa ditemani oleh seseorang yang tak akan menghakimi. Jika kau pernah merasa bahwa isi kepalamu adalah penjara, dan kau adalah narapidana yang juga sekaligus sipirnya, maka tulisan ini untukmu. Selamat membaca. Semoga, di antara paragraf-paragraf ini, kau menemukan jeda untuk bernapas, meski ha...

Di Tepi KEGILAAN

Okay jadi begini ceritaku sore ini, biar kutarik lebih dalam ke palung-palung yang lebih sepi. TENTANG KEWARASAN DAN KEGILAAN.  Kewarasan dalam sistem ini bukan lagi soal stabilitas batin, tapi soal kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan ekonomi. Mereka yang bisa menahan tangis di kantor, tetap hadir di pertemuan meski hatinya kosong, dianggap KUAT . Padahal di dalam, jiwa mereka sudah remuk. Sementara GILA di sini bukan sekadar kondisi klinis, tapi simbol dari melawan standar palsu, menolak pura-pura, dan berani hidup sesuai ritme batin sendiri, meski dianggap aneh, gagal, atau bahkan kehilangan tempat di masyarakat.  Jadi, apa benar menjadi waras adalah satu-satunya cara bertahan? Atau justru itu adalah bentuk kekerasan sistemik paling halus?  Jadi Kek gini, sore itu dalam suasana hujan yang dingin, aku duduk berteduh di emperan toko yang katanya sudah tutup sejak pandemi. Tak ada pekerjaan, tak ada panggilan. Hanya ada aku, hujan dan suara kendaraan le...

KEHENINGAN: Pelukan Sunyi, Tempat Terakhir yang tidak Menghakimi

Aku berbaring di dada keheningan, karena hanya ia yang bisa mendengar napas gugupku tanpa menyuruhku tenang. KEHENINGAN: Pelukan Sunyi, Tempat Terakhir yang tidak Menghakimi  Ku pikir…jangan-jangan yang disebut “suara hati” itu cuma suara orang kalah yang tetap nekat ingin menang padahal semua bukti sudah bilang, “Udah, nyerah aja, boyy”.  Tapi aku yang hidup dari nasi bungkus dan ilusi disore hari, aku tidak tahu cara menyerah yang elegan. Kalau menyerah cuma jadi alasan untuk TIDAK BERHARAP , bukankah itu cuma bentuk KEMATIAN pelan-pelan yang DISAMARKAN dengan senyuman?, dan seperti dalam lagu itu, aku pun bertanya, “Haruskah aku menyerah melawan kebisingan?” ya itu kebisingan batin. Jeritan jiwa yang menggumpal dalam tanda tanya.  Ada hari-hari di mana aku iri pada burung. Ia terbang bebas, tak harus menjelaskan pada siapa pun ke mana tujuannya. Ia menyanyi, tanpa perlu validasi dari panggung atau penonton. Aku sudah mencoba mendaki semua bukit. Bukit janji manis ora...

Mungkin Aku Sudah Sampai, Tapi Tak Pernah Tahu di Mana

“Mungkin Aku Sudah Sampai, Tapi Tak Pernah Tahu Di Mana” Nyaris menjadi desah terakhir, aku yang sudah terlalu lama berjalan, lupa arah pulang, lupa siapa diriku, dan lupa mengapa aku mulai. Saat-saat terberat di tahun 2021-2023  Ketika aku belum banyak tahu, hidup ini kuanggap seperti meneguk air dari tempayan tua. Cukup segar, dan tak pernah kusangka akan habis. Aku hidup seperti bocah kampung yang bermain di lumpur kotor, tapi tak peduli apapun. Kupikir menjadi manusia hanya soal menghirup udara dan menghembuskannya kembali. Sesederhana itu. Sesering itulah aku salah paham, tanpa pernah belajar cara menahan napas di tengah kenyataan. Aku berjalan tanpa alasan, karena segala sesuatu seolah menanti untuk ditertawakan. Kupikir luka bisa diobati dengan tidur, dan kehilangan bisa diganti dengan es krim dua rasa. Aku tak tahu bahwa waktu bisa mencuri semuanya tanpa suara, dan tanpa ampun. Tapi itu sebelum aku kenal yang namanya GELORA . Ah gelora... gelombang yang tak bisa kutebak uju...

Ritme yang Tak Tertulis: Pasar yang riuh, Gereja yang sunyi

Aku mengukir cerita, dengan sentuhan sisi terdalam kehidupan sehari-hari, yang mengalir dengan renungan lirih, menggambarkan hidup sebagaimana adanya, sederhana, namun tak pernah kehilangan makna. oleh Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan  Ritme yang Tak Tertulis: Pasar yang riuh, Gereja yang sunyi  Hari itu ulangtahun adikku Riska, sihetel kami yang sudah berumur 22 tahun katanya. Tak ada lilin baru di atas kue, tak ada dekorasi warna-warni seperti dalam gambar di etalase toko roti. Hanya ada syukur yang sunyi, ada doa yang diam-diam mengalir seperti air kecil di sela bebatuan. Kami rayakan dengan sederhana, secukupnya saja, karena hidup pun kadang tak memberi lebih dari itu. Aku, Romo Wirandus, Aglean, dan Dorc. Entah siapa yang menggagas, tapi tiba-tiba saja kami sudah memacu motor menuju Goa Maria Kerep di Ambarawa. Motor kami melaju seperti pelan-pelan menyusuri sunyi, menyisiri waktu yang masih pekat dan sepi. “Santai-santai aja ya guru”, begitu kata si romo wi...

Catatan si kuda Liar #1: Berjalan Tanpa Rem, Berdoa Tanpa Naskah

“AKU DAN KUDA LIAR”  Tak ada yang luar biasa pagi itu, hanya jalan sepi, udara dingin, dan aku di atas motor tua. di sana, pelajaran hidup menepi tanpa suara. Kuda liarku mogok. Tapi yang paling mengejutkan, aku tak ikut rusak bersamanya. oleh Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan  Seperti biasa Langit belum sempurna membuka tirai cahayanya, aku berjalan menuju rumah, ya rumah yang telah kuputuskan menjadi tempatku berpulang. Jam tanganku berbisik, “04.15”. Jalanan masih lengang, hanya suara ban sepeda motor dan nyanyian angin yang menggoda dedaunan menemani langkahku. Tiba-tiba, kuda liarku meringkik tak tenang. Rantainya terlepas seperti ingin bebas dari kendali. Remnya patah, pedalnya copot seperti menyerah pada perjalanan. Dan aku?, aku tertawa kecil… Aku takluk pada kerusakan itu, tidak dengan keluhan, namun  PENERIMAAN . Aku turunkan kaki, kuberi napas pada mesin yang megap-megap, dan perlahan, aku pasang kembali rantai itu dengan tangan telanjang. Kupasang...

Anggii boru payung Part II | MAAF 🙏

“Maaf yang Tak Pernah Sempat Sampai” Di balik barisan kata ini, aku mencoba merangkai ulang puing-puing hati, menuliskan maaf yang tak pernah sempat sampai. Untuk Anggi, yang pernah aku cintai dengan hebatnya, dan kini hanya tinggal dalam ingatan yang menggigil. |kelanjutan dari Anggi boru payung, ketika waktu memaksa lupa  Jika ada dua jenis kehilangan dalam hidup ini. kehilangan karena takdir, dan kehilangan karena diam yang terlalu panjang. Yaa, aku mengalami yang kedua. Dan diamku, seperti batu hitam di dasar sungai, tetap menetap di sana, tak pernah sempat diterapungkan oleh kata maaf. Ada kesedihan yang tidak menangis. Ia hanya duduk diam di sudut hati, menggigil, dan menatap dunia seperti seorang anak yang ditinggal di stasiun yang salah, tak tahu harus pulang ke mana. Dan begitulah aku… sejak kau pergi.  Anggi, Aku menulis ini bukan untuk mengulang kesedihan. Aku tahu, kesedihan yang dikuliti berulang hanya akan membusuk. Tapi barangkali, dengan menulis ini, aku bisa m...

[Podah Part II] Untuknya yang suka sok AKRAB!...

Berhenti Ingin Diterima, Mulailah Menjadi Layak Diterima (Catatan lirih dari Poltak, yang menulis dengan hati, memandang langit dan mencatatkan keresahan di atas tanah). Malam tadi, angin membisikkan sebuah pelajaran yang lembut di telingaku, tentang seseorang yang datang dengan langkah tergesa, tapi ingin diterima, seolah langit telah lebih dulu merestui kehadirannya. Kau datang seperti pagi yang tak sabar mengusir embun. Padahal di kota ini, orang-orang sedang belajar berdamai dengan sunyi. Mereka sedang menata ulang hatinya yang pernah diacak-acak oleh pendekatan yang pura-pura. Aku duduk di selasar petang itu, melihatmu mencoba terlalu keras untuk menjadi bagian dari kehidupan yang belum tentu ingin kau pahami. Kau bertanya, kau menggali, kau menilai terlalu cepat. Seolah manusia bisa dibaca seperti buku, seolah kasih bisa diukur dari frekuensi pertemuan, seolah keakraban bisa tumbuh dari sekadar basa-basi yang terlalu cepat disemai.  Padahal, ada rasa yang tidak akan tumbuh ji...

Podah! untuk mereka yang kadang sok AKRAB!!!..

“Bukan Semua Hal Harus Ditanya: Ada yang Cukup Dirasakan” (Oleh Poltak si Pendongeng Miskin) Kau perlu tahu bahwa keramahan tanpa kepekaan hanyalah gangguan sosial yang dibungkus niat baik. Dengar baik-baik. Di dunia ini, ada hal-hal yang bisa dipahami tanpa perlu bertanya. Ada situasi yang cukup dihirup dengan rasa, bukan diobrak-abrik dengan kata. Tapi tampaknya, perempuan yang satu ini tidak pernah diajarkan itu. Atau mungkin dia belajar dari buku “Bagaimana Menjadi Akrab Dalam Lima Menit dan Merusak Hubungan Sepanjang Tahun.” heheh... Baru datang, namanya pun belum stabil di kepala umat lain, eh, dia sudah sibuk tanya-tanya;   “Apa rencana kamu lima tahun ke depan?” “Kenapa kamu jarang ke gereja?” “Si A sama si B itu kenapa ya dingin?” Kapan ini itu, gimana ini itu...  Maaf. Itu apa???, kau sedang apa???, pendekatan ???.. itu bukan pendekatan. Itu penginterogasian sosial dengan metode sok spiritual. Dan yang lebih parah, pikirmu itu bentuk “pelayanan hati”. Padahal ka...

Kalau Hidup Adalah Lomba, Mungkin Kita Semua Pelari yang Salah Jalur

Ehh... tunggu bentar, jadi ini adalah tulisan ngawur yang meyakinkan, lucu yang menyakitkan, dan tanpa sengaja menjadi kontemplatif. Mari kita lihat dari sisi eksistensial,  mengapa manusia begitu fanatik mengejar “ TUJUAN ”, bahkan saat hidupnya sendiri tak pernah dia definisikan dengan jujur. Kalau Hidup Adalah Lomba, Mungkin Kita Semua Pelari yang Salah Jalur Oleh Poltak sipendongeng miskin  Jadi kek gini, aku curiga ada yang salah dengan hidup ini sejak pertama kali kita diajari berdoa sambil meletakkan harapan di luar diri kita. Kita diajari mengejar BERKAT , bukan MENGOLAH keberadaan. Diajari berlari menuju kesuksesan, bukan BERDIALOG dengan kebahagiaan. Diajari menjadi lebih baik dari yang lain, bukan LEBIH JUJUR DENGAN DIRI SENDIRI. Kau tahu. sialnya, semua itu dibungkus rapi dalam kata-kata motivasi. Dalam seminar mahal, dalam spanduk murahan, dan dalam status WhatsApp kakak-kakak gereja. Tanpa sadar, kita semua jadi pelari. Lari dari rasa cukup. Mungkin lari dari k...

Misa Pagi Part IV Doa yang Patah di Ujung Payung

“Doa yang Patah di Ujung Payung” Poltak, si pendongeng miskin yang tak berwawasan Aku tak buru-buru beranjak. Langit masih muram. Udara lembap seperti sisa pelukan yang tertinggal di jaket tua yang kugantung semalam. Dan entah kenapa, aku tahu…aku akan tetap berjalan ke gereja. Ya seperti biasa. Aku sadar, aku ini hanya Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan, yang tak pandai membaca TANDA , dan terlalu sering keliru menafsir senyum sebagai undangan. Kini aku tahu. Bahwa tak semua yang indah harus didekati. Ada keindahan yang diciptakan hanya untuk disaksikan. Dan perempuan itu…ya, dia adalah pujian yang sedang dilantunkan Tuhan melalui tawa, melalui senyum, melalui langkahnya yang ringan seperti doa dipagi hari. Mungkin aku sempat salah sangka. Mengira senyumnya adalah panggilan. Mengira tatapannya adalah jalan masuk ke sebuah cerita yang bisa kutulis bersama. Padahal, bisa jadi Tuhan sedang mengajarkanku, bahwa ada cinta yang justru lahir dari keterpisahan. Bahwa memandang seseo...

Misa Pagi Part III Pada Sebuah Payung, Tuhan Menitipkan Hujan dan Senyum Seorang Perempuan

Misa Subuh, Senyum, dan Seorang Perempuan Tanpa Nama (Bagian 3: “Pada Sebuah Payung, Tuhan Menitipkan Hujan dan Senyum Seorang Perempuan”) Poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan  Subuh kembali datang, seperti sajak yang tak pernah bosan dibacakan alam. Langit masih remang, dan jalanan masih basah. Sepertinya karena kabut semalaman seolah menyisakan luka kecil di aspal dan bau tanah yang menyerupai memori masa kecil yang sederhana, hangat, dan sendu. Aku menyusuri jalanan dengan langkah yang teratur, pelan, dan diam-diam takut. Takut harapan-harapan kecilku gugur sebelum sempat bertunas, dan takut sikuda liarku mati tiba-tiba, ya itu memang penyakit lamanya. di gereja seperti biasa, diam, teduh, dan sedikit lembab. Seperti ayat-ayat tua yang sudah terlalu sering dibaca tanpa sempat dipahami.  Aku duduk di barisan belakang pada kursi bagian depan, masih ditempat yang sama, tempat di mana aku bisa sembunyi dari dunia dan mendengarkan napasku sendiri. Langit masih menggan...

Misa Pagi Part II Rahmat yang Tidak Ditulis dalam Liturgi

Misa Subuh, Senyum, dan Seorang Perempuan Tanpa Nama Kelanjutan dari, Jika Besok Kau Duduk di Sana, Maukah Sedikit Menoleh Lagi? Subuh-subuh yang basah. Jalanan belum sepenuhnya kering dari hujan semalaman.  Aku menyusuri aspal yang licin dengan kuda liarku yang kehilangan rem. Pelan-pelan, seperti menakar makna tiap tapak langkah, sipata makna itu bukan untuk dicari, melainkan ditunggu. Gereja berdiri seperti biasa, diam dan lembab, tetapi penuh. Aku orang kedua yang datang. Orang pertama itu seorang ibu sepuh yang sedang bicara dengan Tuhan dalam bahasa yang paling sunyi. Aku duduk agak jauh, sebab takut mengganggu, takut napasku ikut menggetarkan ketenangan itu. Dua puluh menit kemudian, umat datang perlahan, seperti embun mengendap di daun-daun tua. Rosario pun kami daraskan, bersama-sama, satu suara yang berulang-ulang, seperti ombak kecil di pantai yang tak pernah libur. Lalu lonceng berbunyi. Kecil saja, tapi cukup untuk membelah waktu. Dan di saat itu, entah dari mana, ...

Misa Pagi Part I Salam Damai yang Menyentuh Jantungku

Salam Damai yang Menyentuh Jantungku |Jika Besok Kau Duduk di Sana, Maukah Sedikit Menoleh Lagi? (oleh Poltak si pendongeng miskin) Langit masih biru kelam, belum tampak semburat fajar, dan suara burung pun masih malas menyapa. Aku berjalan, seperti biasa, menyusuri jalanan yang basah oleh embun dan doa-doa semalam dengan kuda liarku. Aku melangkah ke gereja, karena subuh bukan waktunya tidur, melainkan waktu yang baik untuk berjumpa Dia yang Mahakasih. Umat masih sepi, baru saya dan tiga lansia diujung sana, biasanya yang hadir sekitar dua ratus lima puluh jiwa berbaris dalam kesederhanaan dan pengharapan. membawa harapan, luka, dan permohonan masing-masing. Aku duduk di barisan depan, tapi tidak di paling depan, aku suka posisi itu, cukup dekat untuk melihat altar, tapi juga cukup jauh untuk menyimpan diam sendiri. Pagi itu, ada yang berbeda dari biasanya. Saat lonceng kecil mulai berdentang, tanda ibadat akan dimulai, tiba-tiba seorang perempuan datang dengan terburu-buru. Ah, bukan...

Sebutir Cinta yang Tertinggal di Pundak Zaman

“Sebutir Cinta yang Tertinggal di Pundak Zaman” Potret penyesalan terdalam seorang Poltak, Pendongeng miskin yang tak berwawasan Aku tidak tahu sejak kapan cinta berubah menjadi barang mewah. Hanya yang kutahu, aku pernah memilikinya. Sebutir. Tidak lebih. Dan aku membuangnya, seperti orang membuang abu rokok ke tanah, sambil berpikir bahwa ia tak akan pernah berguna lagi. Waktu itu aku muda, dan segala sesuatu yang kutahu tentang hidup hanyalah bayang-bayang dari suara orang lain. Cinta adalah kelemahan, begitu kata lelaki-lelaki di warung makan mak nyonge sore itu. Cinta membuatmu lapar, begitu kata ibu-ibu yang menjual tempe mendoan di pasar. Dan aku, Poltak, menyerap semua itu seperti tanah kering menyerap air pertama kali. Tapi malam ini, setelah sekian tahun, aku duduk di pojok rumah reyot yang dindingnya sudah mulai copot satu per satu, dan bertanya kepada diriku sendiri, ke mana akan kucari lagi butir cintaku yang lama kubuang? Apakah ia ikut hanyut bersama gelombang lautan, ya...

Bunga yang Gugur di Kepalaku

Aku Poltak, mencoba menuliskan puisi yang agak kikuk untuk Marsha  Bunga yang Gugur di Kepalaku Engkaulah satu-satunya. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, karena aku hanya tahu kata, bukan maknanya. Tapi aku menyebutmu begitu. Ya, satu-satunya. Sebab tak ada yang lain lagi dalam mataku, mataku yang tak tahu caranya memejam. Aku menatapmu dari kejauhan yang tak diukur dengan langkah, melainkan dengan diam. Diam yang seperti hujan sore hari,  tenang, tapi membuatku menggigil dan gemetar. Aku tidak berani. Karena kau terlalu tinggi, dan hatiku terlalu kecil. Rasanya aku ingin menyibak rambutmu, seperti seseorang yang ingin membaca puisi yang belum selesai ditulis. Dan di antara helaian hitammu, kubuang kata-kata yang tak pernah sempat kupelajari. Cinta, misalnya. Aku ingin membisikkan itu, tapi suara di dalam dadaku selalu gugur sebelum sempat menyapa. Maka kubiarkan saja ia tumbuh, menjadi bunga di dalam mimpi yang tak berbunga. Mimpi yang setiap malam datang tanpa undanga...

Untukmu Yang Terlalu Jauh

(Oleh Poltak si pendongeng miskin yang tak berwawasan) Setelah sore itu, Malam pun datang. Bulan menggantung malu-malu di pucuk langit. Angin gunung Prau menyapu pelan wajahku yang tak terawat, seakan ingin menyeka SISA harapan yang masih kucoba pertahankan. Aku duduk di ujung kursi kayu reyot ini, tempat biasa pendaki menambatkan tracking polenya yang usang. Di sinilah aku mengenang, tatapanmu yang jatuh dari langit sore, bagai gerimis yang tak diundang tapi kurindu datangnya. Kau pernah turun menemuiku, meski aku tahu itu bukan karena kau ingin. Hanya sekejap kau bicara, dan aku, si dungu yang tak berwawasan ini, hanya mampu menangkap sepenggal kata. Sisanya? Hanyut bersama desir ombak-mu, atau mungkin tertelan degup jantungku yang panik dan tak tahu diri. Aku terjerumus dalam arus asmara, seperti perahu bocor yang tak tahu arah pulang. Aku tenggelam, bukannya karena tak bisa berenang, hanya aku tak ingin naik ke permukaan. Aku ingin larut di sana di senyummu yang hanya tinggal baya...

Dialog Domba dan Gembala, “Siapa Sebenarnya yang Tersesat?”, Entahlah...

Dialog Domba dan Gembala, “Siapa Sebenarnya yang Tersesat?”, Entahlah...  Jadi begini, aku menyaksikan sendiri ada seseorang yang lagi ngomel dengan domba yang kata beberapa orang, dia adalah gembalanya.    Kulihat domba duduk di bawah pohon rindang, sendiri. Gembala datang tergesa, wajahnya panik seperti kehilangan muka. Gembala: Hoyyy! Kau ke mana aja? kau tersesat!... Kawanan sudah berjalan jauh, dan aku mencarimu sejak kemarin! Capek aku lihat kau!!  Domba ( menjawab tenang): Oh iya?, Btw tersesat menurut siapa? Menurutmu, atau menurut arah yang kau sendiri tak pernah evaluasi?, Ehh sekk.. Kita tidak sedekat itu, tapi kenapa kok berani bilang aku tersesat?, Cok cek lu peta-mu sekali lagi Heheh  Gembala: Kau domba. Tugasmulah mengikuti. Jangan bertanya macam-macam. Kalau kau memisahkan diri, kau dimangsa serigala nanti Domba: Justru karena itu aku berhenti. Aku mulai curiga, jangan-jangan serigala yang sebenarnya... sedang menyamar jadi gembala?, [sambil menu...

Menjaga Hati di Dunia yang Tergesa

Suara dari Kesunyian, oleh Poltak, si pendongeng miskin yang tak berwawasan   Belakangan rasanya dunia ini seperti dapur tua yang ditinggal pemiliknya. Masih ada bekas sendok, panci, dan wajan. Tapi tak lagi ada yang memasak. Kita hidup, ya, tentu saja. Tapi rasanya seperti hanya sekadar menjalani. Seperti makan tanpa rasa, tidur tanpa mimpi, berjumpa tanpa benar-benar hadir. Ceritaku tidak tentang perang atau berita besar. Aku bicara tentang hal-hal kecil yang pelan-pelan hilang dari sekitar kita. Tentang orang yang tak lagi menyapa karena sibuk dengan gawai. Tentang tetangga yang tak tahu tetangganya sedang menangis. Tentang sahabat yang pergi diam-diam karena tak kuat lagi berpura-pura kuat. Dulu, waktu masih kecil aku sering duduk di pangkuan mamak, oppungnya si Windy. ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena dikasih uang yaa, tak dijanjikan apa-apa juga, tapi aku merasa aman. Mungkin itulah rasa yang sekarang jarang kutemui, RASA DILIHAT, DIDENGARKAN, DITUNGGUI. ...

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

“ Pergilah, Jangan Pernah Lihat ke Belakang”  Sudah lebih dari lima tahun aku dan Anggii bersama. Perjalanan panjang, yang awalnya sederhana: Dari tawa kecil, canda gurau, king dan queen di namaposo, hingga akhirnya membangun mimpi bersama.  Kami bukan hanya sepasang kekasih, tapi juga sahabat, penopang, tempat pulang satu sama lain. Kami berjalan beriringan, meski arah dunia mulai membelokkan segalanya. Tahun 2020, saat Anggii lulus kuliah, hidupnya mulai menanjak. Ia diterima bekerja sebagai asisten manajer di Manulife Semarang. Sore-sore, tepat pukul empat, aku pasti sudah menunggunya di bawah, dekat pos satpam. Motor tuaku, si "Kuda Liar", selalu siap mengantar pulang perempuan paling tangguh yang pernah aku kenal. Di balik helm dan jaket lusuhku, aku membawa sejuta senyum dan satu pertanyaan yang selalu sama,  “Gimana kerjaan hari ini?” Itu bukan sekadar basa-basi, itu cara sederhanaku membantu mengangkat beban pikirannya, karena aku tahu hari-harinya tak mudah. Tiga...

Apa yang Masih Ingin Aku Hidupkan?

“ Apa yang Masih Ingin Aku Hidupkan? ” Aku duduk di antara malam yang menggigil, nggak karena dinginnya angin, hanya karena aku tak tahu lagi bagaimana caranya merasa hangat. Ada jeda yang lama di dalam dadaku, seperti rumah yang sudah lama tak dihuni. Berisik oleh suara-suara dari luar, tapi di dalamnya kosong, terlampau sunyi. Kau pernah merasa seperti itu? Stuck!, bukan karena tak mencoba, bukan juga karena tak berjuang. Tapi karena sesuatu terasa hilang, dan kau sendiri tak tahu apa. Kata orang-orang,  “Semangat ya.”, “Lebih rajin dong.”, “ harus berpikir positif.” Tapi mereka nggak tahu, bahwa aku sudah kehabisan ruang di dalam diriku untuk menyimpan semua saran itu. Aku tak butuh disuruh lari, aku butuh tahu, ke mana seharusnya aku berjalan? Malam-malamku berlalu, dan aku mulai sadar, mungkin ini bukan soal apa yang harus kulakukan… tapi tentang makna yang belum kutemukan. Tentang bagian dari diriku yang terus meneriakkan sesuatu tapi selalu kalah bising oleh tuntutan jadi ba...

Apa Kabar Diri Kita yang Lama?: Catatan Kontemplatif

Apa Kabar Diri Kita yang Lama? Dari Poltak, pendongeng miskin yang tak berwawasan Pernah nggak kau tiba-tiba terdiam, entah di tengah tumpukan kerjaan, di jalan yang padat, atau pas melamun sambil ngaduk kopi yang udah dingin, lantas terpikir, “Eh, apa kabar ya, diriku yang dulu?” itu bukan sekadar nostalgia. Tapi rasa rindu yang muncul dari tempat terdalam. Rindu dengan versi dirimu yang pernah punya mimpi besar, yang mudah tertawa, yang naif tapi penuh harapan, yang belum dicemari ambisi orang lain. Dulu kita punya keinginan sederhana. Pengen bahagia. Pengen jadi orang baik. Pengen punya hidup yang bermakna. Tapi lama-lama, keinginan itu tenggelam di antara deadline, target, dan standar dunia yang bikin napas sesak. Kita dulu berani, nggak takut salah, nggak takut dibilang aneh. Sekarang? Kita terlalu hati-hati, takut dikomentari, takut gagal di mata orang. Padahal dulu, gagal itu biasa. Kita jatuh pas naik sepeda, nangis sebentar, lanjut naik lagi. Sekarang, gagal itu kayak dosa. Se...

Sukses Versi Siapa Sebenarnya?

Sukses Versi Siapa Sebenarnya? Marangan-anganlah aku sambil ngopi, lihat orang-orang di media sosial yang kelihatan hebat: Beli rumah di umur 25, punya bisnis sendiri, keliling dunia, sampai bisa kasih hadiah mobil ke orang tua. Lanjut ku lihat diri sendiri. masih mikir besok makan apa, motor sikuda liar yang rusak-rusak, dan isi tabungan yang cuma cukup untuk belik gorengan. Trus muncul pertanyaan yang pelan-pelan jadi luka,  “Apakah aku gagal?” Tapi sebelum jawab, aku nanya lagi:  “Sukses versi siapanya yang lagi aku kejar?” Ini dia. Kita sering lupa. Kita hidup terlalu lama dengan definisi sukses yang bukan dari kita. dari sekolah, kita udah dijejali: nilai bagus = pintar, kuliah tinggi = sukses, gaji besar = hidup mapan.  Padahal ada banyak jenis kecerdasan dan keberhasilan, tapi kita cuma diajari satu jalur: Yang lurus, cepat, dan harus kelihatan. Bapa Hulman pernah bilang, “ Salah satu krisis terbesar manusia modern adalah krisis makna.”  Bukan karena dia nggak...

Mengapa Kita Lebih Takut Gagal di Mata Orang Lain, daripada Gagal di Mata Sendiri?

  Kenapa ya, kita lebih takut gagal di mata orang lain, daripada gagal di mata sendiri? Menurut pandanganku|sipoltak, pendongeng miskin yang tak berwawasan . Takut Gagal? Tapi, takut sama siapa sebenarnya? 🤔 Lucu ya kita ini, kalau dipikir-pikir, lebih takut orang lain kecewa sama kita, daripada takut kecewa sama diri sendiri. Kita lebih ngilu waktu dilirik sinis sama tetangga, daripada waktu ngaca dan sadar kita makin jauh dari apa yang dulu kita impikan. Kenapa bisa kek gitu? Karena sejak kecil, kita diajarin untuk tampil baik duluan, baru berpikir soal isi. Nilai bagus, biar disayang guru. Sopan di depan orang tua, meski hati lagi meledak. Pakai baju rapi, meski dalamnya berantakan. Kita tumbuh jadi manusia yang terbiasa “ DIPERTONTONKAN .” Bukan manusia yang terbiasa berdialog dengan batinnya sendiri. Jadi wajar aja, waktu kita gagal, reaksi pertama bukan, “Aku kenapa ya?” tapi, “Astaga, gimana kalau orang tahu?” Padahal orang-orang itu, kadang cuma nonton. Nggak semua benar-b...

Menjadi Pelan

Menjadi Pelan di Dunia yang Terburu-buru: Antara SIDALIAN atau memang jalan hidup, silahkan merenung!  Aku, Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan   Gini... Katanya, siapa cepat dia dapat. Siapa lambat, minggir. Siapa pelan, kalah. Tapi aku, Poltak, memilih jadi yang pelan. Sebetulnya bisa cepat, tapi karena aku mulai curiga,  Cepat itu mau ke mana? Hari-hari ini semua orang seperti dikejar sesuatu. Dikejar target, dikejar jadwal, dikejar validasi yang entah datang dari siapa. Bahkan pagi belum sempat mengucapkan selamat, kita sudah ditagih produktivitas. “Kau sudah ngapain aja hari ini?” Belum apa-apa, aku sudah lelah menjelaskan bahwa bernapas juga aktivitas, Hahaha  Kata para pujangga klasik, Hidup bukan tentang kecepatan, tapi kedalaman. Tapi coba bilang itu ke bosmu, ke tetangga julidmu, atau ke saudaramu yang suka membandingkan anaknya yang “sudah punya rumah di umur 25.” ,kalau nggak kenak slapakk kau.. yaa dunia ini lucu. Ia menuntut kita jadi versi t...