Di Tepi KEGILAAN
Okay jadi begini ceritaku sore ini, biar kutarik lebih dalam ke palung-palung yang lebih sepi. TENTANG KEWARASAN DAN KEGILAAN. Kewarasan dalam sistem ini bukan lagi soal stabilitas batin, tapi soal kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan ekonomi. Mereka yang bisa menahan tangis di kantor, tetap hadir di pertemuan meski hatinya kosong, dianggap KUAT. Padahal di dalam, jiwa mereka sudah remuk. Sementara GILA di sini bukan sekadar kondisi klinis, tapi simbol dari melawan standar palsu, menolak pura-pura, dan berani hidup sesuai ritme batin sendiri, meski dianggap aneh, gagal, atau bahkan kehilangan tempat di masyarakat.
Jadi, apa benar menjadi waras adalah satu-satunya cara bertahan? Atau justru itu adalah bentuk kekerasan sistemik paling halus?
Jadi Kek gini, sore itu dalam suasana hujan yang dingin, aku duduk berteduh di emperan toko yang katanya sudah tutup sejak pandemi. Tak ada pekerjaan, tak ada panggilan. Hanya ada aku, hujan dan suara kendaraan lewat yang terasa lebih hidup daripada diriku sendiri.
Setahun sejak aku lulus. Dan dalam setahun itu, aku belajar satu hal penting, bahwa Kehidupan tidak pernah benar-benar MENUNGGU KITA SIAP. Ia jalan saja. Dan yang TERTINGGAL, akan dibebani rasa BERSALAH. Beberapa orang bilang aku buang-buang waktu saja. Tapi apa itu waktu?, kalau yang kita kejar hanya agar orang lain bisa menepuk pundak kita sambil berkata, “HEBAT YA KAMU.” Apakah hidup memang harus selalu terlihat berhasil?, Apakah manusia hanya layak disebut berguna kalau ia punya penghasilan tetap dan daftar pencapaian? Ahentahlah...
Aku capek, serius. Tapi bahkan untuk berkata aku lelah, pun aku takut. Karena akan selalu ada yang menjawab, “Semua orang juga capek, Poltak. Kau cuma kurang bersyukur ajanya.” Tapi apakah bersyukur artinya MENYANGKAL luka?, Apa aku harus pura-pura bahagia hanya agar tidak membuat orang lain tidak nyaman? kek gitu?...
Pikirku beberapa kali, sepertinya hidup ini soal menemukan tempat. Tapi sekarang aku jadi tahu, ternyata nggak semua orang MENDAPAT tempat. Ada yang hidup hanya untuk MENGAMATI, seperti figuran dalam film yang tidak pernah dia pahami skripnya. Mungkin itulah aku. Yang sering duduk diam, memandangi dinding. Di situ aku bisa berdamai. Tak ada tuntutan, tak ada ekspektasi. Hanya dinding, dan aku. Yang sering ku rasa dinding itu lebih mengerti isi hatiku daripada semua motivator yang berseliweran di Instagram, Atau orang-orang sekelilingku.
Kataku “Aku tidak ingin menjadi apa-apa.” Dan mungkin, itu adalah kalimat paling jujur yang pernah keluar dari mulutku. Bukan karena rasa malasku. Hanya karena aku sudah terlalu sering melihat orang-orang yang berhasil, namun KEHILANGAN dirinya di jalan yang terlalu panjang. Mereka punya segalanya, tapi matanya kosong. Tiap pagi mereka bangun, pakai kemeja, senyum di lift, dan pulang dengan dada yang makin kosong. Mereka disebut waras. Tapi aku rasa, mereka sebenarnya sudah lama patah. Hanya saja mereka pandai menyembunyikannya.
Di dalam diriku, ada suara yang perlahan berbisik, “Poltak, kau nggak gila. Kau hanya MUAK dengan standar yang dipuja-puja oleh mereka yang bahkan tidak pernah merasa cukup.” Maka kupeluk KEMUAKAN itu. Aku tidak ingin jadi orang sukses yang diundang sana-sini hanya untuk membual tentang betapa sulitnya perjuangan yang kini tersyukuri. Aku hanya tidak ingin jadi tokoh utama dalam narasi yang tidak KUPERCAYAI. Aku hanya ingin hidup…dengan cara yang tidak MENYAKITIKU.
Aku percaya pertolongan Tuhan. Tapi tidak dengan cara orang-orang untuk MERAIHNYA. Mereka percaya Tuhan akan mengangkat mereka tinggi. Sementara, aku percaya Tuhan akan MENGAJAKKU duduk di tanah yang SEPI, di hati yang RETAK, di PELATARAN HIDUP yang tidak ditonton SIAPA-SIAPA. Di sana aku rasa Tuhan berbisik, “Anakku...aku tidak menciptakanmu untuk menjadi bintang. Aku menciptakanmu agar kau bisa pulang ke dirimu sendiri.”
Seandainya hari ini, atau nanti kau melihatku duduk diam, menatap langit, dan tak menjawab waktu ditanya, “Poltak, kerja di mana sekarang?” Maafkan aku. Bukan karena aku tak mau menjawab. Hanya karena aku sudah terlalu sering menjawab, dan tidak pernah benar-benar DIDENGARKAN. Aku tidak waras. Tapi aku juga tidak gila. Hanya sedang berlatih menjadi manusia yang tidak menyesal karena memilih TENANG, di dunia yang terlalu bising. Kalau waras itu menyakitkan, mungkin gila lebih damai. Dan kalau hidup itu panggung, agaknya aku hanya ingin duduk di bangku penonton, memegang kopi, dan tidak menepuk siapa-siapa.
Tertanda, Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan
Komentar
Posting Komentar