mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati
Poltak duduk di serambi rumah tua, menatap hujan yang turun perlahan. Di dalam, Oppung Windy, ibunya, sedang menyeduh teh jahe seperti dulu saat Poltak masih kecil. Rumah itu penuh kenangan, tapi malam itu terasa dingin, bukan karena cuaca, tapi karena jarak yang tumbuh di antara dua hati yang seharusnya PALING dekat.
Poltak baru saja kembali dari kota. Ia bekerja keras, menempuh berbagai usaha, mengukir cita-cita, hanya demi satu tujuan, MEMBAHAGIAKAN ibunya. Berharap kelak memberi uang bulanan, memperbaiki atap rumah, bahkan berencana membangun rumah baru. Tapi pulang kali ini, hatinya terasa hampa, dan wajah ibunya justru tampak makin murung.
“O..mak, oppung ni Windyy,” kata Poltak akhirnya, pelan.
“Kenapa kita seperti ini? Aku mengusahakan bakti untuk Mamak. Tapi kenapa rasanya kita malah makin jauh?”
Oppung Windy duduk di sampingnya, menghela napas panjang. Tangannya yang mulai keriput menggenggam cangkir teh, seperti menggenggam masa lalu.
“Anakku,” katanya, suara gemetar tapi tenang. “Kau tahu… Sejak kau lahir, aku hanya punya satu cita-cita: melihatmu bahagia. Aku menyiapkan segalanya, sekolah, pakaian, makanan, bahkan doa-doa panjang ditiap malam hari. Tapi… kau pun tumbuh dengan niat mulia: MEMBAHAGIAKAN KU.”
Ia menatap mata Poltak, dalam dan lembut.
“Kau bersikukuh mengusahakan bahagiaku, sementara aku, sejak awal hidupmu pun hanya ingin MEMBAHAGIAKAN Mu. Tapi entah bagaimana, kita malah saling menyakiti… hanya karena kita tidak bisa menyelami isi hati satu sama lain.”
Poltak menunduk. Matanya berkaca. Ia baru menyadari, dalam niatnya untuk memberi kebahagiaan, ia tak pernah bertanya apa sebenarnya yang membuat ibunya bahagia.
“Oppung… maafkan aku. Aku kira bahagiakanmu itu soal uang, soal rumah yang lebih besar, soal kemewahan. Tapi mungkin yang kau tunggu cuma aku, duduk di sampingmu, mendengar ceritamu, menemanimu minum teh seperti ini.”
Oppung tersenyum, matanya pun basah. “Dan aku pun, Amangg… mungkin terlalu diam, terlalu keras hati, sampai lupa menunjukkan bahwa aku pun rindu padamu. Bukan pada uangmu, bukan pada jasamu. Tapi padamu, anakku sendiri.”
Karena kadang, cinta yang paling dalam justru yang paling banyak melukai, jika tak DIUCAPKAN.
Malam itu, tak ada hadiah mewah, tak ada kejutan. Hanya dua hati yang akhirnya saling MENYELAMI. Hanya percakapan yang SEDERHANA, tapi menyembuhkan luka bertahun-tahun. Hujan masih turun, tapi kini seperti meratapi dua hati yang sebelumnya gagal untuk saling MENYELAMI.
Poltak memeluk ibunya, tubuh rapuh itu terasa dingin. Tapi dari pelukan itu, muncul hangat yang terlambat. Dan malam itu, rumah itu tetap gelap. Tak ada lilin. Tak ada doa keras. Hanya sunyi… yang berbicara lebih jujur dari kata-kata. Mungkin… itulah kebahagiaan yang sesungguhnya,saat dua jiwa yang lelah berhenti berjuang sendiri, lalu mulai MENDENGAR dan MERASAKAN satu sama lain.
_Seri Hidup Poltak...
Komentar
Posting Komentar