Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

Pergilah, Jangan Pernah Lihat ke Belakang” 

Sudah lebih dari lima tahun aku dan Anggii bersama. Perjalanan panjang, yang awalnya sederhana: Dari tawa kecil, canda gurau, king dan queen di namaposo, hingga akhirnya membangun mimpi bersama.  Kami bukan hanya sepasang kekasih, tapi juga sahabat, penopang, tempat pulang satu sama lain. Kami berjalan beriringan, meski arah dunia mulai membelokkan segalanya.

Tahun 2020, saat Anggii lulus kuliah, hidupnya mulai menanjak. Ia diterima bekerja sebagai asisten manajer di Manulife Semarang. Sore-sore, tepat pukul empat, aku pasti sudah menunggunya di bawah, dekat pos satpam. Motor tuaku, si "Kuda Liar", selalu siap mengantar pulang perempuan paling tangguh yang pernah aku kenal. Di balik helm dan jaket lusuhku, aku membawa sejuta senyum dan satu pertanyaan yang selalu sama, “Gimana kerjaan hari ini?”

Itu bukan sekadar basa-basi, itu cara sederhanaku membantu mengangkat beban pikirannya, karena aku tahu hari-harinya tak mudah.

Tiga bulan kemudian, Anggii mendapat kesempatan lebih besar, Dia diterima di BPKP Jawa Tengah. Aku bangga. Aku bahagia. Aku dukung penuh. Dari Tembalang ke kantornya di ujung kota, hampir satu jam perjalanan naik motor, panas, hujan, lelah tak jadi soal. Aku hanya ingin memastikan satu hal, Dia bahagia. Dia nyaman. Dia tidak merasa sendiri... Begitu terus selama sepuluh bulan. Rasanya seperti ritual kecil yang kujalani tanpa keluhan, karena bagiku, dia adalah rumah.

Lalu dia berkata ingin mencoba CPNS, di Kejaksaan RI. Aku tahu itu cita-cita besarnya. Dan seperti biasa, aku mendukung sepenuhnya. Aku temani prosesnya, aku kuatkan jiwanya, dan saat ujian kesehatan di RSUD KRMT Wongsonegoro, aku antar dia dengan motor tuaku. Saat dia gelisah menanti hasil, aku letakkan tanganku di kepalanya, sebagai doa, sebagai restu yang diam-diam aku panjatkan setiap malam. Dan Tuhan baik. Dia lulus.

Aku masih ingat jelas hari itu. Kami terharu bersama. Tapi aku juga tahu, bahagia ini datang dengan bayangan berat di belakangnya. Aku masih harus berjuang menyelesaikan kuliahku di Undip, sementara dia akan terbang lebih jauh, melangkah lebih tinggi.

Setelah pengumuman, dia pulang kampung ke Sumatra, menemui keluarganya, membawa kabar gembira yang selama ini jadi harapan.

Beberapa minggu kemudian, SK penempatan itu datang. Anggii ditugaskan di Sulawesi Tengah. Aku tahu itu berarti… kami akan diuji lagi. Tapi aku tidak mengeluh. Tidak menahan. Aku ingin dia meraih mimpinya.

Dia kembali ke Semarang sebentar, mengurus semua keperluan sebelum berangkat ke Palu. Lalu, kami berdua naik kereta Ambarawa Express ke Surabaya. Perjalanan itu sunyi. Aku menggenggam tangannya sepanjang jalan, menghafal setiap detik, karena aku tahu, ini akan jadi kenangan terakhir kami di tempat yang mempertemukan kami.

Sesampainya di Bandara Djuanda, kami berpelukan lama sekali di terminal keberangkatan. Air mataku jatuh diam-diam, meski aku mencoba tegar. Dan saat ia hendak pergi, aku katakan:

“Pergilah... jangan pernah lihat ke belakang.”

Aku menunggu sampai pesawatnya lepas landas. Baru setelahnya, aku melangkah kembali ke Semarang, sendiri, naik bus cepat EKA, tanpa suara, tanpa siapa-siapa. Hari-hari setelah itu terasa sepi, terasa hampa.  Jarak memisahkan kami secara fisik, tapi perlahan juga memisahkan kami secara hati.

Aku masih berjuang di kampus. dengan tugas akhir, sidang, tekanan ekonomi, tekanan sosial, dan rindu yang tak kunjung usai. Sementara dia… entah bagaimana di sana. Kami mulai jarang bicara. Lama-lama hening. Dan mulai banyak yang menggangu pikirannya, seperti kehilangan rasa percaya, kehilangan harapan, dan kehilangan tempat berpegang.  

Sampai akhirnya, dia mengirimkan pesan panjang itu. Pesan perpisahan. Tanpa amarah. Hanya suara seseorang yang sudah lelah, yang terlalu lama merasa sendiri dalam hubungan yang dulunya kita jaga berdua. 

Dia bilang, aku membuatnya merasa tak  penting. Bahwa selama ini, dia hanya ingin didengarkan, dimengerti, diberi perhatian kecil. Tapi aku terlalu diam. Terlalu sibuk bertahan hidup, sampai lupa bahwa dia sedang menggenggam hatinya dengan rapuh. Terlebih pasca kematian ayah yang sangat dicintainya. 

Katanya, selama dua minggu terakhir, tak ada malam yang ia lewati tanpa doa. Tapi mungkin, inilah jawaban dari doa-doanya, PERPISAHAN.

Dia tidak menyesal. Tidak juga membenci. Dia hanya ingin… PAMIT. Aku hanya bisa menjawab dengan pelan, 

“Udah matua kita, untuk marah ga harus dengan pertengkaran. Martonggo kam.”

Tapi aku tahu, hatinya sudah jauh. Dan yang tersisa hanyalah kenangan yang menggantung di antara ruang yang tak lagi kita isi bersama. Sekarang, semua sudah berlalu. Tapi setiap kali aku naik motor tuaku, melewati jalanan yang dulu pernah kami lalui, rasanya masih seperti kemarin. Aku masih bisa membayangkan dia turun dari kantor, tersenyum lelah, dan aku menyapanya: "Gimana kerjaan hari ini?" 

Tak pernah kuduga, tanya sederhana itu suatu hari tak akan pernah bisa lagi kuucapkan. Karena dia, satu-satunya yang selalu aku jaga… kini sudah jadi masa lalu. Dan aku hanya bisa berdoa, semoga dia benar-benar bahagia di sana. Walau tidak lagi denganku. 

Setelah pesan TERAKHIR itu dikirimkannya padaku, tak ada pesan lain lagi yang datang. Tak ada kabar, tak ada suara, tak ada jawaban. Sudah bertahun-tahun… dan pesanku tetap bergantung di udara. Lalu senyap. Begitu saja.

Kalau baginya semua sudah selesai, bagiku… belum. Belum ada yang benar-benar berakhir. Yang ada hanya jeda panjang yang menyakitkan, semacam keheningan yang terus berdetak di antara jam-jam kosong.

AKU MASIH TERUS BERTANYA. Bukan karena tak bisa menerima, tapi karena terlalu banyak yang masih ingin aku pahami. Tapi dia tak pernah membalas. Dan aku tahu… kadang jawaban terbaik adalah diam yang tidak kembali.

Tapi hidup ini tak bisa terus menunggu. Tak bisa terus berdiri di stasiun yang sudah lama ditinggalkan kereta. Aku sadar… aku harus berjalan. Maka aku paksa kakiku melangkah, meski hatiku tertinggal di peron masa lalu.

Juni 2024, akhirnya aku lulus dari Undip. Tempat yang dulu jadi medan perjuanganku, tempat di mana aku menguras habis tenagaku, menahan lapar, menahan putus asa, memeluk malam-malam panjang dengan pikiran yang nyaris meledak.

Sendiri. Tak ada dia yang dulu selalu kubagi cerita dan lelahku. Tak ada tangan yang menggenggam, tak ada pundak untuk bersandar, tak ada peluk yang menyambut kabar lulusku. Hanya sepi.

Aku ingat, dulu dia yang paling ingin aku segera lulus. Dia yang menyemangati. Tapi ketika aku sampai… yang ada hanya ruang kosong. Tak ada tepuk tangan. Tak ada peluk. Tak ada "Selamat ya, kamu hebat."

Setelah lulus pun, jalan masih panjang. Dan aku masih menganggur. Mungkin belum pantas. Atau memang belum waktunya.

Hari-hariku kini lebih banyak diisi dengan menulis. Menuliskan dongeng-dongeng kecil, kisah-kisah sederhana tentang kehilangan, harapan, dan angin yang tak pulang. Kadang aku berpikir, mungkin aku memang hanya pendongeng miskin… yang tak punya banyak wawasan, yang hanya bisa bercerita agar dirinya tetap merasa hidup. Menulis adalah caraku bernapas, sebab berbicara sudah tak ada lagi pendengarnya. Dan hatiku terlalu letih untuk terus berteriak ke arah yang sama. 

Sementara Anggi…entah di mana dia sekarang. Mungkin sudah bahagia, mungkin sudah ini, atau mungkin sudah itu..

mungkin juga sudah benar-benar melupakan bahwa pernah ada aku, yang menunggu di pos satpam setiap jam empat sore, yang naik motor tua melintasi kota demi melihat senyumnya, yang menemaninya sampai ke bandara untuk melepas semua mimpi bersama. Dari semua kenangan itu, yang tersisa hanya satu kalimat:

“Pergilah, jangan pernah lihat ke belakang.”

Dia benar-benar pergi. Dan dia tak pernah menoleh lagi. Tapi aku… aku masih berdiri di sini, masih melihat ke belakang, masih berharap ada satu kali saja ia menoleh, atau paling tidak, sekadar menanyakan, “Gimana hari ini?”.

Dan andai suatu hari nanti kau membaca ini, Anggi, ketahuilah… cerita kita belum selesai bagiku. Tapi jika takdir memang harus berhenti di sini, biarlah aku menyulam akhir itu sendiri. Dengan kata-kata, dengan dongeng-dongeng kecil, tentang seorang pendongeng miskin yang hanya ingin dikenang, walau sebentar saja.


Biara Murti 127B 

_Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati