Misa Pagi Part IV Doa yang Patah di Ujung Payung

“Doa yang Patah di Ujung Payung”

Poltak, si pendongeng miskin yang tak berwawasan

Aku tak buru-buru beranjak. Langit masih muram. Udara lembap seperti sisa pelukan yang tertinggal di jaket tua yang kugantung semalam. Dan entah kenapa, aku tahu…aku akan tetap berjalan ke gereja. Ya seperti biasa.

Aku sadar, aku ini hanya Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan, yang tak pandai membaca TANDA, dan terlalu sering keliru menafsir senyum sebagai undangan. Kini aku tahu. Bahwa tak semua yang indah harus didekati. Ada keindahan yang diciptakan hanya untuk disaksikan.

Dan perempuan itu…ya, dia adalah pujian yang sedang dilantunkan Tuhan melalui tawa, melalui senyum, melalui langkahnya yang ringan seperti doa dipagi hari. Mungkin aku sempat salah sangka. Mengira senyumnya adalah panggilan. Mengira tatapannya adalah jalan masuk ke sebuah cerita yang bisa kutulis bersama.

Padahal, bisa jadi Tuhan sedang mengajarkanku, bahwa ada cinta yang justru lahir dari keterpisahan. Bahwa memandang seseorang dari jauh, tanpa niat memiliki, tanpa menuntut apa-apa, adalah bentuk pujian yang paling jujur kepada Penciptanya.

Lalu, apa gunanya aku mengharapkan lebih? Apa pantas aku, dengan sepatu lusuh dan hati yang setengah jadi ini, mendekat pada seseorang yang kehadirannya saja sudah mampu menenangkan kabut di benakku?

Aku mulai mengerti…senyumnya bukan milikku. Tawanya bukan untukku. Tapi aku boleh menyaksikannya, seperti menyaksikan matahari terbit indah, menenangkan, dan selalu membuat dada ini penuh rasa syukur…tanpa pernah punya niat merengkuhnya.

Hari itu…aku menyadari satu hal yang tak pernah kupahami sebelumnya. Bahwa Tuhan bisa menitipkan kemuliaan-Nya dalam hal-hal kecil yang tak pernah kita duga, di balik wajah seseorang yang lewat begitu saja dalam hidup kita, di balik tatapan yang tak sengaja bertemu, di balik percakapan singkat di bawah payung yang kupinjam dari pos satpam.

Dan aku…aku hanya ingin menjadi saksi yang jujur. Bukan tokoh utama, bukan pemeran pengganti. Cukup jadi penonton sunyi yang belajar bersyukur dalam diam.

Jadi, hari ini aku tak lagi berdoa agar bisa duduk di sampingnya. Aku tak lagi berharap dapat mengantar payung lagi besok pagi. Aku tak ingin tahu namanya, pekerjaannya, atau rencana hidupnya. Karena semua itu bukan untukku. Cukuplah aku tahu bahwa ia ada. Cukuplah aku pernah melihat senyum itu, dan tahu bahwa senyum itu nyata. Dan dari tempatku berdiri, aku hanya ingin berkata dalam hati:

Tuhan, terima kasih…Engkau indah sekali pagi ini. Dan aku bersaksi... Engkau telah menciptakan seseorang yang begitu baik, begitu tenang, begitu cantik, hingga kehadirannya pun mampu membuat jiwa yang lelah ini berdoa kembali. 

Jadi jangan beri aku lebih. Aku tak ingin merusak pujian ini dengan keinginan yang tak pada tempatnya. Biar semuanya tetap menjadi kidung yang suci, tak ternoda oleh hasrat, tak tercemar oleh ambisi.

Karena yang sejati, barangkali bukan tentang menggenggam. Mungkin tentang merelakan, dan tetap tersenyum saat melihatnya berjalan pulang, meski bukan ke ARAHKU. Terimakasih Tuhan... 

Tamat. Untuk saat ini ! 



GSMF—Banyumanik 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati