KEHENINGAN: Pelukan Sunyi, Tempat Terakhir yang tidak Menghakimi
Aku berbaring di dada keheningan, karena hanya ia yang bisa mendengar napas gugupku tanpa menyuruhku tenang.
KEHENINGAN: Pelukan Sunyi, Tempat Terakhir yang tidak Menghakimi
Ku pikir…jangan-jangan yang disebut “suara hati” itu cuma suara orang kalah yang tetap nekat ingin menang padahal semua bukti sudah bilang, “Udah, nyerah aja, boyy”.
Tapi aku yang hidup dari nasi bungkus dan ilusi disore hari, aku tidak tahu cara menyerah yang elegan. Kalau menyerah cuma jadi alasan untuk TIDAK BERHARAP, bukankah itu cuma bentuk KEMATIAN pelan-pelan yang DISAMARKAN dengan senyuman?, dan seperti dalam lagu itu, aku pun bertanya, “Haruskah aku menyerah melawan kebisingan?” ya itu kebisingan batin. Jeritan jiwa yang menggumpal dalam tanda tanya.
Ada hari-hari di mana aku iri pada burung. Ia terbang bebas, tak harus menjelaskan pada siapa pun ke mana tujuannya. Ia menyanyi, tanpa perlu validasi dari panggung atau penonton. Aku sudah mencoba mendaki semua bukit. Bukit janji manis orang-orang. Bukit kerja keras yang katanya tidak mengkhianati hasil, nyatanya, dia justru mengkhianatiku paling duluan.
Dan aku juga sudah menyebrangi laut. Laut tanggung jawab yang dalamnya seperti dendam orang tua pada anak yang tak bisa membanggakan. Tapi yang paling berat itu bukan bukit atau laut. Yang paling berat adalah ketika AKU HARUS BERPURA-PURA MASIH KUAT DI DEPAN ORANG YANG JUGA PURA-PURA PEDULI.
Aku capek. Tapi bukan berarti aku mau mati. Aku cuma pengen tidur sebentar, di pelukan KEHENINGAN yang tidak MENGHAKIMI. Karena dunia terlalu bising untuk orang seperti aku, yang tidak punya prestasi, tidak punya pencapaian, tidak punya siapa-siapa yang mau bertanya, “Poltak, kamu baik-baik ajakan?.” Ehe ga akan ada itu, jangan harap!
Ah, KEHENINGAN. Ya, hanya keheningan. Ia bukan kekosongan. Ia adalah istri setia bagi para perenung. Ia tak berisik, tapi di sanalah suara paling jujur itu bersembunyi. Di situlah Tuhan duduk sambil merokok, MENUNGGU kita berhenti sibuk agar bisa bicara empat mata.
Tapi jangan salah. Aku belum selesai. Aku belum ingin menyerah. Karena keheningan belum selesai menuliskan takdirku. Dan siapa tahu, di ujung lorong sunyi itu, aku akan MENEMUKAN KEMBALI nada-nada yang dulu kupinjam dari langit dan belum sempat kukembalikan. Masih ada napas di jantung ini, meski pendek dan nyaris serak. Masih ada satu dua kata yang ingin kubisikkan pada malam, meski tak akan ada yang mendengarnya.
Untuk saat ini, biarkan aku mendongeng saja. Tentang luka-luka kecil. Tentang hati yang belajar sabar tanpa alasan. Tentang hidup, yang lebih sering terasa seperti menunggu seseorang yang tak akan datang. Tidak untuk dimengerti. Hanya supaya aku tidak hilang. Karena jika aku berhenti mendongeng, maka aku hanya akan jadi satu dari ribuan orang yang ada, tapi TIDAK PERNAH BENAR-BENAR HIDUP.
Aku akan bertahan di antara sunyi dan luka. Dan catatan ini adalah bukti bahwa aku BELUM menyerah. BELUM HARI INI. Dan untukmu. yaa kau...kalau kau merasa hidupmu tidak penting, mari duduk sebentar di bawah pohon sunyi yang sama. Kita berbagi diam. Dan mungkin dari diam itu, tumbuh satu makna kecil yang tak ditemukan siapa-siapa.
Mendekap HENING di Gereja St Maria Fatima Paroki Banyumanik
Komentar
Posting Komentar