Anggii boru payung Part II | MAAF 🙏
“Maaf yang Tak Pernah Sempat Sampai”
Di balik barisan kata ini, aku mencoba merangkai ulang puing-puing hati, menuliskan maaf yang tak pernah sempat sampai. Untuk Anggi, yang pernah aku cintai dengan hebatnya, dan kini hanya tinggal dalam ingatan yang menggigil. |kelanjutan dari Anggi boru payung, ketika waktu memaksa lupa
Jika ada dua jenis kehilangan dalam hidup ini. kehilangan karena takdir, dan kehilangan karena diam yang terlalu panjang. Yaa, aku mengalami yang kedua.
Dan diamku, seperti batu hitam di dasar sungai, tetap menetap di sana, tak pernah sempat diterapungkan oleh kata maaf. Ada kesedihan yang tidak menangis. Ia hanya duduk diam di sudut hati, menggigil, dan menatap dunia seperti seorang anak yang ditinggal di stasiun yang salah, tak tahu harus pulang ke mana. Dan begitulah aku… sejak kau pergi.
Anggi,
Aku menulis ini bukan untuk mengulang kesedihan. Aku tahu, kesedihan yang dikuliti berulang hanya akan membusuk. Tapi barangkali, dengan menulis ini, aku bisa memulai sesuatu yang belum pernah berani aku lakukan... MENGAKU SALAH.
Karena sungguh, selama bersamamu, aku lebih sering menjadi beban daripada bahu. Aku terlalu sering berpikir bahwa mencintaimu adalah cukup dengan menemani dan mendukung, padahal lupa, bahwa cinta juga butuh bahasa, bukan hanya tindakan yang diam, tapi pelukan dalam, kata yang sederhana, dan kehadiran yang sungguh-sungguh mengerti.
Anggi,
Aku tidak tahu bagaimana cara meminta maaf kepada seseorang yang sudah tidak menoleh lagi. Bagaimana cara mengejar punggung yang sudah jauh ditelan kabut waktu?. Aku terlambat menyadari, bahwa cinta tidak hanya tentang diam menunggu, tapi juga tentang hadir secara utuh, menjadi ruang dengar, menjadi tempat istirahat batin, menjadi bahu yang tidak hanya kuat tapi juga peka. Tapi aku gagal, bukan karena tidak MENCINTAIMU. Aku hanya terlalu sibuk BERPERANG dengan hidupku, hingga tak sadar aku menciptakan sunyi di antara kita. Ku pikir aku sedang berjuang untuk kita, Tapi ternyata… aku perlahan meninggalkanmu sendirian dalam hubungan yang kita bangun berdua.
Kau pamit seperti matahari yang tenggelam, perlahan, anggun, namun pasti. Tanpa gaduh, tanpa cela, hanya keheningan yang menggantikan suara kita.
Waktu itu… aku hanya bisa diam. Bukan tak ingin menahanmu, tapi hatiku tak tahu bagaimana caranya bicara. Bagaimana caranya meyakinkanmu ditengah KETERPURUKANKU. Sekarang, bagaimana mungkin seseorang yang setiap sore kubonceng dengan motor tua itu, hanya menjadi bayangan di balik kata “PERGI”?
Anggi...Aku menulis ini, bukan karena ingin kau kembali. Aku tahu, pintumu telah tertutup rapat, dan kuncinya kau lempar ke dasar laut yang tak bisa kuselami. Aku menulis ini karena hatiku belum menemukan cara yang layak untuk MENGATAKAN MAAF. Diruang hening ini suara hatiku sudah kehabisan saluran, Karena satu-satunya hal yang tak bisa kau rebut dari kenangan yang ada, adalah sudut sunyi di mana aku menyimpan kata “MAAF.”
Maaf karena tidak menjadi ruang yang hangat saat dunia membuatmu dingin.
Maaf karena terlalu diam saat kau menunggu kalimat sederhana yang bisa menyelamatkan harimu.
Maaf karena ketika kau berkata ingin didengar, aku justru mendengarkan diriku sendiri.
Maaf, karena tidak hadir dengan cara yang benar.
Maaf, karena pada akhirnya… aku tidak cukup kuat menjadi tempat pulang bagimu. Bahkan ketika kau hanya butuh seseorang yang menatap dan berkata, “Aku di sini. Jangan takut.”
Dan maaf karena aku hanya MENYADARI semua ini ketika kau sudah memilih menjadi ASING.
Tapi semua sudah lewat, bukan? Dan kau tak pernah menoleh lagi. Sementara aku masih berdiri di peron yang kosong, masih membawa sebaris doa yang tak sempat dikirim, dan maaf yang tak tahu ke mana harus dikatakan.
Tapi jika di suatu pagi yang tidak direncanakan, kau membaca ini, dan hatimu sudah menjadi daratan lain yang tak kutahu letaknya, tak apa.
Aku tidak sedang menagih kembali.
Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku sadar, aku bersalah. Dan meski terlambat, AKU MINTA MAAF🙏, AKU TIDAK MENYESAL PERNAH BERSAMAMU, MENCINTAIMU, MENGHABISKAN BANYAK WAKTU dengan MU, dan MENGHANTARKAN MU PADA CITA-CITAMU.
Yang kusesali… aku tidak tahu bagaimana mencintaimu dengan cara yang benar. Kau seperti bunga yang kubawa berjalan jauh melewati padang panas dan hujan deras, tapi aku lupa memberinya air. Dan kini, bunga itu telah gugur di tempat lain. Mekar, mungkin. Tapi tidak di tanganku. Mungkin di tangan seseorang yang lebih tahu cara menyentuh hatimu dengan lembut. Seseorang yang hadir bukan sekadar sebagai penunggu senja, tapi juga peneduh saat kau merasa dunia terlalu keras.
Aku masih hidup Baya. Tapi dihidup yang terasa seperti mengulang-ulang jam kosong di kelas sejarah, ada deretan angka dan kejadian, tapi tak satu pun menyentuh makna. Yang kupunya kini hanya lembar-lembar dongeng kecil, kisah tentang kehilangan yang kusebut CINTA. Tentang perpisahan yang kusebut TAKDIR. Dan tentang seorang lelaki yang ingin meminta maaf, tapi terlalu lama diam… hingga kau keburu PERGI TANPA MENOLEH LAGI, seperti saat aku harus melepasmu pergi jauh, di bandara Djuanda Surabaya waktu itu.
Kau tahu, Anggiii… dari semua kalimat yang pernah kita tukar, ada satu yang terus berputar di kepalaku seperti mantra yang MENYESAKKAN,
“Pergilah… jangan pernah lihat ke belakang.”
Dan kau menepatinya.
Kau pergi… tanpa pernah menoleh. Tapi aku, aku masih di sini. Masih melihat ke belakang. Masih berharap… seandainya waktu bisa mundur, aku ingin sekali saja memelukmu sambil berkata, “Maafkan aku, karena tak bisa menjadi yang terbaik… untukmu.”
Poltak, Biara Murti 127B
Komentar
Posting Komentar