Misa Pagi Part II Rahmat yang Tidak Ditulis dalam Liturgi

Misa Subuh, Senyum, dan Seorang Perempuan Tanpa Nama

Kelanjutan dari, Jika Besok Kau Duduk di Sana, Maukah Sedikit Menoleh Lagi?

Subuh-subuh yang basah. Jalanan belum sepenuhnya kering dari hujan semalaman.  Aku menyusuri aspal yang licin dengan kuda liarku yang kehilangan rem. Pelan-pelan, seperti menakar makna tiap tapak langkah, sipata makna itu bukan untuk dicari, melainkan ditunggu. Gereja berdiri seperti biasa, diam dan lembab, tetapi penuh.

Aku orang kedua yang datang. Orang pertama itu seorang ibu sepuh yang sedang bicara dengan Tuhan dalam bahasa yang paling sunyi. Aku duduk agak jauh, sebab takut mengganggu, takut napasku ikut menggetarkan ketenangan itu.

Dua puluh menit kemudian, umat datang perlahan, seperti embun mengendap di daun-daun tua. Rosario pun kami daraskan, bersama-sama, satu suara yang berulang-ulang, seperti ombak kecil di pantai yang tak pernah libur.

Lalu lonceng berbunyi. Kecil saja, tapi cukup untuk membelah waktu. Dan di saat itu, entah dari mana, datanglah dia, perempuan dengan potongan rambut seperti bulan yang belum bulat. Dia datang bersama tiga orang lainnya, sepasang tua yang saling menggenggam waktu, dan seorang perempuan muda yang mungkin adiknya. Mereka duduk dua baris di depan tempatku menyembunyikan detak.

Ibadat dimulai. Doa mengalir, seperti sungai yang tidak tahu ke mana harus berhenti. Aku duduk, berdiri, berlutut, seperti wayang yang tali-tali hidupnya ditarik oleh sesuatu yang lebih besar dari dunia. Namun hatiku tidak terletak di buku doa, ia sedang berdiri gugup di antara dua baris bangku di depan sana.

Waktu salam damai tiba. Kiri dan kananku kuberi salam seperti biasa. Tapi seperti ada angin berhembus dari depan...ya, senyuman itu, senyuman yang seperti cahaya matahari yang menyelinap dari balik awan. Ia menoleh. Ia tersenyum. Lalu ia buru-buru menariknya kembali karena ibu tua di sebelahnya mengatupkan tangan untuknya, itu seperti menahan hujan agar tak turun.

Aku jantungan. Hatiku berdetak seperti genderang perang yang kehilangan perang. Serrr… tubuhku serasa melayang, tak tahu apakah ini misa atau momen kasmaran paling manis yang Tuhan selipkan begitu saja.

Misa usai. Aku berdoa dan berlutut dengan mata tertutup, agar aku tak melihat dunia yang mungkin telah kembali ke semula. Saat aku buka mata, dia tak ada. Kosong. Tapi dari jauh aku melihat pintu ruang adorasi terbuka, dan bayang-bayang rambut bob cut itu masuk dengan perlahan, membawa doa-doa yang tak kuketahui isinya.

“Ah, dia masuk ke ruang yang lebih sunyi dari sunyi. Aku tahu sekarang kenapa dia terburu-buru pergi ketika amin terakhirku belum selesai.”

Aku keluar dari gereja dengan dua kebahagiaan. Satu karena rahmat Ekaristi yang selalu diam-diam membetulkan patah di dadaku. Yang satu lagi karena senyuman tak berdurasi dari seseorang tanpa nama. Tak apa. Nama bisa menunggu. Tapi senyuman yang tulus itu adalah peristiwa.

Terima kasih, perempuan yang senyumnya menggempur dadaku. Terima kasih telah menoleh. Aku tak tahu caranya menyebut cinta. Hari ini, aku mencatatmu dalam diam. Seperti puisi yang tidak ditulis, hanya kubisikkan ke langit-langit kamar. 


Poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati