Podah! untuk mereka yang kadang sok AKRAB!!!..
“Bukan Semua Hal Harus Ditanya: Ada yang Cukup Dirasakan”
(Oleh Poltak si Pendongeng Miskin)
Kau perlu tahu bahwa keramahan tanpa kepekaan hanyalah gangguan sosial yang dibungkus niat baik.
Dengar baik-baik. Di dunia ini, ada hal-hal yang bisa dipahami tanpa perlu bertanya. Ada situasi yang cukup dihirup dengan rasa, bukan diobrak-abrik dengan kata. Tapi tampaknya, perempuan yang satu ini tidak pernah diajarkan itu. Atau mungkin dia belajar dari buku “Bagaimana Menjadi Akrab Dalam Lima Menit dan Merusak Hubungan Sepanjang Tahun.” heheh...
Baru datang, namanya pun belum stabil di kepala umat lain, eh, dia sudah sibuk tanya-tanya;
“Apa rencana kamu lima tahun ke depan?”
“Kenapa kamu jarang ke gereja?”
“Si A sama si B itu kenapa ya dingin?”
Kapan ini itu, gimana ini itu...
Maaf.
Itu apa???, kau sedang apa???, pendekatan ???.. itu bukan pendekatan. Itu penginterogasian sosial dengan metode sok spiritual. Dan yang lebih parah, pikirmu itu bentuk “pelayanan hati”.
Padahal kalau kau belajar pada sunyi, kau akan tahu, kadang yang dibutuhkan orang bukan jawaban, bukan percakapan, bahkan bukan pelukanmu. Kadang yang dibutuhkan orang hanyalah hadirnya sosok yang tidak menyusup, tapi cukup duduk dan mengerti.
Kau salah besar kalau mengira pendekatan sosial adalah urusan informasi. Kau pikir semakin banyak kau tahu, semakin dalam relasimu. Padahal yang terjadi, semakin banyak kau korek, semakin dalam kau gali lubang keterasingan. Kau tidak mendekat. Kau memaksa. Kau tidak membangun keakraban. Kau membangun benteng ketidakpercayaan. Dan ketika orang mulai menjauh, kau heran. Lalu kau bilang, "Mereka tertutup, sulit dibentuk." Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, mereka trauma dengan caramu datang TANPA RASA.
Begini, saudari…Aku tidak tahu bagaimana dulu kau dididik di tempat asalmu. Tapi di sini, orang menghormati ruang pribadi. Di sini, kedekatan dibangun dari proses yang PERLAHAN, bukan dengan formulir tanya-jawabmu. Di sini, kalau orang sedang diam, kau harus belajar mendengar SUNYINYA. Kalau seseorang menunduk, mungkin itu bukan undangan untuk pertanyaan basi-mu, melainkan tanda bahwa mereka sedang belajar BERDAMAI dengan hidupnya sendiri. Kau tak berhak memaksakan pintu dibuka hanya karena kau membawa ALKITAB. Pertanyaan tanpa empati adalah kekerasan terselubung. Kau seperti tamu yang masuk ke rumah orang lalu langsung buka lemari. Lalu bilang, “Saya hanya ingin tahu supaya saya bisa dekat.”
Dekat???...
Kedekatan itu lahir dari rasa saling percaya. Dan kepercayaan dibangun dari keheningan, dari ketulusan, dari tahu diri. Bukan dari tanya yang tak tahu batas, bukan dengan basa basi-mu yang sungguh.. kikuk.. sungguh ya. BASI!
Kau kira semua orang ingin dibuka kisahnya?, Tidak semua orang ingin terlihat rapuh. Tidak semua luka bisa dijadikan obyek pelajaran sosial. Dan kalau kau memaksa, maka kau bukan sedang melayani, kau sedang menjadikan orang lain sebagai bahan baku untuk rasa penasaranmu sendiri.
Jadilah hadir yang menghormati, bukan untuk melukis sketsa orang itu. Apa susahnya hadir tanpa bertanya?, Apa sulitnya duduk di samping seseorang dan hanya berkata, ”Aku di sini kalau kamu butuh teman”. Kau tak perlu tahu semua hal untuk mencintai. Kau tak harus paham seluruh latar belakang seseorang untuk menerimanya. Sering, orang hanya ingin diuji, BUKAN dengan pertanyaan, tapi dengan KEHADIRANMU yang sabar.
Aku tak bisa menjawab semua pertanyaan. Tapi aku belajar dari hidup, Bahwa dalam ruang sosial yang sehat, lebih baik satu jam duduk dalam diam daripada lima menit bertanya tanpa tahu kapan berhenti. Jadi untukmu yang datang dengan semangat menggali, dengarlah satu nasihat dari pendongeng kampung ini,
“Kadang, orang hanya butuh kau hadir. Bukan untuk bertanya. Tapi untuk membuktikan bahwa kau cukup MANUSIA, untuk tahu tentang rasa tak selalu harus dijelaskan. Orang akan mengingat kehangatan sikapmu jauh sebelum mereka mengingat isi KOTBAHMU.” perlu diam, itu bukan pasif. Kadang diam adalah cara paling aktif untuk menghormati keberadaan orang lain.
Okeh ??.. SEKIAN
Poltak, pendongeng miskin yang tak berwawasan|Atap tanah Djawa 23-A : Ladang 1981
Komentar
Posting Komentar