Menjaga Hati di Dunia yang Tergesa

Suara dari Kesunyian, oleh Poltak, si pendongeng miskin yang tak berwawasan 

Belakangan rasanya dunia ini seperti dapur tua yang ditinggal pemiliknya. Masih ada bekas sendok, panci, dan wajan. Tapi tak lagi ada yang memasak. Kita hidup, ya, tentu saja. Tapi rasanya seperti hanya sekadar menjalani. Seperti makan tanpa rasa, tidur tanpa mimpi, berjumpa tanpa benar-benar hadir.

Ceritaku tidak tentang perang atau berita besar. Aku bicara tentang hal-hal kecil yang pelan-pelan hilang dari sekitar kita. Tentang orang yang tak lagi menyapa karena sibuk dengan gawai. Tentang tetangga yang tak tahu tetangganya sedang menangis. Tentang sahabat yang pergi diam-diam karena tak kuat lagi berpura-pura kuat.

Dulu, waktu masih kecil aku sering duduk di pangkuan mamak, oppungnya si Windy. ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena dikasih uang yaa, tak dijanjikan apa-apa juga, tapi aku merasa aman. Mungkin itulah rasa yang sekarang jarang kutemui, RASA DILIHAT, DIDENGARKAN, DITUNGGUI.

Sekarang banyak orang ingin didengar, tapi tak tahu bagaimana mendengar. Banyak yang ingin mengubah dunia, tapi tak tahu bagaimana menemani seseorang yang sedang hancur. Kita sering terlalu cepat untuk bilang “semangat ya”, tapi lambat dalam diam dan menemani. Kita pandai memotivasi, tapi tak sabar menunggu orang lain tumbuh dengan kecepatannya sendiri. 

Barangkali, karena kita takut memberi tanpa dikembalikan. Karena kita ingin semua kasih berbalas, semua nasihat dianggap bijak, semua perhatian dihargai. Padahal tidak semua cinta harus dimengerti. Tidak semua kebaikan harus dikenang. Sebagian kasih memang harus pergi diam-diam, agar ia tetap murni. Dan beberapa hati harus belajar untuk tidak ditandai, agar tetap bebas memberi.

Aku menulis ini bukan karena sudah terbisa. Hanya aku juga sedang belajar, belajar untuk tetap lembut walau sering DISALAHPAHAMI. Belajar untuk tetap memberi walau tak dihargai. Belajar untuk TETAP TINGGAL walau pintu-pintu hati sudah ditutup rapat.

Ada orang yang nanyak samaku, katanya “Masih pentingkah jadi orang baik bang di dunia yang kejam ini?.” Aku tidak menjawab panjang.

Aku cuma bilang: “Kalau semua orang memilih jadi keras, siapa yang tersisa untuk jadi pelukan?”, Barangkali kita tak bisa menyelamatkan dunia. Tapi setidaknya, kita bisa jaga agar hati kita tak ikut MATI. Kita bisa memilih jadi seseorang yang, meski hidup seadanya, tapi tak pernah untuk PELIT RASA. Karena dunia ini tidak kekurangan orang pintar, bukan kekurangan orang kuat, tapi sangat kekurangan orang yang tahu bagaimana caranya mencintai dengan tenang, mengingat dengan tulus, dan menjaga dengan sabar.

Kalaupun hari ini kau merasa tak dipahami, tak dibalas, tidak dihargai, mungkin kau sedang benar. Tapi jangan terburu-buru untuk berhenti. Karena sering kali, orang yang paling hancur justru sedang MENUNGGU satu tangan yang tak banyak tanya, tapi MENGGENGGAM. Kolok tanganmu adalah tangan itu, walau kecil, walau lusuh, walau gemetar, maka kau sudah memberi cahaya. Bukan untuk dilihat. hanya untuk menerangi. Pelan. Tanpa sorot. Tanpa tepuk tangan. 

Kadang, dunia tak butuh revolusi. Cukup satu orang yang tetap memilih menjadi welas, meski dunia tak ramah padanya. Dan kalau tak ada yang mengingatmu setelah ini, tidak apa-apa. Namamu akan tetap tinggal di tempat yang lebih penting: Di hati seseorang yang pernah kau temani tanpa pamrih, di hari paling gelapnya. Aku, Poltak Pendongeng miskin yang tak berwawasan, masih percaya, bahwa kasih tidak pernah sia-sia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati