Kalau Hidup Adalah Lomba, Mungkin Kita Semua Pelari yang Salah Jalur

Ehh... tunggu bentar, jadi ini adalah tulisan ngawur yang meyakinkan, lucu yang menyakitkan, dan tanpa sengaja menjadi kontemplatif.

Mari kita lihat dari sisi eksistensial,  mengapa manusia begitu fanatik mengejar “TUJUAN”, bahkan saat hidupnya sendiri tak pernah dia definisikan dengan jujur.

Kalau Hidup Adalah Lomba, Mungkin Kita Semua Pelari yang Salah Jalur

Oleh Poltak sipendongeng miskin 

Jadi kek gini, aku curiga ada yang salah dengan hidup ini sejak pertama kali kita diajari berdoa sambil meletakkan harapan di luar diri kita. Kita diajari mengejar BERKAT, bukan MENGOLAH keberadaan. Diajari berlari menuju kesuksesan, bukan BERDIALOG dengan kebahagiaan. Diajari menjadi lebih baik dari yang lain, bukan LEBIH JUJUR DENGAN DIRI SENDIRI.

Kau tahu. sialnya, semua itu dibungkus rapi dalam kata-kata motivasi. Dalam seminar mahal, dalam spanduk murahan, dan dalam status WhatsApp kakak-kakak gereja. Tanpa sadar, kita semua jadi pelari. Lari dari rasa cukup. Mungkin lari dari keheningan. Atau bahkan lari dari pertanyaan: “Apa sebenarnya yang aku kejar ini?”

Beberapa orang lari karena takut miskin, padahal dia tidak pernah tahu arti kaya. Ada yang lari karena takut sendiri, padahal dia tak pernah benar-benar hadir bahkan untuk dirinya sendiri. Ada pulak yang lari hanya supaya bisa menunjuk orang lain yang jalan kaki dan berkata, “Kasihan kali ya, hidupnya segitu-gitu aja.” Padahal, siapa yang lebih menyedihkan, Orang yang tahu ia jalan kaki menuju rumahnya sendiri, atau orang yang lari kencang menuju rumah orang lain? 

Di kota besar Jakarta, saya pernah naik kereta pukul 06.00 pagi. Para penumpang mukanya semua sama. Dingin. Tertunduk. Sibuk membuka Excel atau membungkus roti dengan diam. Tak ada tawa. Tak ada obrolan. Bahkan yang ada cuma mata yang kosong dan janji cicilan barangkali. Dan kau tahu, mereka itu adalah PELARI profesional. Yang punya jam tangan canggih, grafik hidup, target karir, dan 5 rencana pensiun. Tapi nihil refleksi. Mungkin. Barangkali mungkin... 

Aku mau tanya dikit, “Sudah sejauh ini kau berlari. Pernahkah kau duduk sejenak dan bertanya, ini hidup siapa yang sedang ku jalani?. Bagaimana jika aku tidak pernah sukses seperti yang ku-iimpikan?”. Ironisnya, waktu kau berhenti merenungkan ini, mereka akan mencemooh. Karena diam sering dianggap lamban. Merenung dianggap kemunduran. Berjalan dianggap kegagalan. Mereka akan bilang, “Ah, hidup itu harus ada goal!” Tapi mereka lupa, sapi pun digiring ke kandang jagal dengan tujuan yang jelas.

Tujuan bukan ukuran kebenaran. Kadang yang kita anggap tujuan, justru jebakan paling halus dari sistem yang ingin MEMERAH kita sampai habis.

Dulu aku kira Tuhan itu di ujung jalan. Ternyata kadang, Tuhan duduk diam di pinggir, memanggil kita untuk berhenti. Tapi kita terlalu sibuk mengejar LOMBA motivasi, sampai tak sempat menyapanya. Kita lebih takut disebut pemalas, daripada disebut KEHILANGAN arah. Padahal… mungkin yang kehilangan arah adalah...Ah entahlah 

Akhirnya yang terlalu sibuk berlari adalah mereka yang tidak pernah tahu apa yang ingin DITEMUKAN. Dan kemudian, kita sampai juga di garis akhir. Dengan gelar, rumah, saldo, mobil, dan foto prewed di Bali. Lalu kita sadar...Kita menang lomba yang tidak kita INGINKAN SEJAK AWAL.

Yaa begitulah aku, si Poltak. Orang miskin, tidak relevan, tidak punya TikTok. Tapi aku sangat bahagia karena tidak ikut lomba. 

Aku duduk di kasur reyot biara Murti ini. Menyeduh air jahe. Menyaksikan dunia berlari tanpa arah. Dan sesekali, aku menulis begini,  bukan untuk mengubah dunia, hanya supaya aku tidak ikut-ikutan jadi gila. Karena... satu-satunya kewarasan yang tersisa di zaman ini adalah keberanian untuk duduk dan bertanya, KENAPA AKU HARUS IKUT BERLARI?


Aku, Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan [Biara Murti 127B] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati