Misa Pagi Part III Pada Sebuah Payung, Tuhan Menitipkan Hujan dan Senyum Seorang Perempuan

Misa Subuh, Senyum, dan Seorang Perempuan Tanpa Nama

(Bagian 3: “Pada Sebuah Payung, Tuhan Menitipkan Hujan dan Senyum Seorang Perempuan”) Poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Subuh kembali datang, seperti sajak yang tak pernah bosan dibacakan alam. Langit masih remang, dan jalanan masih basah. Sepertinya karena kabut semalaman seolah menyisakan luka kecil di aspal dan bau tanah yang menyerupai memori masa kecil yang sederhana, hangat, dan sendu.

Aku menyusuri jalanan dengan langkah yang teratur, pelan, dan diam-diam takut. Takut harapan-harapan kecilku gugur sebelum sempat bertunas, dan takut sikuda liarku mati tiba-tiba, ya itu memang penyakit lamanya. di gereja seperti biasa, diam, teduh, dan sedikit lembab. Seperti ayat-ayat tua yang sudah terlalu sering dibaca tanpa sempat dipahami. 

Aku duduk di barisan belakang pada kursi bagian depan, masih ditempat yang sama, tempat di mana aku bisa sembunyi dari dunia dan mendengarkan napasku sendiri. Langit masih menggantungkan hujan kecil. Gemuruhnya samar, tapi terasa dekat. Kupikir, Tuhan sedang merapikan kabut di hatiku. 

Seperti pertemuan yang sudah dijanjikan langit, dia datang. Perempuan itu. Ya masih tanpa nama. Tergesa, seolah waktu ingin menahan langkahnya, tapi ia terlalu rindu untuk datang lebih cepat. Masih bersama sepasang tua yang tampak selalu duduk bersamanya, sepasang kekasih dalam usia senja yang tak pernah ragu menggenggam waktu. Mereka duduk tiga baris di depanku. Jantungku, ya seperti biasa berdegup tak wajar. Dalam hati, aku bicara dengan diriku sendiri: “Andai kau duduk di sampingku, mungkin aku akan tahu suara detak jantungmu seperti apa.”

Tapi aku paham. Pagi itu masih banyak kursi kosong di depan. Dan mungkin, seperti doa yang lebih dulu dikabulkan, dia lebih suka dekat dengan altar, sementara aku masih bersembunyi di pinggiran yang senyap.

Ibadat berjalan dalam khidmat yang hening. Hujan mengguyur atap gereja seperti Tuhan sedang menenangkan api di hati manusia. Dan saat homili mengalir pelan seperti sungai tua yang bijak, hujan pun mulai reda, menyisakan suara tetes yang menyerupai nada-nada kenangan. Doa-doa merayap ke langit bersama suara hujan yang perlahan berubah dari deras menjadi rinai. Bapa Pastor berbicara dengan suara lembut. Tentang kasih, tentang pengampunan, tentang kehadiran Tuhan dalam hal-hal kecil. Dan entah kenapa, setiap kata yang keluar terasa seperti diarahkan langsung ke arahku. Atau mungkin, aku saja yang sedang terlalu ingin merasa diperhatikan.

Kidung pujian pun melayang, melintasi jendela-jendela berkabut dan menempel di kaca hati yang selama ini sulit dibersihkan.

Saat salam damai tiba, semua seperti berjalan dengan perlahan. Aku menoleh ke kiri dan kanan, mengangguk, tersenyum dan mengucapkan “salam damai Kristus”

Lalu dari arah depan, ia menoleh. Matanya mencari dan menemukanku. Dan di saat itu, waktu seakan berhenti. Ia menyatukan kedua tangannya, mengangguk kecil, dan tersenyum...Bukan senyum yang gugup seperti kemarin. Tapi senyum yang penuh. Lepas. Indah. Seolah Tuhan sedang menitipkan cuplikan surga dalam senyuman itu, agar aku tidak merasa terlalu sendiri di bumi.

Senyumnya bertahan lebih lama dari yang kupikirkan. Dan dalam detik-detik pendek itu, aku melihat kemuliaan Tuhan. Tidak pada altar, bukan di lilin, juga di lagu pujian...Tapi di wajah seorang perempuan yang duduk tiga baris di depanku, dengan rambut seperti bulan sabit yang belum genap.

Setelah misa usai, aku berlutut seperti biasa. Menyelesaikan amin panjang yang sering terselip oleh lamunan. Saat kubuka mata, seperti dugaanku, dia telah lenyap dari barisan. Tapi kali ini aku tahu ke mana perginya. Ke ruang adorasi. Ruang yang lebih sunyi dari sunyi, tempat orang-orang menitipkan beban tanpa suara. Tempat di mana setiap bisikan menjadi bagian dari simfoni agung yang hanya bisa didengar oleh Yang Maha Mendengar.

Aku duduk lebih lama dari biasanya. Memandangi pintu ruang adorasi. Berharap ia segera keluar, walau tak tahu apa yang akan kulakukan kalau ia benar-benar muncul. Di sekelilingku, beberapa umat masih berdoa. Ada yang khusyuk, ada yang termenung, ada yang mungkin sedang mencoba berdamai dengan luka-luka hidupnya.

Aku sempat berpikir untuk pura-pura masuk ke ruang adorasi. Berdoa. Atau paling tidak, duduk di dekatnya. Tapi hatiku menolak. Motivasi yang salah akan merusak tempat yang paling kudus. Aku hanya bisa menunggu. Dengan sabar yang nyaris menyerupai rindu.

Aku berdiri. Bersiap pulang. Tapi Tuhan, rupanya belum selesai menulis pagi ini. Hujan turun lagi, deras. Deras seperti rindu yang tak sempat dilafalkan. Aku menepi di serambi gereja, bersama para sepuh yang juga sedang menunggu reda. Hujan turun lebih deras dari tadi. Langit seolah ingin menunda kepulanganku. Dan tiba-tiba, pintu adorasi terbuka. Ia keluar.

Wajahnya segar. Damai. Seolah baru saja menitipkan beban besar kepada Tuhan dan pulang dengan tangan kosong yang ringan. Ia berdiri di depan pintu utama gereja. Menatap hujan yang jatuh dengan tenang. Lalu ia menoleh. Melihatku. Aku melihatnya. Tatapan itu tak dirancang. Tapi tulus. Ia tersenyum. Lalu menunduk. Malu-malu.

Beberapa orang tua berdiri tak jauh dari kami, menunggu hujan reda. Tapi hanya aku dan dia yang saling bertukar pandang seperti itu. Ia berdiri tidak terlalu jauh dariku. Ku beranikan diri. Melangkah pelan. Mendekat. Tidak menanyakan nama. Bagiku, nama belum penting saat ini. Aku hanya ingin bicara.

“Deras sekali ya, Mbak,” kataku basa-basi.

“Banget,” jawabnya sambil tersenyum.

Lalu ia bertanya, “Masnya tadi mau kesini nggak kehujanan?”

“Nggak. Aku datang sebelum hujan. Jam 04.15 og Mbak.”

“Wah cepat sekali. Aku tadi kehujanan. Tapi untung nggak basah, karena di mobil.” Aku mengangguk. Lalu bertanya tentang ibu bapaknya.

“Mereka udah nunggu di mobil. Mungkin sebelum hujan besar langsung masuk.” Katanya dengan ramah. 

Kami berbincang sebentar. Sederhana, tapi rasanya hangat. Senyumnya menembus hujan. Menyentuh bagian hatiku yang paling rapuh. Lalu aku berkata,

“Mbak, saya ambilkan payung ya. Biar saya antar ke mobil. Ada payung gereja di pos satpam.”

Dia sempat menolak, takut merepotkan. Tapi akhirnya mengiyakan. Aku tahu dia tak terburu-buru. Tapi aku tak tahu harus berkata apa lagi, selain mencoba jadi payung kecil dalam hujan yang besar ini.

Aku pegang gagang payung itu. Dan tak kuduga, dia juga memegangnya. Pelan. Sopan. Tapi hangat. Kami berjalan. Pelan-pelan. Tanpa suara, tapi dalam kepalaku, jutaan kata ingin sekali keluar. Senyumnya tak bisa ia tahan. Malu-malu. Tapi nyata. Dan itu cukup untuk menghangatkan separoh punggungku yang basah. Sampai akhirnya kami tiba di mobil hitam yang sudah menyala. Fortuner. Ia membuka pintu kemudi. Dan sebelum masuk, ia menoleh padaku.

“ Mas, aku harus manggil apa nihh?” katanya sambil tersenyum.

“Panggil saja Manik,” jawabku.

“Oh iya... makasih ya, Mas Manik,” katanya sambil tertawa kecil.

Bapaknya menimpali dari kursi depan, “Terima kasih loh ya, Mas Manik. Hati-hati pulangnya.”

“Nggih, sami-sami, Pak, Bu,” jawabku.

Lalu ia menutup kaca jendelanya pelan. Mobil itu pun perlahan menjauh.

Aku berdiri. Masih di bawah payung yang kini hanya milikku sendiri. Masih belum tahu, apakah yang tadi adalah awal, atau akhir. Tapi satu hal aku tahu, Hari ini Tuhan menulis kisah kecil di bawah hujan. Dengan tokoh bernama Manik, dan perempuan tanpa nama yang senyumnya lebih abadi dari doa yang pernah sempat kuucapkan.

Sekarang sipendongeng miskin yang tak berwawasan itu lebih bodoh dari sebelumnya, karena ia jatuh cinta, MUNGKIN JATUH CINTA... dalam diam kepada sesuatu yang bahkan tanpa nama.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati