Mungkin Aku Sudah Sampai, Tapi Tak Pernah Tahu di Mana

“Mungkin Aku Sudah Sampai, Tapi Tak Pernah Tahu Di Mana”

Nyaris menjadi desah terakhir, aku yang sudah terlalu lama berjalan, lupa arah pulang, lupa siapa diriku, dan lupa mengapa aku mulai. Saat-saat terberat di tahun 2021-2023 

Ketika aku belum banyak tahu, hidup ini kuanggap seperti meneguk air dari tempayan tua. Cukup segar, dan tak pernah kusangka akan habis. Aku hidup seperti bocah kampung yang bermain di lumpur kotor, tapi tak peduli apapun. Kupikir menjadi manusia hanya soal menghirup udara dan menghembuskannya kembali. Sesederhana itu. Sesering itulah aku salah paham, tanpa pernah belajar cara menahan napas di tengah kenyataan.

Aku berjalan tanpa alasan, karena segala sesuatu seolah menanti untuk ditertawakan. Kupikir luka bisa diobati dengan tidur, dan kehilangan bisa diganti dengan es krim dua rasa. Aku tak tahu bahwa waktu bisa mencuri semuanya tanpa suara, dan tanpa ampun.

Tapi itu sebelum aku kenal yang namanya GELORA. Ah gelora... gelombang yang tak bisa kutebak ujungnya. Dadaku mulai sesak oleh cita-cita yang tak bisa KUPANGGUL, dan mimpi-mimpi yang lebih besar dari isi kepalaku sendiri.

Ah, Poltak. Apa yang kau kejar sebenarnya? Kataku, ingin kujelajahi seluruh SUDUT BUMI. Padahal aku tak tahu cara MENYUSURI lorong-lorong dalam diriku sendiri. Aku bilang ingin jadi BESAR. Padahal aku bahkan belum bisa berdamai dengan kecilnya namaku di rumah sendiri. 

Entah berapa lamanya aku berjalan, karena WAKTUKU tak lagi memakai jam. Aku memakai luka sebagai kalender, dan KEGAGALAN sebagai detik-detik pengingat bahwa aku tak pernah benar-benar sampai.

Entah berapa jauhnya langkahku melayang, peta yang kupunya bukanlah lagi berupa gambar, tapi KEHAMPAAN yang terus kuajak KOMPROMI. Sering perjalananku terasa seperti menulis puisi di atas pasir, yang sebentar indah, lalu hilang ditelan ombak kenyataan.

Ada malam-malam yang terasa seribu tahun, dan ada pagi-pagi yang terlalu cepat berlalu sebelum sempat kupeluk MAKNANYA. Perjalanan ini bukan tentang sampai. Tapi tentang berapa banyak versi diriku yang MATI DI JALAN. Tentang berapa kali aku harus mengganti kulit, dan berpura-pura kuat, padahal aku cuma anak kecil yang kebetulan tumbuh kumis.

Kini aku duduk di hadapan malam, bercermin dalam gelap. Karena hanya dalam gelap itu, bayangan berhenti menipu. Aku memandangi pantulan wajahku sendiri, pucat, renta, penuh tanya, dan aku mulai sadar, barangkali aku terlalu SIBUK berjalan, hingga lupa ke mana sebenarnya aku ingin PULANG.

Malam itu, mengajari-ku berhenti. mengajari aku duduk tenang tanpa gelisah, Seluruh tubuhku sudah lelah menjadi PANGGUNG bagi ambisi-ambisi yang TAK PERNAH benar-benar KUMILIKI

Setelah jauh perjalanan yang aku tempuh. Telah banyak peristiwa yang ku lihat. Semakin aku berjalan, semakin aku merasa, AKU INI BUKAN SIAPA-SIAPA, dan mungkin, TAK PERLU MENJADI SIAPA-SIAPA. Cukup menjadi aku yang bisa duduk DIAM, dengan segelas air jahe kesukaanku,  dan sejuta kenangan yang tak minta untuk ku lupakan. Sadarku sesungguhnya yang paling JAUH BUKANLAH LANGKAHKU, melainkan HATIKU YANG TAK KUNJUNG TAHU DI MANA RUMAHNYA.



Biara Murti, 2021 

Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati