Ritme yang Tak Tertulis: Pasar yang riuh, Gereja yang sunyi

Aku mengukir cerita, dengan sentuhan sisi terdalam kehidupan sehari-hari, yang mengalir dengan renungan lirih, menggambarkan hidup sebagaimana adanya, sederhana, namun tak pernah kehilangan makna.

oleh Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Ritme yang Tak Tertulis: Pasar yang riuh, Gereja yang sunyi 

Hari itu ulangtahun adikku Riska, sihetel kami yang sudah berumur 22 tahun katanya. Tak ada lilin baru di atas kue, tak ada dekorasi warna-warni seperti dalam gambar di etalase toko roti. Hanya ada syukur yang sunyi, ada doa yang diam-diam mengalir seperti air kecil di sela bebatuan. Kami rayakan dengan sederhana, secukupnya saja, karena hidup pun kadang tak memberi lebih dari itu. Aku, Romo Wirandus, Aglean, dan Dorc. Entah siapa yang menggagas, tapi tiba-tiba saja kami sudah memacu motor menuju Goa Maria Kerep di Ambarawa.

Motor kami melaju seperti pelan-pelan menyusuri sunyi, menyisiri waktu yang masih pekat dan sepi. “Santai-santai aja ya guru”, begitu kata si romo wirandus. Langit seperti enggan berubah warna, dan malam terasa seperti perpanjangan dari hari-hari yang belum selesai kutafsirkan sebelumnya.

Angin malam masih menggigilkan tulang, dan langit dini hari masih enggan berganti warna. Sekira 45 menit dari Semarang, jalanan sepi seperti hati yang baru selesai menangis. Setibanya di sana, kami berdoa dalam diam. Masing-masing membawa cerita yang tak sanggup diceritakan ke manusia, lalu diserahkan begitu saja pada Sang Pendengar yang tak pernah menyela. Doa yang terucap itu, bukan seperti permohonan, dia seperti bisikan lirih dari jiwa yang lelah, yang cuma ingin didengar oleh sesuatu yang tak terlihat.

Sekira pukul tiga dini hari kami hendak pulang. Tapi Ambarawa punya cara lain menyambut kami. Ramai sekali! Pasar pagi telah hidup, seperti semut-semut yang tak bisa diam, orang-orang lalu lalang membawa harapan dalam keranjang dan pikulan. Aglean nyeletuk, “Orang-orang ini apa nggak tidur ya bang?” Aku cuma menjawab pelan, “Kalau mereka tidur sekarang, mungkin besok mereka nggak bisa makan.” Jawaban itu terasa seperti batu kecil yang dilempar ke telaga, tenang tapi beriak di dada.

Romo Wirandus, seperti biasa, tak bisa menahan diri kalau sudah mendengar kata "pasar." Ia langsung parkir dan membaur dalam kerumunan, seperti ikan yang kembali ke sungai asal. Membeli wortel segunung, kentang, dan aneka sayur yang bahkan aku tak tahu namanya. Aglean dan Dorc ikut serta, seperti anak-anak yang menemukan mainan baru. Aku sendiri, entahlah, selalu merasa bosan di pasar. Tapi pagi itu berbeda. Ada semacam ketenangan yang datang dari udara dingin, dari suara para ibu menawar harga, dari wajah-wajah lelah tapi hidup. Sayuran yang bagiku hanya sekadar daun-daunan, tapi bagi mereka, mungkin itu tiket untuk bertahan esok hari.

Aku duduk di antara karung-karung sayur, diam, memperhatikan hidup yang begitu riuh namun jujur. Lalu Romo nyeletuk, “Wah... murah do ijon andin, untung ma lang belanja nokkan au i Semarang.” Aku hanya senyum kambing, karena memang benar, hidup di kota kadang lebih mahal. 

Di antara ribuan manusia itu, yang satu menjajakan rokok, yang lain menjajakan soto, ada yang hanya duduk menjaga pikulan. Aku bertanya dalam hati, apa yang mereka cari sepagi ini? Apa yang mendorong mereka bangun sebelum ayam berkokok, menantang dingin dan kantuk hanya untuk bertahan hidup?, Mungkin jawabannya sederhana, hidup dan menghidupi. Mungkin bukan sekadar dagangan. Tapi mungkin… rasa ingin hidup, dan ingin melihat orang-orang yang mereka cintai masih bisa tersenyum esok hari.  Disitu, aku melihat manusia seperti puisi hidup yang bergerak. Ada yang menjual, ada yang membeli, ada yang hanya lewat, ada yang menawar, semuanya seperti bagian dari orkestra yang tak pernah selesai dimainkan meski tanpa kondaktor, tapi setiap gerakan seperti tahu ritmenya sendiri. Sebuah perjuangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi terasa sampai ke tulang. 

Satu jam di pasar, lalu kami pulang. Jam 04.40 kami sampai Semarang. Aku ajak mereka ikut misa subuh di gerejaku di Banyumanik. Itu adalah tempat berpulang bagiku, tempat kembali ketika dunia terlalu bising. Aku duduk di kursiku seperti biasa, sedang Romo memilih sudut lain, mungkin ingin mendengar detak jantungnya sendiri.

Aglean sempat bertanya, “Bang, kok yang datang misa kebanyakan oppung-oppung?” Aku tertawa kecil, menjawab lirih, “Ya memang begitu, Nang.” Tapi dalam hati aku bergumam,  mungkin mereka tahu, waktu tak lagi panjang, dan Tuhan menjadi satu-satunya tempat pulang yang pasti, apalagi saat waktu sudah mencolek bahu, manusia hanya bisa berpegangan pada yang abadi. Tapi... ah, mengapa harus menunggu menjadi oppung² dulu baru mendekat kepada-Nya? Kenapa tidak dari sekarang, dari saat kita masih kuat berdiri?

Begitulah hidup. Dari riuh rendah pasar tradisional di Ambarawa, hingga heningnya doa para lansia di kursi gereja. Semuanya dalam satu hari, satu frame kehidupan, yang tak akan kembali lagi. Dalam satu hari itu, aku melihat dua sisi kehidupan yang saling bercermin. Pasar pagi yang penuh hiruk-pikuk untuk bertahan hidup, dan misa pagi yang sunyi dalam pencarian makna. Yang satu tentang perut yang harus diisi, yang lain tentang jiwa yang harus ditenangkan.

Aku menyanyikan cerita ini dalam batin. Tentang betapa agungnya hari-hari yang terlihat biasa. Tentang nyanyian hidup yang tak pernah masuk ke radio manapun, tapi bisa terdengar, jika kita duduk diam, dan mulai mendengar dengan dada. 


Ambarawa - Banyumanik, Awal June'25; Aku, Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati