Catatan si kuda Liar #1: Berjalan Tanpa Rem, Berdoa Tanpa Naskah

“AKU DAN KUDA LIAR” 

Tak ada yang luar biasa pagi itu, hanya jalan sepi, udara dingin, dan aku di atas motor tua. di sana, pelajaran hidup menepi tanpa suara. Kuda liarku mogok. Tapi yang paling mengejutkan, aku tak ikut rusak bersamanya. oleh Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Seperti biasa Langit belum sempurna membuka tirai cahayanya, aku berjalan menuju rumah, ya rumah yang telah kuputuskan menjadi tempatku berpulang. Jam tanganku berbisik, “04.15”. Jalanan masih lengang, hanya suara ban sepeda motor dan nyanyian angin yang menggoda dedaunan menemani langkahku. Tiba-tiba, kuda liarku meringkik tak tenang. Rantainya terlepas seperti ingin bebas dari kendali. Remnya patah, pedalnya copot seperti menyerah pada perjalanan.

Dan aku?, aku tertawa kecil…

Aku takluk pada kerusakan itu, tidak dengan keluhan, namun PENERIMAAN. Aku turunkan kaki, kuberi napas pada mesin yang megap-megap, dan perlahan, aku pasang kembali rantai itu dengan tangan telanjang. Kupasang dengan tangan yang tak tergesa, kupandangi rem yang patah, dan aku tahu perjalanan ini akan TETAP kutempuh, tanpa rem, tanpa keluhan, hanya dengan harapan dan kesadaran penuh bahwa aku tetap ingin SAMPAI.

Namun rem… remnya benar-benar telah menyerah, Jadi perjalanan ini harus kulanjutkan dengan napas yang lebih perlahan, dengan hati yang menggenggam erat rasa tenang dalam teknik lama yang dulu sering kupakai, ya ENGINE BRAKE. Aku tertawa kecil dalam diam bukan menertawakan nasib, bukan mengejek kerusakan, aku menertawakan betapa damainya aku menyambut kekacauan

Sesampainya di gereja, belum ada nyanyian, belum ada doa yang terucap di mimbar. Aku diam di bangku kayu yang biasa ku duduki. dan seperti biasa, kuajak bicara Dia yang tak pernah absen mendengarkan, pada  ruang senyap yang kutemui, tempat aku dan Dia yang tak pernah tidur, berbincang dalam cara yang tak dibukukan. 

“Tuhan, tadi kuda liarku ngambek,” kataku. Dan tak lama, aku tersenyum di dalam doa itu sendiri. Tidak ada lelucon, tapi hanya karena kedekatan. Aku tahu, untuk bercerita pada SANG PENDENGAR SEJATI, aku tak perlu menata kata, tak perlu menyusun kalimat dengan urutan logis. Cukup dengan hati yang jujur, dan bahasa yang sehari-hari. 

Masih dalam doa, masih dengan tawa kecil, aku tahu Dia mengerti candaku. Aku bercerita, tidak dengan kalimat indah seperti penyair, tidak juga sopan seperti pidato, aku dan Dia, kami berkawan lama, dan sahabat tak butuh basa-basi. 

Pagi itu, dalam rusaknya rem dan copotnya kopling, aku justru bersyukur tak kehilangan kendali atas diriku. Aku bersyukur karena tidak mengutuki jalanan, tidak memaki mesin yang tua, tidak menuduh pagi yang dingin itu terlalu sial. 

Aku melihat, bahwa betapa kecilnya kejadian seperti ini bisa membuka celah kontemplasi yang lebar. Bahwa hidup, seperti motor tua, tak selalu bisa kita KENDALIKAN. Terkadang, kita hanya bisa belajar mengendalikan diri di dalamnya. Dan kurasa, itulah bentuk tertinggi dari pengendalian, bukan pada luar, melainkan pada respons dalam.

Kemudian aku menyadari, bahwa tawa kecilku tadi pagi, yang sunyi dan penuh syukur itu, barangkali adalah bentuk paling jujur dari doa. Dan aku percaya, Tuhan pun ikut tersenyum, karena akhirnya aku mengerti. Aku bersyukur karena aku bisa tersenyum di tengah kekacauan kecil yang bisa saja membuat orang marah

Mungkin itu tandanya, kalau aku sudah sampai di satu titik, di mana aku lebih memilih DAMAI daripada MENUNTUT segalanya harus sempurna. Ini seperti lagu yang belum sempat kunyanyikan, dan pagi itu, aku tahu Tuhan pun ikut tersenyum dan tertawa kecil melihat anakNya belajar enjoy, bahkan ketika sikuda liarnya mogok di jalan hidupnya.


Pertengahan bulan May'25, di Gereja St Maria Fatima Paroki Banyumanik Semarang 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati