Misa Pagi Part I Salam Damai yang Menyentuh Jantungku
Salam Damai yang Menyentuh Jantungku |Jika Besok Kau Duduk di Sana, Maukah Sedikit Menoleh Lagi?
(oleh Poltak si pendongeng miskin)
Langit masih biru kelam, belum tampak semburat fajar, dan suara burung pun masih malas menyapa. Aku berjalan, seperti biasa, menyusuri jalanan yang basah oleh embun dan doa-doa semalam dengan kuda liarku. Aku melangkah ke gereja, karena subuh bukan waktunya tidur, melainkan waktu yang baik untuk berjumpa Dia yang Mahakasih.
Umat masih sepi, baru saya dan tiga lansia diujung sana, biasanya yang hadir sekitar dua ratus lima puluh jiwa berbaris dalam kesederhanaan dan pengharapan. membawa harapan, luka, dan permohonan masing-masing.
Aku duduk di barisan depan, tapi tidak di paling depan, aku suka posisi itu, cukup dekat untuk melihat altar, tapi juga cukup jauh untuk menyimpan diam sendiri.
Pagi itu, ada yang berbeda dari biasanya. Saat lonceng kecil mulai berdentang, tanda ibadat akan dimulai, tiba-tiba seorang perempuan datang dengan terburu-buru. Ah, bukan perempuan biasa, dia seperti bait lagu yang belum kutemukan nadanya. Rambutnya hitam, bob cut rapi seperti potongan pelangi yang dilupakan senja. Ia berkacamata, mengenakan atasan batik yang melilit tubuhnya seperti melodi pada gitar tua. Celananya hitam, santun namun tak membosankan.
Ia datang bersama sepasang lansia mungkin orang tuanya, atau mungkin hanya sepasang kisah masa lalu yang masih menggandeng tangan waktu. Mereka tampak tergesa, hampir saja tak kebagian berkat pertama. Dan perempuan itu, ya Tuhan, dia duduk tepat di depanku.
Sepanjang misa, aku diam. Tapi mataku tidak. Sebab aku hanya punya sedikit keberanian, dan sisanya aku titipkan pada pandangan yang samar. Dia khidmat, sungguh khidmat, seolah dia sedang berbicara langsung dengan langit di dalam hatinya.
Tiba saat salam damai. Aku biasanya menoleh kiri kanan dan mengangguk formal seperti petugas pos mengantar surat. Tapi kali ini berbeda. Dia, perempuan itu, berbalik, menatapku, menangkupkan kedua tangannya dan tersenyum…Senyum yang, ah, bukan senyum biasa, itu seperti puisi yang belum sempat kutulis karena takut puisinya terlalu jujur.
Aku gugup, tentu saja. Tapi aku membalasnya, dengan segenap hati yang tak pandai merangkai kata.
“SALAM DAMAI KRISTUS,” kataku, dengan suara yang tiba-tiba bergetar. Kami tersenyum, dan jantungku, entah kenapa, berdetak seperti genderang perang dalam dada. Sampai-sampai saat “Anak Domba Allah” dikumandangkan, aku ketinggalan dari umat yang lain. Ya itu memang kesalahan. Padahal itu lirik kesukaanku.
Setelah misa, dia berlutut. Aku juga. Kami berdoa. Mungkin dia mendoakan seseorang, atau mungkin dunianya, atau mungkin juga lelaki di belakang yang tak dikenalinya.
Aku memejamkan mata, dan saat kubuka kembali… Dia sudah tak ada. Hilang. Seperti embun yang malu pada mentari. Aku menoleh ke kiri, ke kanan, ke belakang, ke segala arah yang mungkin menyimpan jejak langkahnya. Tapi tak kutemukan. Dan pagi itu pun, aku pulang dengan hati yang separuh hilang.
Sambil berharap dalam hati, “SEMOGA BESOK SUBUH, AKU MELIHATNYA LAGI, dan “Jika Besok Kau Duduk di Sana, Maukah Sedikit Menoleh Lagi?”, Karena mungkin, hanya itu yang bisa kulakukan, selain duduk diam dan memeluk rindu yang baru kutemukan tiga puluh menit yang lalu. Tapi pagi itu, aku merasa seperti pujangga yang kehilangan diksi di tengah bait-bait yang menari sendiri. Dan mungkin…perempuan itu bukan hanya datang untuk misa, tapi juga untuk mengusik sunyi di hatiku yang sudah lama tak dikunjungi.
GSMF—Banyumanik
May, 2025
Komentar
Posting Komentar