Menjadi Pelan


Menjadi Pelan di Dunia yang Terburu-buru: Antara SIDALIAN atau memang jalan hidup, silahkan merenung! 

Aku, Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Gini... Katanya, siapa cepat dia dapat. Siapa lambat, minggir. Siapa pelan, kalah. Tapi aku, Poltak, memilih jadi yang pelan. Sebetulnya bisa cepat, tapi karena aku mulai curiga, Cepat itu mau ke mana?

Hari-hari ini semua orang seperti dikejar sesuatu. Dikejar target, dikejar jadwal, dikejar validasi yang entah datang dari siapa. Bahkan pagi belum sempat mengucapkan selamat, kita sudah ditagih produktivitas. “Kau sudah ngapain aja hari ini?” Belum apa-apa, aku sudah lelah menjelaskan bahwa bernapas juga aktivitas, Hahaha 

Kata para pujangga klasik, Hidup bukan tentang kecepatan, tapi kedalaman. Tapi coba bilang itu ke bosmu, ke tetangga julidmu, atau ke saudaramu yang suka membandingkan anaknya yang “sudah punya rumah di umur 25.” ,kalau nggak kenak slapakk kau.. yaa dunia ini lucu. Ia menuntut kita jadi versi tercepat dari diri sendiri, tapi tak pernah bertanya apakah kita masih bisa merasa utuh dalam balapan itu.

Kau tahu, ada filsuf namanya St. Hulman Saragih, pernah bilang kek gini, Kita kehilangan hidup karena terlalu sibuk mempercepat hidup. Kita mencatat pencapaian, tapi lupa mencatat detik-detik hening saat kopi masih hangat, saat matahari pagi masuk dari jendela, saat ada tawa kecil yang tak pernah masuk CV.

Menjadi pelan adalah bentuk perlawanan, bukan kemalasan. Bentuk pengakuan bahwa kita ini makhluk, bukan mesin. Bahwa ada kalanya tak buru-buru bukan berarti tak punya arah, melainkan justru tahu betul bahwa arah itu tak perlu dicapai dengan panik.

Aku pernah mencoba jadi cepat, bahkan cepat kali malahan. Berlari, menyikut, mencuri waktu tidur, bahkan pura-pura bahagia. Tapi cepat membuatku lupa.

Lupa caranya menikmati satu suap nasi tanpa menatap layar. Lupa caranya mendengarkan, bukan hanya menunggu giliran bicara. Lambat-lambat aku sadar, Pelan tidak membuatku ketinggalan, tapi justru membuatku hadir.

Kau tahu, di Jepang ada konsep bernama “ma” yang artinya: ruang kosong. Jeda. Diam. Sengaja tidak mengisi segalanya dengan kata atau kerja atau gerak. Karena di sanalah makna sering bersembunyi. Bukan di tumpukan pencapaian, tapi di celah-celah yang tidak dipaksakan.

Tapi sayangnya, dunia kita lebih suka orang yang sibuk. Lebih percaya pada yang tampak terburu-buru. Karena pelan itu dianggap malas. Diam dianggap bodoh. Sabar dianggap tidak punya ambisi.

Padahal kadang, justru yang paling pelanlah yang paling sadar ke mana ia melangkah. Yang tidak lari-lari karena tahu: hidup ini bukan lomba estafet. Tidak ada medali di ujungnya. Kalau pun ada, itu mungkin cuma potongan ucapan duka cita di nisan dengan huruf kapital: “IA MENINGGAL DALAM KEADAAN SIBUK.”

Jadi, kalau kau melihatku berjalan lambat, menikmati kopi dua teguk lebih lama, menolak rapat yang tak perlu, dan diam saat dunia ribut bukan berarti aku kalah.  Aku cuma sedang memilih untuk hidup. Karena apa gunanya sampai di tujuan lebih cepat, kalau ternyata kita lupa siapa diri kita saat berangkat?

ya begitulah... 


Gereja St. Maria Fatima, Banyumanik 

_Poltak, Sipendongeng miskin yang tak berwawasan 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati