Apa yang Masih Ingin Aku Hidupkan?

Apa yang Masih Ingin Aku Hidupkan?

Aku duduk di antara malam yang menggigil, nggak karena dinginnya angin, hanya karena aku tak tahu lagi bagaimana caranya merasa hangat. Ada jeda yang lama di dalam dadaku, seperti rumah yang sudah lama tak dihuni. Berisik oleh suara-suara dari luar, tapi di dalamnya kosong, terlampau sunyi.

Kau pernah merasa seperti itu? Stuck!, bukan karena tak mencoba, bukan juga karena tak berjuang. Tapi karena sesuatu terasa hilang, dan kau sendiri tak tahu apa.

Kata orang-orang,  “Semangat ya.”, “Lebih rajin dong.”, “ harus berpikir positif.” Tapi mereka nggak tahu, bahwa aku sudah kehabisan ruang di dalam diriku untuk menyimpan semua saran itu. Aku tak butuh disuruh lari, aku butuh tahu, ke mana seharusnya aku berjalan?

Malam-malamku berlalu, dan aku mulai sadar, mungkin ini bukan soal apa yang harus kulakukan… tapi tentang makna yang belum kutemukan. Tentang bagian dari diriku yang terus meneriakkan sesuatu tapi selalu kalah bising oleh tuntutan jadi baik-baik saja. 

Keknya… aku terlalu sibuk merakit wajah yang bisa diterima, terlalu pandai menyesuaikan diri, sampai lupa,  bagaimana rasanya menjadi aku, yang tanpa topeng. Aku berdiri di tengah keramaian, tapi tak satu pun benar-benar melihatku. Aku bicara panjang lebar, tapi tak ada yang mendengar. yang seharusnya karena aku sendirilah yang telah lama tak mendengar diriku sendiri.

Dulu, aku punya mimpi. Kecil, remeh, tapi punya nyawa. Namun aku membunuhnya karena orang bilang itu tidak penting, tidak berguna, tidak menghasilkan. Dan aku mengiyakan. dan perlahan, aku mulai kehilangan rasa. Tak tahu lagi apa yang kutunggu. Tak tahu lagi untuk apa aku bangun tiap pagi. Tiap hari hanya menjadi rutinitas untuk berpura-pura kuat, berpura-pura waras, berpura-pura hidup.

Sampai akhirnya, di malam yang sekarat seperti ini, aku terduduk, sendirian, dan pertanyaan itu datang seperti pisau:

Apa yang masih ingin kau hidupkan, meski kau harus berdarah-darah untuk itu?

Aku ingin hidupkan aku. bukan versi yang dibentuk orang lain, bukan citra yang manis di mata dunia. Tapi aku yang dulu pernah menulis puisi dengan tangan gemetar, yang menangis diam-diam saat hujan, yang percaya bahwa hidup tak harus selalu logis, asal bermakna. Dan jika untuk itu aku harus berdarah-darah, biarlah. Lebih baik berdarah karena menjadi jujur, daripada utuh tapi mati di dalam. Karena sejujurnya… aku sudah terlalu lama menjadi kuburan bagi diriku sendiri.


_Aku, Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati