Apa Kabar Diri Kita yang Lama?: Catatan Kontemplatif
Apa Kabar Diri Kita yang Lama?
Dari Poltak, pendongeng miskin yang tak berwawasan
Pernah nggak kau tiba-tiba terdiam, entah di tengah tumpukan kerjaan, di jalan yang padat, atau pas melamun sambil ngaduk kopi yang udah dingin, lantas terpikir,
“Eh, apa kabar ya, diriku yang dulu?”
itu bukan sekadar nostalgia. Tapi rasa rindu yang muncul dari tempat terdalam. Rindu dengan versi dirimu yang pernah punya mimpi besar, yang mudah tertawa, yang naif tapi penuh harapan, yang belum dicemari ambisi orang lain.
Dulu kita punya keinginan sederhana. Pengen bahagia. Pengen jadi orang baik. Pengen punya hidup yang bermakna. Tapi lama-lama, keinginan itu tenggelam di antara deadline, target, dan standar dunia yang bikin napas sesak.
Kita dulu berani, nggak takut salah, nggak takut dibilang aneh. Sekarang? Kita terlalu hati-hati, takut dikomentari, takut gagal di mata orang. Padahal dulu, gagal itu biasa. Kita jatuh pas naik sepeda, nangis sebentar, lanjut naik lagi. Sekarang, gagal itu kayak dosa. Seolah harus DISEMBUNYIKAN, harus ditutupi dengan senyum palsu dan pencapaian palsu.
Katanya, ini sebagai kehilangan “self-congruence”, saat hidup kita mulai menjauh dari siapa diri kita yang sebenarnya. Kita berjalan jauh dari suara hati sendiri, lalu jadi asing pada cermin. Dan yang menyedihkan, Diri kita yang lama itu nggak pernah pergi. Dia masih ada. Diam. Menunggu. Di pojok paling sunyi dalam diri. Kadang dia berbisik lewat rasa jenuh, lewat tangis yang tiba-tiba, lewat pertanyaan kecil,
“Kau masih ingat aku?”
kata sikawan, "Yang paling menakutkan bukan kematian, tapi hidup yang tak pernah kita hayati." Maka bukan dunia yang membunuh diri kita yang lama. Kita sendirilah yang membiarkannya mati perlahan, demi jadi versi yang DITERIMA BANYAK ORANG, tapi tak dikenali oleh hati sendiri.
Lalu, apa kita bisa kembali?
Mungkin bukan kembali sepenuhnya, karena waktu tidak bisa diputar. Tapi kita bisa menjemput lagi serpihan-serpihan itu. Mengingat lagi mimpi yang dulu kita pendam. Menemui lagi gairah yang dulu pernah membakar dada. Menjadi diri yang lebih jujur. Bukan sempurna, tapi utuh. Mulai aja dari hal-hal kecil. Makan makanan favorit tanpa rasa bersalah. Tulis puisi konyol yang dulu bikin kita tertawa sendiri. Tolak pekerjaan yang hanya bikin kantong penuh tapi hati kosong. Temui sahabat lama. Maafkan diri sendiri.
Karena dunia ini sudah terlalu keras, jadi jangan biarkan kita juga keras sama diri sendiri. Kolok sore nanti kau punya waktu sebentar, coba duduk sendiri. Tanyak pelan,
“Apa kabar diriku yang dulu?” Siapa tahu, dia masih di sana, menunggu kau datang. Bukan untuk kembali, tapi untuk BERDAMAI.
_Poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan
Komentar
Posting Komentar