Untukmu Yang Terlalu Jauh
(Oleh Poltak si pendongeng miskin yang tak berwawasan)
Setelah sore itu, Malam pun datang. Bulan menggantung malu-malu di pucuk langit. Angin gunung Prau menyapu pelan wajahku yang tak terawat, seakan ingin menyeka SISA harapan yang masih kucoba pertahankan.
Aku duduk di ujung kursi kayu reyot ini, tempat biasa pendaki menambatkan tracking polenya yang usang. Di sinilah aku mengenang, tatapanmu yang jatuh dari langit sore, bagai gerimis yang tak diundang tapi kurindu datangnya.
Kau pernah turun menemuiku, meski aku tahu itu bukan karena kau ingin. Hanya sekejap kau bicara, dan aku, si dungu yang tak berwawasan ini, hanya mampu menangkap sepenggal kata. Sisanya? Hanyut bersama desir ombak-mu, atau mungkin tertelan degup jantungku yang panik dan tak tahu diri.
Aku terjerumus dalam arus asmara, seperti perahu bocor yang tak tahu arah pulang. Aku tenggelam, bukannya karena tak bisa berenang, hanya aku tak ingin naik ke permukaan. Aku ingin larut di sana di senyummu yang hanya tinggal bayang.
Tiap kali aku memejamkan mata, aku melihatmu. Jauh. Terlalu jauh. Seperti bintang yang memancarkan hangat, tapi tak bisa kuraih . Seperti lagu yang indah, tapi hanya bisa kudengar dari radio tetangga.
Aku sempat berpikir, mungkinkah lautan awan yang luas ini bisa kugunakan untuk mengungkapkan cintaku?
Kukirim pesan lewat angin gunung, kubisikkan lewat camar yang terbang rendah. Tapi badai datang lebih dulu, dan badai tidak pernah membawa kabar baik. Ia hanya datang untuk mengingatkanku, MENYERAH, Poltak... MENYERAH.
Kau terlalu tinggi untuk kuraih, seperti menara gereja yang puncaknya dipeluk kabut. Kau terlalu jauh untuk kurengkuh, seperti Jakarta bagi orang kampung sepertiku, yang bahkan beli sandal baru pun harus mikir tiga kali.
Ya malam ini, aku menulis semua ini bukan untuk kau baca, tapi untuk aku simpan, sebagai kenangan, atau sebagai luka, atau entah apa namanya bagi orang yang tak tahu banyak soal cinta, seperti aku, Poltak si pendongeng miskin dan tolol, yang terlalu sering bermimpi, dan lupa caranya bangun.
Kalau kau dengar nyanyianku nanti, itu bukan lagu. Itu rintih diamku yang dibungkus gitar tua, dan nada-nada patah yang kuambil dari perihku sendiri. Selamat tinggal, yang tak pernah benar-benar datang.
Komentar
Posting Komentar