Bunga yang Gugur di Kepalaku
Aku Poltak, mencoba menuliskan puisi yang agak kikuk untuk Marsha
Bunga yang Gugur di Kepalaku
Engkaulah satu-satunya. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, karena aku hanya tahu kata, bukan maknanya.
Tapi aku menyebutmu begitu. Ya, satu-satunya. Sebab tak ada yang lain lagi dalam mataku, mataku yang tak tahu caranya memejam.
Aku menatapmu dari kejauhan yang tak diukur dengan langkah, melainkan dengan diam. Diam yang seperti hujan sore hari, tenang, tapi membuatku menggigil dan gemetar. Aku tidak berani. Karena kau terlalu tinggi, dan hatiku terlalu kecil.
Rasanya aku ingin menyibak rambutmu, seperti seseorang yang ingin membaca puisi yang belum selesai ditulis. Dan di antara helaian hitammu, kubuang kata-kata yang tak pernah sempat kupelajari. Cinta, misalnya. Aku ingin membisikkan itu, tapi suara di dalam dadaku selalu gugur sebelum sempat menyapa.
Maka kubiarkan saja ia tumbuh, menjadi bunga di dalam mimpi yang tak berbunga. Mimpi yang setiap malam datang tanpa undangan, dan setiap pagi pergi tanpa pamit.
Kau tersenyum, dan aku terdiam. Karena tak ada huruf yang cukup lembut untuk menjelaskan bagaimana senyummu membuat segalanya berhenti sebentar. Melati pun mungkin cemburu, karena harummu menyusup di antara napasku yang tersengal dan patah-patah.
Kau tertawa, dan aku percaya. Percaya bahwa Tuhan bisa menitipkan harapan pada seseorang yang bahkan tak tahu caranya berharap.
Lalu aku berjalan, dengan langkah yang basah oleh ragu. Kupetik setangkai bunga dari jalanan sepi, bunga yang mungkin dilupakan dunia, tapi tidak oleh hatiku yang MENYIMPANMU di ruang tersembunyi.
Kupersembahkan untukmu, Enggak untuk kau TERIMA, tapi karena aku tak bisa lagi menahan getar yang tinggal di ujung jari. Aku percaya takdir akan menolongku. Atau setidaknya, membiarkanku percaya. Dan dalam hujan yang tak jadi turun sore itu, aku MEMBAYANGKAN, Kau menyambutku dengan diam, dengan matamu yang menyimpan pagi.
Engkaulah satu-satunya yang merebut hatiku dengan cara yang tak kumengerti, dan sekarang, dalam puisi yang tak pernah selesai, kau satu-satunya yang menjadi kekasihku…di dalam sunyi. Karena cinta, bagi orang sepertiku, adalah belajar kehilangan bahkan sebelum sempat memiliki.
Januari, 2024
Komentar
Posting Komentar