Sebutir Cinta yang Tertinggal di Pundak Zaman

“Sebutir Cinta yang Tertinggal di Pundak Zaman”

Potret penyesalan terdalam seorang Poltak, Pendongeng miskin yang tak berwawasan

Aku tidak tahu sejak kapan cinta berubah menjadi barang mewah. Hanya yang kutahu, aku pernah memilikinya. Sebutir. Tidak lebih. Dan aku membuangnya, seperti orang membuang abu rokok ke tanah, sambil berpikir bahwa ia tak akan pernah berguna lagi.

Waktu itu aku muda, dan segala sesuatu yang kutahu tentang hidup hanyalah bayang-bayang dari suara orang lain. Cinta adalah kelemahan, begitu kata lelaki-lelaki di warung makan mak nyonge sore itu. Cinta membuatmu lapar, begitu kata ibu-ibu yang menjual tempe mendoan di pasar. Dan aku, Poltak, menyerap semua itu seperti tanah kering menyerap air pertama kali.

Tapi malam ini, setelah sekian tahun, aku duduk di pojok rumah reyot yang dindingnya sudah mulai copot satu per satu, dan bertanya kepada diriku sendiri, ke mana akan kucari lagi butir cintaku yang lama kubuang?

Apakah ia ikut hanyut bersama gelombang lautan, yang terus datang dan pergi tanpa pernah tahu tujuan?

Atau ia tersembunyi dalam hiruk-pikuk jalanan kota, di antara knalpot kendaraan dan sepatu-sepatu mahal yang tak pernah menyentuh tanah dengan tulus?

Aku menyusuri sungai, karena aku tahu, air yang mengalir membawa kisah. Aku ingin mendaki bukit dan gunung, untuk melihat jauh ke belakang, siapa yang kutinggalkan, dan siapa yang telah pergi tanpa sempat kutahan.

Dan andai bisa, padang belantara pun akan kutembus. Demi menemukan kembali cinta itu. Sebutir saja. Yang dulu ditelan oleh dusta. Yang lenyap bersama kemarau panjang yang lebih kejam dari lapar dan kegetiran.

Dulu, aku mengenalnya. Suara tawanya seperti denting gitar, mengalun pelan dan lambat-lambat menusuk dada. Ia tidak cantik seperti bintang iklan, tapi ia tahu bagaimana cara membuat rumah dari obrolan. Dia tidak cerdas dalam pelajaran sekolah, tapi dia paham bahasa sunyi, yang lebih baik dari siapa pun.

Aku tinggalkan dia, kubuang semua rasa yang ada, karena katanya harus memilih masa depan. Tapi masa depan macam apa yang bisa dibangun dari pengkhianatan pada rasa itu sendiri?. Sekarang, aku bertanya pada rembulan yang menggantung di langit seperti sepotong kebenaran, KAPANKAH akan kudengar lagi nyanyian angin dan denting gitarnya?KAPANKAH akan kutemukan sejuknya hati yang dulu kupijak, dan kini jadi padang tandus tanpa arah?

Tubuhku sudah renta. Jalanku tak lagi tegak. Tapi aku masih ingin melangkah. Semua bumi akan kujejaki, semua langit akan kudaki, dan bintang-bintang pun akan kutembus, meski aku tahu, mereka tak akan mengasihani orang sepertiku. Karena cinta itu bukan soal layak atau tidak. Ia soal keberanian. Dan aku telah kalah sejak dulu.

Di akhir cerita ini, tak ada yang menang. Tak ada pula yang bisa ditebus. Yang ada hanya satu lelaki tua, duduk di kursi reyot, berselimut malam, dan berharap suatu hari, cinta itu datang lagi, meski hanya dalam mimpi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati