Kalau kata si Riska Ovt: Ya betul OVERTHINKING!
ANTARA AKU DAN AKU
Ini bukan tentang solusi. Bukan pula tentang keberanian. Tulisanku ini hanya ingin menjadi selembar bantal bagi siapa saja yang kepalanya terlalu berat menampung keraguan, ketakutan, dan segala hal yang tak selesai. OVERTHINKING, kata orang, dan juga kata adekku, Riska tondii ni abang. Ya begitu katanya...tapi bagiku, itu adalah bentuk lain dari rindu yang belum punya nama. Rindu kepada hidup yang sederhana. Rindu kepada tidur yang damai. Rindu kepada diam yang tak perlu dipertanggungjawabkan.
Aku tidak menulis ini untuk mereka yang kuat. Aku menulis untuk mereka yang duduk sendirian pukul dua pagi, yang membuka lembaran kosong bukan untuk berkarya, tapi sekadar ingin merasa ditemani oleh seseorang yang tak akan menghakimi.
Jika kau pernah merasa bahwa isi kepalamu adalah penjara, dan kau adalah narapidana yang juga sekaligus sipirnya, maka tulisan ini untukmu. Selamat membaca. Semoga, di antara paragraf-paragraf ini, kau menemukan jeda untuk bernapas, meski hanya sebentar.
Poltak pendongeng miskin, di Biara Murti 127B [Masih di Tembalang-June 25]
Okayy... Singkat saja, mari kita mulai..
Saat-saat ketika malam terlalu lebar untuk ditiduri. Dan pikiran-pikiran itu seperti tamu tak diundang, mulai duduk di ruang tamu kesadaran, membuka sepatu ketakutan, dan mulai berceramah tentang semua yang belum terjadi, semua yang tidak akan pernah terjadi, dan semua yang seharusnya tak perlu terjadi. Aku mendengarnya seperti mendengarkan angin dari jendela retak. Lirih, dan menikam. Seperti seseorang yang memanggil namamu dengan suara orangtuamu, tapi dari arah yang mustahil. Ya si masa depan.
Percakapan-percakapan yang terus berlangsung di dalam kepala yang sepi, bahkan setelah suara terakhir padam dan lampu telah dimatikan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, Apakah aku terlalu keras pada diriku sendiri?
Apakah aku akan gagal lagi besok?
Kenapa dia tak membalas pesan itu?
Kenapa aku masih hidup?
Kek manalah nanti ini, kek manalah nanti itu?
Dan kau sadar, sebagian besar luka itu bahkan belum sempat benar-benar terjadi. Sebagian besar kesedihan itu hanya lahir dari skenario yang kau karang sendiri, dari dialog imajiner yang tak pernah diucapkan siapa-siapa, dari dinding kepala yang terlalu sempit untuk menampung kekacauan yang kau sebut rasa ingin tahu yang berlebihan. Kau ingin segalanya pasti. Tapi hidup selalu MEMPERMALUKAN LOGIKA. Ia tak memberi kabar, tak mengirim peta, dan tak pernah punya rencana darurat.
Kau tahu, “Yang paling menakutkan dari manusia bukanlah pikirannya yang jahat, tapi pikirannya yang tak bisa berhenti.” Dan benarlah sudah, Seperti aku, berjalan ke burjo priangan jam dua pagi, memesan Indomie goreng rendang dengan telur setengah matangnya, padahal tidak lapar, tapi karena pikiranku butuh cahaya yang tidak berasal dari Tuhan.
Ada kelelahan yang tak bisa dijelaskan dengan kata capek. Itu semacam keletihan eksistensial ketika kau bukan hanya ingin tidur, tapi ingin dimengerti oleh sesuatu yang tak bisa menjelaskan dirinya sendiri, yah itu dirimu. Maka kau mulai mengulang semua pilihan, menyesali semua keputusan, mengedit masa lalu seperti naskah yang tak pernah lolos sensor. Padahal kau tahu, pikiran tak pernah bisa MENGUBAH apapun, kecuali mengubahmu menjadi puing.
Malam semakin larut. Pikiran semakin deras. Tapi tak satu pun mencapai muara. Semua cuma berputar, seperti doa yang tak pernah dikirimkan karena kau terlalu sibuk mengoreksi ejaannya. Dan saat tubuhmu mulai menyerah, kau baru sadar, bahwa OVERTHINKING adalah bentuk paling sunyi dari kesombongan, berpikir seolah dunia menunggu keputusanmu, padahal dunia tak pernah tahu kau sedang berperang melawan dirimu sendiri di kamar yang sepi.
Besok pagi tak akan berubah banyak. Tapi malam ini, kalau kau bisa memaafkan kepalamu sendiri dan mengizinkan dadamu menjadi tempat tinggal sementara bagi ketakpastian, barangkali kau akan menemukan sedikit damai yang tak berasal dari jawaban, melainkan dari penerimaan. Karena, hal paling berani yang bisa dilakukan seorang manusia bukanlah berpikir lebih banyak, tetapi memejamkan mata dan berkata lirih,
“CUKUP!!!..AKU TAK HARUS MEMIKIRKANNYA MALAM INI, dan... mungkin MALAM BERIKUTNYA.
Terimakasih sudah membaca
Komentar
Posting Komentar