Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

[Podah Part II] Untuknya yang suka sok AKRAB!...

Berhenti Ingin Diterima, Mulailah Menjadi Layak Diterima (Catatan lirih dari Poltak, yang menulis dengan hati, memandang langit dan mencatatkan keresahan di atas tanah). Malam tadi, angin membisikkan sebuah pelajaran yang lembut di telingaku, tentang seseorang yang datang dengan langkah tergesa, tapi ingin diterima, seolah langit telah lebih dulu merestui kehadirannya. Kau datang seperti pagi yang tak sabar mengusir embun. Padahal di kota ini, orang-orang sedang belajar berdamai dengan sunyi. Mereka sedang menata ulang hatinya yang pernah diacak-acak oleh pendekatan yang pura-pura. Aku duduk di selasar petang itu, melihatmu mencoba terlalu keras untuk menjadi bagian dari kehidupan yang belum tentu ingin kau pahami. Kau bertanya, kau menggali, kau menilai terlalu cepat. Seolah manusia bisa dibaca seperti buku, seolah kasih bisa diukur dari frekuensi pertemuan, seolah keakraban bisa tumbuh dari sekadar basa-basi yang terlalu cepat disemai.  Padahal, ada rasa yang tidak akan tumbuh ji...

Podah! untuk mereka yang kadang sok AKRAB!!!..

“Bukan Semua Hal Harus Ditanya: Ada yang Cukup Dirasakan” (Oleh Poltak si Pendongeng Miskin) Kau perlu tahu bahwa keramahan tanpa kepekaan hanyalah gangguan sosial yang dibungkus niat baik. Dengar baik-baik. Di dunia ini, ada hal-hal yang bisa dipahami tanpa perlu bertanya. Ada situasi yang cukup dihirup dengan rasa, bukan diobrak-abrik dengan kata. Tapi tampaknya, perempuan yang satu ini tidak pernah diajarkan itu. Atau mungkin dia belajar dari buku “Bagaimana Menjadi Akrab Dalam Lima Menit dan Merusak Hubungan Sepanjang Tahun.” heheh... Baru datang, namanya pun belum stabil di kepala umat lain, eh, dia sudah sibuk tanya-tanya;   “Apa rencana kamu lima tahun ke depan?” “Kenapa kamu jarang ke gereja?” “Si A sama si B itu kenapa ya dingin?” Kapan ini itu, gimana ini itu...  Maaf. Itu apa???, kau sedang apa???, pendekatan ???.. itu bukan pendekatan. Itu penginterogasian sosial dengan metode sok spiritual. Dan yang lebih parah, pikirmu itu bentuk “pelayanan hati”. Padahal ka...

Kalau Hidup Adalah Lomba, Mungkin Kita Semua Pelari yang Salah Jalur

Ehh... tunggu bentar, jadi ini adalah tulisan ngawur yang meyakinkan, lucu yang menyakitkan, dan tanpa sengaja menjadi kontemplatif. Mari kita lihat dari sisi eksistensial,  mengapa manusia begitu fanatik mengejar “ TUJUAN ”, bahkan saat hidupnya sendiri tak pernah dia definisikan dengan jujur. Kalau Hidup Adalah Lomba, Mungkin Kita Semua Pelari yang Salah Jalur Oleh Poltak sipendongeng miskin  Jadi kek gini, aku curiga ada yang salah dengan hidup ini sejak pertama kali kita diajari berdoa sambil meletakkan harapan di luar diri kita. Kita diajari mengejar BERKAT , bukan MENGOLAH keberadaan. Diajari berlari menuju kesuksesan, bukan BERDIALOG dengan kebahagiaan. Diajari menjadi lebih baik dari yang lain, bukan LEBIH JUJUR DENGAN DIRI SENDIRI. Kau tahu. sialnya, semua itu dibungkus rapi dalam kata-kata motivasi. Dalam seminar mahal, dalam spanduk murahan, dan dalam status WhatsApp kakak-kakak gereja. Tanpa sadar, kita semua jadi pelari. Lari dari rasa cukup. Mungkin lari dari k...

Misa Pagi Part IV Doa yang Patah di Ujung Payung

“Doa yang Patah di Ujung Payung” Poltak, si pendongeng miskin yang tak berwawasan Aku tak buru-buru beranjak. Langit masih muram. Udara lembap seperti sisa pelukan yang tertinggal di jaket tua yang kugantung semalam. Dan entah kenapa, aku tahu…aku akan tetap berjalan ke gereja. Ya seperti biasa. Aku sadar, aku ini hanya Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan, yang tak pandai membaca TANDA , dan terlalu sering keliru menafsir senyum sebagai undangan. Kini aku tahu. Bahwa tak semua yang indah harus didekati. Ada keindahan yang diciptakan hanya untuk disaksikan. Dan perempuan itu…ya, dia adalah pujian yang sedang dilantunkan Tuhan melalui tawa, melalui senyum, melalui langkahnya yang ringan seperti doa dipagi hari. Mungkin aku sempat salah sangka. Mengira senyumnya adalah panggilan. Mengira tatapannya adalah jalan masuk ke sebuah cerita yang bisa kutulis bersama. Padahal, bisa jadi Tuhan sedang mengajarkanku, bahwa ada cinta yang justru lahir dari keterpisahan. Bahwa memandang seseo...

Misa Pagi Part III Pada Sebuah Payung, Tuhan Menitipkan Hujan dan Senyum Seorang Perempuan

Misa Subuh, Senyum, dan Seorang Perempuan Tanpa Nama (Bagian 3: “Pada Sebuah Payung, Tuhan Menitipkan Hujan dan Senyum Seorang Perempuan”) Poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan  Subuh kembali datang, seperti sajak yang tak pernah bosan dibacakan alam. Langit masih remang, dan jalanan masih basah. Sepertinya karena kabut semalaman seolah menyisakan luka kecil di aspal dan bau tanah yang menyerupai memori masa kecil yang sederhana, hangat, dan sendu. Aku menyusuri jalanan dengan langkah yang teratur, pelan, dan diam-diam takut. Takut harapan-harapan kecilku gugur sebelum sempat bertunas, dan takut sikuda liarku mati tiba-tiba, ya itu memang penyakit lamanya. di gereja seperti biasa, diam, teduh, dan sedikit lembab. Seperti ayat-ayat tua yang sudah terlalu sering dibaca tanpa sempat dipahami.  Aku duduk di barisan belakang pada kursi bagian depan, masih ditempat yang sama, tempat di mana aku bisa sembunyi dari dunia dan mendengarkan napasku sendiri. Langit masih menggan...

Misa Pagi Part II Rahmat yang Tidak Ditulis dalam Liturgi

Misa Subuh, Senyum, dan Seorang Perempuan Tanpa Nama Kelanjutan dari, Jika Besok Kau Duduk di Sana, Maukah Sedikit Menoleh Lagi? Subuh-subuh yang basah. Jalanan belum sepenuhnya kering dari hujan semalaman.  Aku menyusuri aspal yang licin dengan kuda liarku yang kehilangan rem. Pelan-pelan, seperti menakar makna tiap tapak langkah, sipata makna itu bukan untuk dicari, melainkan ditunggu. Gereja berdiri seperti biasa, diam dan lembab, tetapi penuh. Aku orang kedua yang datang. Orang pertama itu seorang ibu sepuh yang sedang bicara dengan Tuhan dalam bahasa yang paling sunyi. Aku duduk agak jauh, sebab takut mengganggu, takut napasku ikut menggetarkan ketenangan itu. Dua puluh menit kemudian, umat datang perlahan, seperti embun mengendap di daun-daun tua. Rosario pun kami daraskan, bersama-sama, satu suara yang berulang-ulang, seperti ombak kecil di pantai yang tak pernah libur. Lalu lonceng berbunyi. Kecil saja, tapi cukup untuk membelah waktu. Dan di saat itu, entah dari mana, ...

Misa Pagi Part I Salam Damai yang Menyentuh Jantungku

Salam Damai yang Menyentuh Jantungku |Jika Besok Kau Duduk di Sana, Maukah Sedikit Menoleh Lagi? (oleh Poltak si pendongeng miskin) Langit masih biru kelam, belum tampak semburat fajar, dan suara burung pun masih malas menyapa. Aku berjalan, seperti biasa, menyusuri jalanan yang basah oleh embun dan doa-doa semalam dengan kuda liarku. Aku melangkah ke gereja, karena subuh bukan waktunya tidur, melainkan waktu yang baik untuk berjumpa Dia yang Mahakasih. Umat masih sepi, baru saya dan tiga lansia diujung sana, biasanya yang hadir sekitar dua ratus lima puluh jiwa berbaris dalam kesederhanaan dan pengharapan. membawa harapan, luka, dan permohonan masing-masing. Aku duduk di barisan depan, tapi tidak di paling depan, aku suka posisi itu, cukup dekat untuk melihat altar, tapi juga cukup jauh untuk menyimpan diam sendiri. Pagi itu, ada yang berbeda dari biasanya. Saat lonceng kecil mulai berdentang, tanda ibadat akan dimulai, tiba-tiba seorang perempuan datang dengan terburu-buru. Ah, bukan...

Sebutir Cinta yang Tertinggal di Pundak Zaman

“Sebutir Cinta yang Tertinggal di Pundak Zaman” Potret penyesalan terdalam seorang Poltak, Pendongeng miskin yang tak berwawasan Aku tidak tahu sejak kapan cinta berubah menjadi barang mewah. Hanya yang kutahu, aku pernah memilikinya. Sebutir. Tidak lebih. Dan aku membuangnya, seperti orang membuang abu rokok ke tanah, sambil berpikir bahwa ia tak akan pernah berguna lagi. Waktu itu aku muda, dan segala sesuatu yang kutahu tentang hidup hanyalah bayang-bayang dari suara orang lain. Cinta adalah kelemahan, begitu kata lelaki-lelaki di warung makan mak nyonge sore itu. Cinta membuatmu lapar, begitu kata ibu-ibu yang menjual tempe mendoan di pasar. Dan aku, Poltak, menyerap semua itu seperti tanah kering menyerap air pertama kali. Tapi malam ini, setelah sekian tahun, aku duduk di pojok rumah reyot yang dindingnya sudah mulai copot satu per satu, dan bertanya kepada diriku sendiri, ke mana akan kucari lagi butir cintaku yang lama kubuang? Apakah ia ikut hanyut bersama gelombang lautan, ya...

Bunga yang Gugur di Kepalaku

Aku Poltak, mencoba menuliskan puisi yang agak kikuk untuk Marsha  Bunga yang Gugur di Kepalaku Engkaulah satu-satunya. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, karena aku hanya tahu kata, bukan maknanya. Tapi aku menyebutmu begitu. Ya, satu-satunya. Sebab tak ada yang lain lagi dalam mataku, mataku yang tak tahu caranya memejam. Aku menatapmu dari kejauhan yang tak diukur dengan langkah, melainkan dengan diam. Diam yang seperti hujan sore hari,  tenang, tapi membuatku menggigil dan gemetar. Aku tidak berani. Karena kau terlalu tinggi, dan hatiku terlalu kecil. Rasanya aku ingin menyibak rambutmu, seperti seseorang yang ingin membaca puisi yang belum selesai ditulis. Dan di antara helaian hitammu, kubuang kata-kata yang tak pernah sempat kupelajari. Cinta, misalnya. Aku ingin membisikkan itu, tapi suara di dalam dadaku selalu gugur sebelum sempat menyapa. Maka kubiarkan saja ia tumbuh, menjadi bunga di dalam mimpi yang tak berbunga. Mimpi yang setiap malam datang tanpa undanga...

Untukmu Yang Terlalu Jauh

(Oleh Poltak si pendongeng miskin yang tak berwawasan) Setelah sore itu, Malam pun datang. Bulan menggantung malu-malu di pucuk langit. Angin gunung Prau menyapu pelan wajahku yang tak terawat, seakan ingin menyeka SISA harapan yang masih kucoba pertahankan. Aku duduk di ujung kursi kayu reyot ini, tempat biasa pendaki menambatkan tracking polenya yang usang. Di sinilah aku mengenang, tatapanmu yang jatuh dari langit sore, bagai gerimis yang tak diundang tapi kurindu datangnya. Kau pernah turun menemuiku, meski aku tahu itu bukan karena kau ingin. Hanya sekejap kau bicara, dan aku, si dungu yang tak berwawasan ini, hanya mampu menangkap sepenggal kata. Sisanya? Hanyut bersama desir ombak-mu, atau mungkin tertelan degup jantungku yang panik dan tak tahu diri. Aku terjerumus dalam arus asmara, seperti perahu bocor yang tak tahu arah pulang. Aku tenggelam, bukannya karena tak bisa berenang, hanya aku tak ingin naik ke permukaan. Aku ingin larut di sana di senyummu yang hanya tinggal baya...

Dialog Domba dan Gembala, “Siapa Sebenarnya yang Tersesat?”, Entahlah...

Dialog Domba dan Gembala, “Siapa Sebenarnya yang Tersesat?”, Entahlah...  Jadi begini, aku menyaksikan sendiri ada seseorang yang lagi ngomel dengan domba yang kata beberapa orang, dia adalah gembalanya.    Kulihat domba duduk di bawah pohon rindang, sendiri. Gembala datang tergesa, wajahnya panik seperti kehilangan muka. Gembala: Hoyyy! Kau ke mana aja? kau tersesat!... Kawanan sudah berjalan jauh, dan aku mencarimu sejak kemarin! Capek aku lihat kau!!  Domba ( menjawab tenang): Oh iya?, Btw tersesat menurut siapa? Menurutmu, atau menurut arah yang kau sendiri tak pernah evaluasi?, Ehh sekk.. Kita tidak sedekat itu, tapi kenapa kok berani bilang aku tersesat?, Cok cek lu peta-mu sekali lagi Heheh  Gembala: Kau domba. Tugasmulah mengikuti. Jangan bertanya macam-macam. Kalau kau memisahkan diri, kau dimangsa serigala nanti Domba: Justru karena itu aku berhenti. Aku mulai curiga, jangan-jangan serigala yang sebenarnya... sedang menyamar jadi gembala?, [sambil menu...

Menjaga Hati di Dunia yang Tergesa

Suara dari Kesunyian, oleh Poltak, si pendongeng miskin yang tak berwawasan   Belakangan rasanya dunia ini seperti dapur tua yang ditinggal pemiliknya. Masih ada bekas sendok, panci, dan wajan. Tapi tak lagi ada yang memasak. Kita hidup, ya, tentu saja. Tapi rasanya seperti hanya sekadar menjalani. Seperti makan tanpa rasa, tidur tanpa mimpi, berjumpa tanpa benar-benar hadir. Ceritaku tidak tentang perang atau berita besar. Aku bicara tentang hal-hal kecil yang pelan-pelan hilang dari sekitar kita. Tentang orang yang tak lagi menyapa karena sibuk dengan gawai. Tentang tetangga yang tak tahu tetangganya sedang menangis. Tentang sahabat yang pergi diam-diam karena tak kuat lagi berpura-pura kuat. Dulu, waktu masih kecil aku sering duduk di pangkuan mamak, oppungnya si Windy. ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena dikasih uang yaa, tak dijanjikan apa-apa juga, tapi aku merasa aman. Mungkin itulah rasa yang sekarang jarang kutemui, RASA DILIHAT, DIDENGARKAN, DITUNGGUI. ...

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

“ Pergilah, Jangan Pernah Lihat ke Belakang”  Sudah lebih dari lima tahun aku dan Anggii bersama. Perjalanan panjang, yang awalnya sederhana: Dari tawa kecil, canda gurau, king dan queen di namaposo, hingga akhirnya membangun mimpi bersama.  Kami bukan hanya sepasang kekasih, tapi juga sahabat, penopang, tempat pulang satu sama lain. Kami berjalan beriringan, meski arah dunia mulai membelokkan segalanya. Tahun 2020, saat Anggii lulus kuliah, hidupnya mulai menanjak. Ia diterima bekerja sebagai asisten manajer di Manulife Semarang. Sore-sore, tepat pukul empat, aku pasti sudah menunggunya di bawah, dekat pos satpam. Motor tuaku, si "Kuda Liar", selalu siap mengantar pulang perempuan paling tangguh yang pernah aku kenal. Di balik helm dan jaket lusuhku, aku membawa sejuta senyum dan satu pertanyaan yang selalu sama,  “Gimana kerjaan hari ini?” Itu bukan sekadar basa-basi, itu cara sederhanaku membantu mengangkat beban pikirannya, karena aku tahu hari-harinya tak mudah. Tiga...

Apa yang Masih Ingin Aku Hidupkan?

“ Apa yang Masih Ingin Aku Hidupkan? ” Aku duduk di antara malam yang menggigil, nggak karena dinginnya angin, hanya karena aku tak tahu lagi bagaimana caranya merasa hangat. Ada jeda yang lama di dalam dadaku, seperti rumah yang sudah lama tak dihuni. Berisik oleh suara-suara dari luar, tapi di dalamnya kosong, terlampau sunyi. Kau pernah merasa seperti itu? Stuck!, bukan karena tak mencoba, bukan juga karena tak berjuang. Tapi karena sesuatu terasa hilang, dan kau sendiri tak tahu apa. Kata orang-orang,  “Semangat ya.”, “Lebih rajin dong.”, “ harus berpikir positif.” Tapi mereka nggak tahu, bahwa aku sudah kehabisan ruang di dalam diriku untuk menyimpan semua saran itu. Aku tak butuh disuruh lari, aku butuh tahu, ke mana seharusnya aku berjalan? Malam-malamku berlalu, dan aku mulai sadar, mungkin ini bukan soal apa yang harus kulakukan… tapi tentang makna yang belum kutemukan. Tentang bagian dari diriku yang terus meneriakkan sesuatu tapi selalu kalah bising oleh tuntutan jadi ba...

Apa Kabar Diri Kita yang Lama?: Catatan Kontemplatif

Apa Kabar Diri Kita yang Lama? Dari Poltak, pendongeng miskin yang tak berwawasan Pernah nggak kau tiba-tiba terdiam, entah di tengah tumpukan kerjaan, di jalan yang padat, atau pas melamun sambil ngaduk kopi yang udah dingin, lantas terpikir, “Eh, apa kabar ya, diriku yang dulu?” itu bukan sekadar nostalgia. Tapi rasa rindu yang muncul dari tempat terdalam. Rindu dengan versi dirimu yang pernah punya mimpi besar, yang mudah tertawa, yang naif tapi penuh harapan, yang belum dicemari ambisi orang lain. Dulu kita punya keinginan sederhana. Pengen bahagia. Pengen jadi orang baik. Pengen punya hidup yang bermakna. Tapi lama-lama, keinginan itu tenggelam di antara deadline, target, dan standar dunia yang bikin napas sesak. Kita dulu berani, nggak takut salah, nggak takut dibilang aneh. Sekarang? Kita terlalu hati-hati, takut dikomentari, takut gagal di mata orang. Padahal dulu, gagal itu biasa. Kita jatuh pas naik sepeda, nangis sebentar, lanjut naik lagi. Sekarang, gagal itu kayak dosa. Se...

Sukses Versi Siapa Sebenarnya?

Sukses Versi Siapa Sebenarnya? Marangan-anganlah aku sambil ngopi, lihat orang-orang di media sosial yang kelihatan hebat: Beli rumah di umur 25, punya bisnis sendiri, keliling dunia, sampai bisa kasih hadiah mobil ke orang tua. Lanjut ku lihat diri sendiri. masih mikir besok makan apa, motor sikuda liar yang rusak-rusak, dan isi tabungan yang cuma cukup untuk belik gorengan. Trus muncul pertanyaan yang pelan-pelan jadi luka,  “Apakah aku gagal?” Tapi sebelum jawab, aku nanya lagi:  “Sukses versi siapanya yang lagi aku kejar?” Ini dia. Kita sering lupa. Kita hidup terlalu lama dengan definisi sukses yang bukan dari kita. dari sekolah, kita udah dijejali: nilai bagus = pintar, kuliah tinggi = sukses, gaji besar = hidup mapan.  Padahal ada banyak jenis kecerdasan dan keberhasilan, tapi kita cuma diajari satu jalur: Yang lurus, cepat, dan harus kelihatan. Bapa Hulman pernah bilang, “ Salah satu krisis terbesar manusia modern adalah krisis makna.”  Bukan karena dia nggak...

Mengapa Kita Lebih Takut Gagal di Mata Orang Lain, daripada Gagal di Mata Sendiri?

  Kenapa ya, kita lebih takut gagal di mata orang lain, daripada gagal di mata sendiri? Menurut pandanganku|sipoltak, pendongeng miskin yang tak berwawasan . Takut Gagal? Tapi, takut sama siapa sebenarnya? 🤔 Lucu ya kita ini, kalau dipikir-pikir, lebih takut orang lain kecewa sama kita, daripada takut kecewa sama diri sendiri. Kita lebih ngilu waktu dilirik sinis sama tetangga, daripada waktu ngaca dan sadar kita makin jauh dari apa yang dulu kita impikan. Kenapa bisa kek gitu? Karena sejak kecil, kita diajarin untuk tampil baik duluan, baru berpikir soal isi. Nilai bagus, biar disayang guru. Sopan di depan orang tua, meski hati lagi meledak. Pakai baju rapi, meski dalamnya berantakan. Kita tumbuh jadi manusia yang terbiasa “ DIPERTONTONKAN .” Bukan manusia yang terbiasa berdialog dengan batinnya sendiri. Jadi wajar aja, waktu kita gagal, reaksi pertama bukan, “Aku kenapa ya?” tapi, “Astaga, gimana kalau orang tahu?” Padahal orang-orang itu, kadang cuma nonton. Nggak semua benar-b...

Menjadi Pelan

Menjadi Pelan di Dunia yang Terburu-buru: Antara SIDALIAN atau memang jalan hidup, silahkan merenung!  Aku, Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan   Gini... Katanya, siapa cepat dia dapat. Siapa lambat, minggir. Siapa pelan, kalah. Tapi aku, Poltak, memilih jadi yang pelan. Sebetulnya bisa cepat, tapi karena aku mulai curiga,  Cepat itu mau ke mana? Hari-hari ini semua orang seperti dikejar sesuatu. Dikejar target, dikejar jadwal, dikejar validasi yang entah datang dari siapa. Bahkan pagi belum sempat mengucapkan selamat, kita sudah ditagih produktivitas. “Kau sudah ngapain aja hari ini?” Belum apa-apa, aku sudah lelah menjelaskan bahwa bernapas juga aktivitas, Hahaha  Kata para pujangga klasik, Hidup bukan tentang kecepatan, tapi kedalaman. Tapi coba bilang itu ke bosmu, ke tetangga julidmu, atau ke saudaramu yang suka membandingkan anaknya yang “sudah punya rumah di umur 25.” ,kalau nggak kenak slapakk kau.. yaa dunia ini lucu. Ia menuntut kita jadi versi t...

Diam: Perlawanan yang tidak Memekik

Sebuah pengakuan bahwa tidak semua hal harus dibalas dengan suara. Bahwa memilih diam, di dunia yang selalu menuntut, bisa menjadi bentuk paling jujur dari keteguhan batin. Aku, Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan   Diam: Perlawanan yang Tidak Memekik Ada hari-hari di mana aku tidak ingin menjawab. Malas aja, udah terlalu banyak kata yang kehilangan maknanya. Aku bukan marah, tidak patah, tidak sedang bersembunyi. AKU HANYA DIAM.  Karena itulah satu-satunya cara untuk tetap utuh. bagiku  Dunia ini gaduh, terus menuntut kita untuk bicara, menjelaskan, membela diri, mengupdate kehidupan seperti laporan kinerja. Tapi bukankah tidak semua yang tumbuh harus bersuara? Pohon tidak teriak saat berakar. Laut tidak ribut saat pasang surut. Dan manusia pun berhak diam tanpa harus dicurigai lemah. Aku diam bukan karena tidak punya pendapat. Aku punya, banyak pendapatku, tapi tak semua pendapat harus dibagikan. Karena tidak semua ruang bisa menerima kata dengan bijak. Karen...

Seni Menikmati Pengangguran

Dariku, seseorang yang tahu rasanya kehilangan arah, memilih untuk duduk dan menatap bintang... karena, ya, masih ada bintang, Hahaha.. Aku Tidak Produktif dan Dunia Tidak Kiamat Aku Poltak, pendongeng miskin yang sering dianggap pengangguran hanya karena sedang berpikir Okayy ku bangun siang lagi. Karena begadang membangun mimpi? oh tentu saja tidak, hanya karena semalam aku terjebak memikirkan kenapa hidup terasa seperti skripsi yang tak pernah selesai. Kubuka mata pelan-pelan, melihat jaring laba-laba menggantung masih di titik yang sama. Aku sempat heran, bagaimana dunia bisa tetap berjalan, padahal aku sama sekali tidak berkontribusi pagi ini? Kupikir tadi malam, setidaknya bumi akan oleng sedikit hahah  Mungkin ada notifikasi: “Maaf, sistem gagal. Poltak tidak mengisi to-do list hari ini, Hahaha.” Tapi tidak. Burung masih berkicau. Warung ibu sukarti masih buka, ibu Murti masih rajin bersih-bersih biara, anaknya juga masih memanaskan motor satriafu-nya, dan listrik tetap nya...

Hal kecil yang Menyelamatkan

“ Hal-hal Kecil yang Menyelamatkan ” Aku Poltak, pendongeng miskin yang duduk di sudut dunia, mendengarkan hidup dari sela-sela Aku tak pernah jadi siapa-siapa. Tak punya panggung, tak punya gelar yang bisa membuat orang menoleh dua kali. Namaku tidak dikenal dalam forum, tak disebut-sebut dalam berita. Tapi entah mengapa aku masih di sini. Masih ada. Masih bernapas. Masih merasa. Dan malam ini aku bertanya pada langit, apa yang membuatku bertahan sejauh ini? Lalu hidup menjawab… dengan pelan, bukan lewat petir atau cahaya besar, tapi lewat senyum tulus dari seorang wanita tua, lewat bisikan angin yang membawa wangi kopi dari warung sebelah, lewat tawa kecil anak tetangga yang menabrak pintu pagar. Hal-hal kecil. Yang tak pernah kupinta, tapi selalu datang, seperti tahu kapan aku nyaris patah. Barangkali, memang begitulah cara dunia merawat kita: tidak dengan pelukan megah, tapi dengan sentuhan yang nyaris tak terasa. Tentang seseorang yang membagi payungnya. Pemilik warung yang berkat...

Ketika Aku Bukan Siapa-siapa

Okay, mari kita duduk sebentar di bawah langit yang luas ini, dan membiarkan cerita ini keluar dari celah-celah sunyi yang sering kita abaikan. “Ketika Aku Bukan Siapa-siapa ”, adalah tentang berdamai dengan menjadi biasa, menjadi kecil, dan tetap bermakna meski tak disorot. Oleh Poltak, pendongeng miskin yang tak berwawasan   Ada satu malam yang tak akan kulupa. Aku duduk di warung wedang jahe dekat kampus. Di meja seberang, anak muda berdasi bicara lantang soal proyek, target, angka. Tangannya sibuk membuka layar laptop, seolah dunia sedang menunggu perintahnya. Aku hanya mengaduk air jahe tawar dengan sendok stainless. Tak ada yang memperhatikan. Lalu tiba-tiba, kalimat itu muncul dalam pikiranku, seperti embun di kaca: “ Poltak, udah kek mana kau?” Pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ringan. Karena saat hidup makin bising dengan kata capaian, influence, branding diri, eksistensi _ aku malah menyadari satu hal: aku bukan siapa-siapa. Tak punya jabatan. Tak viral. Tak ditunggu-...

Emotional Alchemy: Mengolah Rasa, Menempa Jiwa

  Emotional Alchemy: Mengolah Rasa, Menempa Jiwa Oleh: Poltak Sipendongeng Miskin Di kampung kami, orang selalu bilang: “Rasa itu tidak untuk ditelan mentah-mentah, tapi harus dimasak sampai matang.” Saya makin percaya, bahwa perasaan bukan cuma untuk dirasakan, tapi untuk diolah. Dan dari proses mengolah itulah, kita bisa berubah. Seperti besi dibakar sampai jadi pisau. Atau seperti emas yang harus melewati api sebelum bersinar. Saya menyebut proses ini sebagai, Emotional Alchemy, sebuah cara untuk mengubah emosi menjadi energi hidup yang lebih dalam, lebih kuat, dan lebih manusiawi. Emosi Bukan Musuh, Tapi Penunjuk Arah Zaman sekarang, banyak orang pintar urusan kerja, pintar bicara, tapi bingung sendiri pas emosinya berantakan. Padahal, kata si Dr. Susan David_psikolog Harvard dan penulis Emotional Agility, menghindari emosi negatif justru membuat kita jadi " kaku secara emosional ". Kita seperti berdiri di atas tanah retak, terlihat kuat di luar tapi goyang di dalam. Kolo...

dari Birokris ke Ladang: Cerita tentang Anju

“Bayam, Birokris, dan Cinta Anju yang Gugur.” Aku lupa kapan pertama kali berteman dengan Anju Daniel Simanungkalit. Sungguh, aku mencoba mengingat-ingat, tapi memori itu seperti kabut tipis yang tak mau membuka diri. Yang pasti, sejak kami akrab, namanya sudah menjadi bagian dari kenangan yang tak pernah kutinggalkan. itu bukan karena sesuatu yang megah, tapi karena terlalu banyak hal sederhana yang membuatku bahagia sampai sekarang. Anju anak sulung dari tiga bersaudara. di bawahnya ada Roy dan si bungsu perempuan, yang akrab kami panggil Siboru. Rumah mereka seperti rumah kedua bagiku saat SMA dulu. Aku begitu dekat dengan orangtuanya, nantulang dan tulang, sosok ayah dan ibu yang hatinya lapang, meski hidup mereka bukan hidup yang mudah. Kami tergabung dalam organisasi sekolah bernama BIROKRIS , semacam bimbingan rohani Kristen yang cukup bergengsi di sekolah kami. Anggotanya banyak, dan kami semua bangga sekali kalau sudah memakai jas almamater organisasi itu. Rasanya seperti seda...