Diam: Perlawanan yang tidak Memekik

Sebuah pengakuan bahwa tidak semua hal harus dibalas dengan suara. Bahwa memilih diam, di dunia yang selalu menuntut, bisa menjadi bentuk paling jujur dari keteguhan batin.

Aku, Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Diam: Perlawanan yang Tidak Memekik

Ada hari-hari di mana aku tidak ingin menjawab. Malas aja, udah terlalu banyak kata yang kehilangan maknanya. Aku bukan marah, tidak patah, tidak sedang bersembunyi. AKU HANYA DIAM. Karena itulah satu-satunya cara untuk tetap utuh. bagiku 

Dunia ini gaduh, terus menuntut kita untuk bicara, menjelaskan, membela diri, mengupdate kehidupan seperti laporan kinerja. Tapi bukankah tidak semua yang tumbuh harus bersuara? Pohon tidak teriak saat berakar. Laut tidak ribut saat pasang surut. Dan manusia pun berhak diam tanpa harus dicurigai lemah.

Aku diam bukan karena tidak punya pendapat. Aku punya, banyak pendapatku, tapi tak semua pendapat harus dibagikan. Karena tidak semua ruang bisa menerima kata dengan bijak. Karena di tempat-tempat tertentu, kejujuran yang diucap bisa berubah menjadi peluru yang dibalikkan ke arah kita.

Jadi aku memilih diam. Untuk menjaga yang rapuh. Untuk memberi jeda bagi yang terlalu lama berlari. Karena diam bisa jadi ruang suci, tempat jiwa membereskan dirinya sendiri, tanpa interupsi, tanpa penilaian.

Orang sering lupa, bahwa tidak semua perlawanan harus berisik. Ada yang melawan dengan teriakan, ada yang melawan dengan puisi, dan ada pula yang melawan dengan tidak ikut menari dalam pesta yang tak ia yakini.

Diam bukan menyerah. Diam bukan kalah. Diam adalah menolak terburu-buru menyimpulkan hidup. Diam adalah keberanian untuk menunggu waktu yang tepat, menunggu kata yang matang, menunggu hati yang siap.

Aku tahu, ini zaman yang tak sabar. Zaman yang memuja kecepatan dan meremehkan renungan. Tapi aku bukan mesin, bukan aplikasi. Aku manusia, yang kadang perlu berhenti, untuk tahu ke mana harus berjalan lagi.

Maka, hari ini, kalau aku tidak menjawab, kalau aku tidak menjelaskan, bukan berarti aku bebal, angkuh dan sombong. Justru karena aku sadar: Beberapa hal lebih pantas disimpan dalam sunyi, agar tak hilang martabatnya di tengah kegaduhan yang hanya mencari sorak sorai, yang hanya sekadar ingin tahu, dan apalagi digunakan untuk mengukur orang lain, jangan gitu ya.. 

Biarlah aku diam. Bukan karena tak tahu, tapi karena sedang memilih untuk bijak. Bukan karena tak punya luka, tapi karena sedang belajar mengobatinya tanpa membuat panggung. Bukan karena mati rasa, tapi karena tahu, Rasa pun perlu waktu untuk ditata kembali. Dan kalau dunia berkata, “Bersuara atau kau akan dilupakan,” aku akan tersenyum dan menjawab dalam hati: “Kalau memang harus dilupakan karena memilih tenang, maka biarlah begitu. Tapi setidaknya aku tak melupakan diriku sendiri.”


_Poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati