Emotional Alchemy: Mengolah Rasa, Menempa Jiwa
Emotional Alchemy: Mengolah Rasa, Menempa Jiwa
Oleh: Poltak Sipendongeng Miskin
Di kampung kami, orang selalu bilang: “Rasa itu tidak untuk ditelan mentah-mentah, tapi harus dimasak sampai matang.” Saya makin percaya, bahwa perasaan bukan cuma untuk dirasakan, tapi untuk diolah. Dan dari proses mengolah itulah, kita bisa berubah. Seperti besi dibakar sampai jadi pisau. Atau seperti emas yang harus melewati api sebelum bersinar. Saya menyebut proses ini sebagai, Emotional Alchemy, sebuah cara untuk mengubah emosi menjadi energi hidup yang lebih dalam, lebih kuat, dan lebih manusiawi.
Emosi Bukan Musuh, Tapi Penunjuk Arah
Zaman sekarang, banyak orang pintar urusan kerja, pintar bicara, tapi bingung sendiri pas emosinya berantakan. Padahal, kata si Dr. Susan David_psikolog Harvard dan penulis Emotional Agility, menghindari emosi negatif justru membuat kita jadi "kaku secara emosional". Kita seperti berdiri di atas tanah retak, terlihat kuat di luar tapi goyang di dalam.
Kolok si David bilang, "Discomfort is the price of admission to a meaningful life." Artinya, rasa tak nyaman itu harga yang harus dibayar kalau kita mau hidup yang bermakna. Jadi, marah, sedih, kecewa, takut itu bukan gangguan. Itu tanda bahwa ada sesuatu yang penting sedang terjadi dalam diri kita.
Nah kalau di filosofi Batak, ada ungkapan kek gini: “sai adong do lapatanna, nang pe soniattusan sonari”, yang datang belum tentu kita mengerti sekarang, tapi pasti ada maksudnya. Emosi juga kek gitu. Dia datang, bukan untuk bikin kita hancur. Tapi untuk menyentil, mengingatkan: “Hoi, ada yang perlu kau perhatikan di dalam sana!”
Kek ginilah kata Psikolog dan orang orang ahli: Tara Bennett-Goleman, dari bukunya Emotional Alchemy, menjelaskan tentang schema traps, perangkap pola pikir dan emosi dari masa lalu. Misalnya, kita dulu sering dituntut sempurna, jadi sekarang sedikit salah aja langsung ngerasa gak berguna. Ini seperti luka lama yang belum dikeringkan. Dan luka itu, kalau nggak diurus, bisa jadi bau busuk yang kita sebar ke mana-mana , ke hubungan, ke pekerjaan, ke keluarga, atau ke anak-anak kita.
Sama juga kek yang dibilang si Carl Jung, psikolog besar dari Swiss. Dia percaya kolok kita semua punya sisi gelap, yang disebut shadow self, bagian diri yang kita sembunyikan karena malu, takut, atau merasa tidak layak. Tapi Jung juga bilang: “One does not become enlightened by imagining figures of light, but by making the darkness conscious.” Bahasa Indonesia gini, kita tidak akan tercerahkan hanya dengan berpikir positif, tapi dengan berani MENENGOK ke dalam diri dan MENGAKUI sisi-sisi yang kita tolak selama ini.
Dalam ajaran Buddha, emosi bukan untuk diusir. Mereka diajak duduk, diamati, dan dipahami. Amang Thich Nhat Hanh, biksu Zen dari Vietnam, pernah bilang: “Emotions are like clouds they come and go. Conscious breathing is your anchor.” Jadi kalau kita bisa hadir penuh bersama rasa, tarik napas pelan, kita akan tahu, tak ada rasa yang abadi. Semuanya datang dan pergi. Tinggal kita mau belajar darinya atau tidak.
Saya sendiri pernah alami masa-masa gelap. Ada marah yang saya telan lama-lama, sampai jadi sesak. Ada kecewa yang saya tutupi dengan senyum, sampai saya sendiri lupa rasanya bahagia. Tapi setelah saya berani duduk dengan rasa itu, saya mulai kenal siapa saya sebenarnya. Saya mulai ngerti kenapa saya bereaksi begitu. Dan perlahan, rasa itu jadi lebih ringan. Bukan karena hilang, tapi karena saya terima dan urus dengan baik. Emotional Alchemy Itu bisa dilatih, Ini bukan teori tinggi. Bisa kok kita latih tiap hari. Misalnya kek gini:
Pas marah, tanyak: “Apa batas saya yang sudah dilanggar?”
Waktu sedih, tanyak: “Apa yang sedang saya rindukan?”
Pas lagi takut, tanyak: “Apa yang saya belum siap lepaskan?”
Langkah-langkah sederhana ini juga didukung oleh pendekatan mindfulness-based cognitive therapy (MBCT) yang dikembangkan Amantta Zindel Segal, Mark Williams, dan John Teasdale. Mereka gabungkan teknik meditasi dan terapi kognitif untuk bantu orang mengamati pikiran dan perasaan tanpa langsung bereaksi. ya Ini sejalan dengan filosofi elkimia rasa, jadi rasa itu tidak usah dilawan, tapi dipahami.
Dari emosi, kita bisa tumbuh |Terakhir, saya percaya, tak ada luka yang sia-sia. Tak ada rasa yang datang tanpa pesan. Tugas kita adalah belajar membacanya, meramunya, kemudian menggunakannya sebagai bahan bakar untuk bertumbuh. Karena seperti kata kawan kita si Brené Brown, pakar riset tentang kerentanan:
"Owning our story can be hard, but not nearly as difficult as spending our lives running from it."
(Mengakui cerita hidup kita memang berat, tapi jauh lebih berat kalau kita terus lari darinya.)
Jadi kolok sekarang kau lagi marah, kecewa, atau merasa remuk, jangan langsung menutup hati. Duduklah sebentar. Dengarkan suara rasa itu. Mungkin, itulah pintu pertama menuju versi terbaik dari dirimu sendiri.
sekian
_Poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan
Komentar
Posting Komentar