dari Birokris ke Ladang: Cerita tentang Anju
“Bayam, Birokris, dan Cinta Anju yang Gugur.”
Aku lupa kapan pertama kali berteman dengan Anju Daniel Simanungkalit. Sungguh, aku mencoba mengingat-ingat, tapi memori itu seperti kabut tipis yang tak mau membuka diri. Yang pasti, sejak kami akrab, namanya sudah menjadi bagian dari kenangan yang tak pernah kutinggalkan. itu bukan karena sesuatu yang megah, tapi karena terlalu banyak hal sederhana yang membuatku bahagia sampai sekarang.
Anju anak sulung dari tiga bersaudara. di bawahnya ada Roy dan si bungsu perempuan, yang akrab kami panggil Siboru. Rumah mereka seperti rumah kedua bagiku saat SMA dulu. Aku begitu dekat dengan orangtuanya, nantulang dan tulang, sosok ayah dan ibu yang hatinya lapang, meski hidup mereka bukan hidup yang mudah.
Kami tergabung dalam organisasi sekolah bernama BIROKRIS, semacam bimbingan rohani Kristen yang cukup bergengsi di sekolah kami. Anggotanya banyak, dan kami semua bangga sekali kalau sudah memakai jas almamater organisasi itu. Rasanya seperti sedang memikul kehormatan, padahal kadang hanya duduk rapat tanpa arah.
Setiap Kamis siang selepas kelas, sekitar pukul setengah tiga, kami langsung berkumpul di ruang Birokris untuk rapat. Rapat itu tidak pernah ringkas. Selalu ada yang berdebat soal hal kecil. Kadang tidak substansial, berputar-putar seperti air di gayung bocor. Sering kali kami baru selesai menjelang magrib. Dan tentu saja, bagi kami yang berasal dari keluarga yang masih mengandalkan tenaga anak-anaknya untuk pekerjaan rumah atau ladang, itu jadi persoalan.
Anju salah satunya. Ia pernah diminta oleh mamaknya untuk pulang cepat dan langsung ke ladang mencabut bayam. Tapi karena rapat terlalu lama, ia pulang telat. Di rumah, ia tak disambut pelukan. Yang menantinya adalah amarah. Mamaknya marah besar, bahkan jas almamaternya yang dianggapnya suci itu diinjak-injak oleh situlang,
“Birokris Te, Te Birokris birokris mi”.
pengingat seperti simbol kebanggaan sekolah tak sebanding dengan kewajiban di rumah.
Anju tidak banyak bicara tentang hal itu. Tapi aku tahu ia kecewa. Sedih. Mungkin juga bingung. Jadi di hari-hari berikutnya, agar ia tetap bisa mengikuti kegiatan sekolah dan tidak mengecewakan orangtuanya, aku memilih untuk ikut membantunya di ladang. Kami mencabut bayam bersama, menyiram sayuran, dan bercanda di antara rumpun kangkung. Hari-hari kami terasa sunyi tapi dalam. Sederhana tapi penuh makna.
Aku sering ke rumahnya naik motor Revo-ku yang tua si pribumi balap. Shockbreakernya sudah longgar, jadi bunyinya nyaring sekali. Dari jauh, kalau suara per itu sudah terdengar, Anju langsung tahu aku datang. Suara itu jadi penanda, jadi semacam salam yang tak perlu diucapkan. Mungkin kalau suatu hari aku tak datang lagi, rumah itu akan terasa lebih sepi.
Selain ladang, sekolah juga punya cerita tersendiri. Anju, yang selalu kelihatan cuek, ternyata menyimpan rasa pada seorang gadis di sekolah kami, namanya Alice. Seorang perempuan manis dari keluarga berada. Entah bagaimana, mereka akhirnya berpacaran. Dan sebagai sahabat, aku menjadi saksi perjalanan cinta mereka.
Waktu itu belum banyak orang pakai smartphone. Komunikasi masih pakai SMS atau BBM. Anju tidak punya ponsel yang layak. Tapi Alice, dengan hati yang tulus, membelikan Anju sebuah ponsel Samsung agar mereka bisa tetap terhubung. Cinta mereka hangat, seperti hujan sore di ladang yang sepi. Mereka sering duduk berdua di sudut sekolah, atau di ruang Birokris yang lengang. Setiap kali Alice ingin pulang, Anju meminjam motorku untuk mengantarnya. Aku menunggu di warung ante dekat simpang tiga Sebanga, sambil menikmati kerupuk mie dan segelas es frenta.
Sampai suatu hari, setelah selesai mengantar Alice, Anju datang sambil tertawa. "Motormu itu suara Pernya lebih keras dari suara mesinnya," katanya. Ia menertawakanku, tapi kami tertawa bersama. Aku tahu ia bahagia. Dan itu cukup bagiku.
Tapi tidak semua cinta mendapat restu. Ibu Alice tidak menyukai Anju. mungkin karena latar belakang keluarganya. mungkin karena masa depan yang belum jelas. Alice adalah anak semata wayang, harapan besar keluarganya. Ibunya ingin ia fokus belajar, bukan jatuh cinta pada pemuda SEDERHANA seperti Anju. Tapi Alice dan Anju mencoba bertahan. Mereka tetap bersama, saling menguatkan dalam diam, dalam sembunyi.
Sampai akhirnya, mamaknya Anju_ nantulang, mendengar sendiri omongan dari ibu Alice di pasar. Sebuah kalimat yang merendahkan. Kata-kata yang tak bisa dilupakan oleh seorang ibu. dan sejak itu, mamaknya meminta Anju untuk mengakhiri hubungan itu. Anju awalnya menolak. Tapi lama-lama, ia menyerah. Bukan karena ia tidak cinta, tapi karena ia tidak sanggup melukai ibunya lebih jauh.
Hubungan mereka pun berakhir. tapi bukan karena tidak ada cinta. Justru karena cinta yang terlalu dalam kepada keluarga. Ponggol tarurat, Ingkon sirang do naso marongkap. Sebuah pengorbanan yang diam-diam membekas sampai hari ini. Aku melihat sendiri bagaimana mata Anju kosong selama beberapa hari. Tapi ia tidak mengeluh. Tidak menangis di depan orang. Ia hanya menunduk sedikit lebih lama setiap kali kami duduk berdua.
Waktu berlalu. Kami lulus SMA. Aku kuliah di Jawa, mengejar mimpi yang entah akan sampai di mana. Sementara Anju memilih tinggal dan bekerja di industri minyak di kota kecil kami. Lama kami tak berkomunikasi. Sampai suatu hari, aku menerima undangan. Anju akan menikah. Namanya dan nama seorang perempuan tertulis rapi di kertas undangan. Boru Simatupang. Aku terdiam. Sejenak mataku berkaca. Ingatanku kembali ke bayam di ladang, ke ruang Birokris, ke warung mie simpang tiga, ke suara per motor tua yang jadi saksi segalanya.
Aku tak bisa datang ke pernikahannya. Anju memaklumi, tapi belum untuk janji kado kompor gas yang sampai saat ini belum tertunaikanku. Aku melihat dari postingan teman di media sosial bahwa Anju begitu bahagianya dihari itu. Mereka kemudian dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik dan lucu. Namanya Artha Uly. Saat aku berkunjung ke rumah kecil mereka di Kopelapip tahun 2024 yang lalu, kami bercerita dan tertawa seperti masa lalu tak pernah pergi. Mereka bahagia. dan aku ikut bahagia.
Beberapa minggu kemudian, aku mendengar kabar bahwa Alice juga telah menikah. Ia memilih jalan hidupnya sendiri, bersama lelaki yang diyakini bisa membahagiakan dia dan keluarganya. Aku tersenyum kecil membaca kabar itu. Rasanya aneh. Dulu mereka hampir menyatu, kini mereka saling melepas dengan tenang.
Aku percaya, tak semua yang hilang harus dicari kembali. Kadang, yang hilang justru mengajari kita tentang nilai dari yang masih tinggal. Seperti suara per motorku yang dulu dianggap memalukan, tapi kini menjadi lagu kenangan. Seperti bayam yang kami cabut bersama, kini tumbuh kembali menjadi cerita yang hijau dalam ingatan.
Dan Anju, teman masa SMA yang dulu tak sengaja jadi SAHABAT, tetap akan menjadi salah satu halaman paling indah dalam buku hidupku.
_poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan
Komentar
Posting Komentar