Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Frans!! Mekanik Vario 150, dan AMER pembasuh luka!

UJUNG BUMI ITU MASIH ADA – BAGIAN 2 “Kami adalah orang-orang gila yang masih tersisa di muka bumi ini.” Ada masa dihidup saya, ketika satu-satunya alasanku percaya dunia ini layak ditertawakan, adalah Frans Girsang. Aku ingat, dulu kami seperti tidak punya rem hidup. Kalau hidup adalah jalur bebas hambatan, kami adalah dua makhluk liar yang ngebut tanpa helm, tanpa sabuk pengaman, kadang tanpa tujuan. Dan anehnya: kami  BAHAGIA .  Hidup bersama Frans itu seperti naik motor rem blong: menakutkan, tidak masuk akal, tapi sangat berkesan. Dia gak peduli sama IPK, tidak peduli pada teori, dan sangat tidak peduli pada sopan santun akademik. Tapi entah kenapa, hidup bersamanya terasa sangat... hidup. Frans selalu bilang: “Bang, hidup itu kayak motor tua. Selama masih bisa nyala, gas terus. ” Frans memang lebih muda, adik kelas, tapi bukan adik kelas biasa biasa. Dia PARTNER IN CRIME. Kalau Frans nyetir, aku sudah tahu: nyawa harap ditinggal di dashboard. Dari semua mobil yang pernah ...

ndann, suratmu masih ku simpan!

Surat yang Tidak Pernah Kutulis, Tapi Selalu Kubaca  Malam-malam itu terasa seperti perang. Bukan perang dengan orang lain, tapi dengan diriku sendiri. dengan rasa lapar yang terus mengetuk, dengan rasa malu yang pelan-pelan mengikis harga diri. dengan bayangan bapak dan ibu di kampung, yang kukira kuat, tapi sebenarnya juga menahan tangis karena tak bisa mengirim belanja. Aku tidak ingin pulang, tapi juga tidak tahu harus bertahan dengan apa. Kampus terasa jauh, bukan karena jarak, tapi karena aku tahu, aku datang ke kelas tanpa sarapan, dan kadang pulang dengan hanya meneguk air. Mungkin Tuhan sedang menggodaku, pikirku. atau mungkin Dia sedang diam, dan aku sedang dibiarkan belajar mencintai ketiadaan. Lalu, seperti kilas cahaya yang tidak kucari, ada sebuah surat terselip di celah pintu. amplop putih, tidak istimewa. Tidak ada nama. Tidak ada parfum yang biasa disematkan anak gadis. Hanya tulisan sederhana: “ini untukmu!.” Aku membukanya dengan hati yang tidak berharap apa-apa....

Ujung bumi itu masih ada Frans!

Ujung Bumi Itu Masih Ada Poltak duduk sendirian di sebuah bangku, malam telah menyalakan lampu-lampu kota seperti dulu, saat mereka berdua masih menjadi mahasiswa gila di tanah rantau. Tangan kanannya menggenggam gelas air tebu yang sudah hampir habis, sementara pikirannya mengembara ke masa lalu, ke hari-hari ketika motor Revo tua dan Jupiter ‘Sikuda Liar’ melintasi malam, seakan ingin melawan nasib yang tak kunjung berpihak. pernah sekali Poltak dan Frans balapan dengan kedua motor tua itu, dengan nyali yang sudah teruji, Poltak sengaja menyerempet Frans sampai akhirnya dia beserak, dan tawa ngakak pun tak terelakkan. Frans Girsang . Nama itu muncul seperti bayang-bayang yang terlalu akrab di dalam batinnya. Adek kelas, tapi tak pernah jadi sekadar itu. Ia adalah teman seperjalanan, pengisi sunyi, dan kadang pada malam-malam tertentu, adalah satu-satunya orang yang mengerti bahwa Poltak tidak baik-baik saja, tanpa perlu dijelaskan. Dulu mereka punya semboyan, “ Ujung Bumi.” Tempat d...

Anak tidak pernah MINTA dilahirkan!

 “ Anak Tidak Pernah Minta Dilahirkan”   dari pandangan poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan   Anak tidak pernah mengetuk rahim. tidak pernah mengajukan permohonan resmi kepada dunia agar ia dilahirkan oleh orang tua tertentu, dalam situasi ekonomi tertentu, apalagi dalam rumah yang penuh luka. MEREKA LAHIR, LALU MENANGGUNG SEGALANYA. Termasuk kemiskinan orang tuanya. Termasuk kemarahan yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Termasuk TRAUMA yang tak pernah diselesaikan, tapi malah diteruskan. Dan ironisnya, sering kali mereka juga disalahkan. “Kau tuh anak tak tahu diri!” “Kau menyusahkan!” “Kau bikin ibu jadi begini!” Padahal mereka tidak pernah minta ada di dunia. Mereka hanya ingin... DICINTAI . Anak tidak tumbuh dari kata-kata, tapi dari perlakuan.  Dr. Gabor Maté, seorang dokter dan penulis buku, menyebut bahwa perilaku anak adalah CERMIN dari hubungan mereka dengan orang tua. Jika seorang anak sulit diatur, jangan buru-buru labeli mereka ...

Gereja 1981: uang, pesta, lelang, dan pidato mingguan. pelayanan? siapa pedulii!

Sebuah ironi menurut sudut pandang Poltak,  “Gereja 1981: Uang, Pesta, lelang, dan Pidato Mingguan – Pelayanan? Siapa Peduli!”. Dalam dunia yang semakin materialistis ini, tampaknya gereja, yang seharusnya menjadi tempat perenungan, pertumbuhan iman, dan pengabdian rohani, kini berubah menjadi institusi yang lebih mirip dengan ahh entahlah..., dengan segala KETIDAKJELASAN dan ABSURDITASNYA . Mari kita telusuri sebuah gereja lokal yang sudah berdiri sejak 1981, namun seolah-olah waktunya terhenti pada tahun tersebut. Sebuah gereja dengan 15 orang majelis, 4 pimpinan majelis, dan 1 full-timer yang tidak memahami kawanan dombanya, dan dombanya tak paham dia, dimana umatnya sebagian besar adalah mahasiswa yang hanya singgah di kota tersebut. Namun, di balik segenap rutinitas yang tidak berujung, gereja ini tetap hidup, berfungsi, tapi apakah itu benar-benar hidup? entahlah..jadi begini:  1. Majelis Lebih Banyak dari Umat: Sebuah Parodi Pelayanan Mungkin kita harus memulai dengan ...

Bab III: Poltak, Marsha dan Rasa yang tak terucap

( lanjutan dari “Poltak, Marsha, dan Rasa yang Tak Terucap”) suara dari Marsha, bukan dalam balutan cinta yang sama, tapi dalam kejujuran yang pahit dan getir. Ini bukan balasan yang diharapkan Poltak, tapi mungkin inilah kenyataan yang harus ia peluk. Dari Marsha, Untuk Poltak (Yang Tak Pernah Aku Tahu cara Mencintai) Bang Poltak, Aku ga tahu harus mulai dari mana, karena surat ini pun kutulis bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah yang belum pernah kutahu harus ke mana dibawa. Aku menemukan suratmu, entah bagaimana bisa sampai di tanganku. Atau mungkin takdir punya cara sendiri untuk mempermainkan rasa yang tidak pernah setara. Kau tahu, aku selalu MENGANGGAPMU rumah yang hangat. Seseorang yang mendengar tanpa harus diundang. Kakak dari sahabatku, yang diam-diam jadi pelindung tanpa pernah kuminta. Tapi aku tak pernah membaca gesturmu sebagai tanda. Tak pernah tahu ada hati yang menunggu dalam diam. Jika aku tahu lebih awal, mungkin aku akan bersikap lebih hati-hati. Mungkin...

Bagian II: Poltak, Marsha dan Rasa yang tak terucap

“Surat yang Tak Pernah Sampai”. (lanjutan dari “Poltak, Marsha, dan Kenangan yang Tak Terucap”) Tahun-tahun telah berlalu sejak nama Marsha hanya hidup dalam diam. Poltak telah tumbuh dalam ketenangan yang DIBUAT-BUAT, menjalani hari-hari dengan cara yang paling sopan terhadap luka, pura-pura sembuh. Sampai suatu pagi yang tak biasa, saat ia menerima sebuah amplop. tanpa alamat pengirim, hanya secarik kertas putih di dalamnya, bertuliskan: “Masihkah kau mengingatku?” Tangannya gemetar. waktu seperti berputar balik. Tak perlu tanda tangan, tak perlu foto. Ia tahu, ini dari MARSHA. Ia tak menjawab surat itu. bukan karena tak mau, tapi karena terlalu banyak yang ingin ia katakan, dan terlalu sedikit yang akan dimengerti. Maka malam itu, Poltak menulis. Sebuah surat, satu-satunya surat, yang ia tahu tak akan pernah dikirim: Untuk Marsha, Maaf jika surat ini terlambat, karena aku butuh waktu seumur hidup untuk menyadari bahwa aku tak akan pernah cukup berani menyapa masa lalu dengan kata “...

Bagian I: poltak, marsha, dan RASA yang tak terucap

Poltak, Marsha, dan RASA yang Tak Terucap Poltak tidak sedang duduk. Ia berjalan pelan menyusuri lorong waktu dalam kepalanya tempat yang setiap sudutnya dihuni kenangan yang tak pernah bisa ia bakar. Tak ada suara, kecuali gema langkah dan serpihan ingatan yang selalu mengantar sebuah entitas, namanya: MARSHA. Marsha. nama yang tidak pernah ia panggil dengan suara, tapi berkali-kali ia bisikkan dalam doa. Perempuan yang datang tanpa aba-aba, dan pergi tanpa alasan. Ia tidak datang dengan cinta, hanya dengan tawa kecil dan mata yang sulit ditebak arahnya. Tapi cukup untuk membuat Poltak menjatuhkan SELURUH musim dalam dadanya. Poltak tahu ini bukan cerita tentang keberanian yang terlambat. Ini adalah kisah tentang rasa yang sejak awal memang TIDAK DITAKDIRKAN tumbuh. Bukan karena cinta tak cukup, tapi karena ia tak pernah punya lahan untuk berakar. Ika, adik satu-satunya, kadang mencuri pandang saat Poltak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia hafal betul arah tatapan itu, nama yang...

Part 5—angannya parcendol

Part 5: pikuk pesta, canda tawa dan hangatnya persaudaraan.  Pagi itu dimulai dengan suara panci dari dapur. Samar-samar terdengar juga obrolan ringan Inang simatua dan beberapa ibu ibu lainnya. suara ketel yang mulai mendesis, suara gas yang berembus. Udara sejuk masih mengisi tiap sudut rumah, belum sepenuhnya hangat oleh cahaya matahari yang perlahan menyelinap lewat kisi-kisi jendela kayu. Aku terbangun lebih dulu. Ia masih terlelap di sebelahku, wajahnya tenang, napasnya ringan. Beberapa helai rambutnya menutupi pipi. Kupandangi sebentar, lalu turun dari ranjang dengan pelan agar tak mengganggunya. Di ruang makan, amang simatua sudah duduk dengan koran dan secangkir kopi. Ibu mertuaku sedang menyiapkan sarapan—nasi goreng sederhana, tapi wangi bawang putih dan kecapnya menguar sampai ke ruang tamu. Aku menyapa pelan, ikut duduk sambil bantu menuang teh. “Kek mana, capek jalan-jalan semalam?” tanya amang simatua sambil tersenyum. “Sedikit. Tapi senang, amang,” jawabku rama...

Part 4—angannya parcendol

Part 4: Malam, kita dan Kota Itu Kami menghabiskan malam itu dengan motoran keliling kota kecil tempat istriku dibesarkan. Kota ini memang terkenal, apalagi karena danaunya. Banyak turis datang ke sini, tapi buat dia, kota ini bukan tempat wisata, ini rumah. Udara malamnya sejuk, jalannya bersih dan tenang. Lampu-lampu jalan temaram, dan beberapa kedai masih buka. Aku yang bawa motor, dia duduk di belakang. Tangannya memeluk pinggangku santai, sesekali ia bicara, menunjuk ke arah bangunan atau jalan yang kami lewati. “Itu gereja aku dulu. Tempat aku sekolah minggu,” katanya pelan tapi senang. “Dulu aku suka malu-malu kalau disuruh maju ke depan hahaha.” tawanya. Aku menoleh sedikit, melihat gereja yang besar dan kokoh berdiri di ujung jalan. “Di pojokan itu, ada martabak manis paling enak sekota ini. Sampai sekarang pun masih rame. dulu aku sama kakak sering ke sana kalau lagi pengen yang manis-manis.” Kami terus jalan. Kota ini memang nyaman. Ramai tapi nggak berisik. Turis-turis jala...

Part 3—angannya parcendol

Episode 3: Surat-Surat yang Tak Pernah Terkirim Pagi itu sedikit berbeda. Angin membawa bau daun kering dan jejak kayu bakar, menyelinap lewat jendela yang terbuka setengah. Di luar, danau masih berselimut kabut, samar-samar seperti ingatan yang mulai pudar namun belum benar-benar hilang. Dia duduk bersila di lantai kamar, punggungnya bersandar ke lemari tua yang masih disimpan sejak dia remaja. Di pangkuannya, sebuah kotak karton bergambar bunga sakura, agak lembap karena udara kampung yang selalu basah. "Aku dulu sering nulis surat, Bang," katanya pelan. "Tapi gak pernah kukirim ke siapa-siapa. Aku simpan semua di sini." Aku menoleh. Ia menyerahkan selembar kertas yang sudah kuning di pinggirnya. Tulisan tangannya masih rapi, sedikit membulat, seperti karakter anak bungsu yang tumbuh dalam ketenangan kampung kecil. Surat itu ditulisnya tahun 2013, dari kota kecil yang disebut orang dalam buku-buku geografi karena danaunya yang indah. "Kepada siapa pun yang na...

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

si “Voorhanger” tanpa UMAT! Di sudut sunyi gereja, ketika lampu-lampu padam dan hanya sisa nyala lilin yang menggigil, ada satu motor yang tetap menyala. Bukan untuk pulang, tapi entah untuk apa. Mungkin sekadar berlari dari sepi yang lengket seperti udara malam. Mungkin juga karena ingin merasa dibutuhkan, meski oleh jalanan yang tak pernah menuntut penjelasan. Itu motor Krisna. atau, seperti aku dan beberapa orang suka menyapanya, "Nger" _potongan dari voorhanger, sang pelakon segala hal yang bahkan tak diminta. dia selalu ADA, bahkan ketika tak ada yang mencari. Malam itu seperti biasa, Krisna memutar kunci motornya, membiarkan deru knalpot menjadi satu-satunya teman bicara. Jalanan sunyi, seperti hidupnya. Tak ada yang menanti. Tak ada yang mencemaskan jika ia pulang terlambat atau tidak pulang sama sekali. Tapi ia tahu, satu sosok di rumah yang ia sebut "Bu Mas" akan selalu menunggu beritanya, meski dengan mata yang terus lelah dan doa yang semakin pelan suaran...

Dapur Jiwa ibu Endang

“Saat Tuhan Berteduh di Warung Tua” “Hee Pol, ibu baru bikin sambel terasi yang nggak pedas lohh,” kata Bu Endang sambil menyalakan kompor. Poltak mengangguk pelan, duduk di bangku kayu yang kakinya sedikit goyah, tapi ia tak pernah mengeluh. Ada semacam kesetiaan dalam tubuh tua warung itu, seperti juga Bu Endang yang setia menyambut siapa pun, setia pada bumbu, dan setia pada hidup yang tak pernah manis secara utuh. “Gimana pagi ini, Pol?” tanya Bu Endang, tanpa menoleh. “yaahh seperti biasanya, Bu.”  lanjut bu Endang,  “Hidup itu seperti nasi putih, kadang hambar, kadang menggumpal. Tapi tanpa dia, ya semua lauk sia-sia.” Poltak tidak tertawa. Ia menyukai cara Bu Endang menyelipkan filsafat dalam kepulan uap wajan. Ada hal yang lebih dalam dari sekadar humor. “Buu!!” kata Poltak perlahan, “kenapa Ibu tetap baik meski sering ditipu orang, bahkan oleh teman sendiri?” Bu Endang diam sebentar, lalu menaruh sendok kayu di atas piring kecil. Ia menatap Poltak dengan mata yang ta...

kita yang tak jadi kita

“kita yang tak jadi kita“ Hari itu berlalu seperti mimpi buruk yang tidak selesai-selesai. Aku masih mengingat sorot matanya saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya. Bukan sorot marah, bukan kecewa, tapi... kosong. Seolah ia telah mengubur harapan yang dulu kami tanam bersama. Anggi, perempuan yang selama ini kupeluk dalam doa. Perempuan yang kerap membuat aku ingin pulang lebih cepat, hanya agar bisa mendengar suaranya bercerita soal hari-harinya. Kini, ia memilih pergi. Bukan karena ada orang ketiga. Bukan juga karena kami tak saling cinta. Tapi mungkin... karena kami tak lagi searah. Kata orang, cinta yang sehat adalah yang saling menguatkan. Tapi apa jadinya kalau satu-satunya sandaran mulai merasa lelah? Di titik itulah aku sadar, kadang, cinta tak cukup untuk membuat dua orang tetap tinggal. Aku mencoba mengejar jawabannya ke banyak tempat. Menyusuri jejak yang pernah kami lalui. Kafe tempat pertama kali kami bertemu, halte tempat kami berdebat soal film, dan jalanan kota, tempat...

Part 2—angannya parcendol

part 2: Sarapan, Kenangan, dan Sepiring Arsik Pagi datang perlahan, seperti biasa di kampung ini. Udara masih terasa sejuk, sisa dari embun malam tadi. Dari celah jendela kamar yang tidak tertutup rapat, cahaya matahari masuk pelan-pelan, menyentuh wajahku yang masih tertutup selimut bermotif bunga-bunga klasik. Aku tahu pagi sudah benar-benar datang saat terdengar suara tawa para ibu dari arah dapur, bercampur dengan denting sendok dan bunyi wajan yang digeser. Istriku masih tertidur. Dia terlelap di sisi kanan tempat tidur, rambutnya agak berantakan, wajahnya terlihat damai seperti anak kecil habis minum susu hangat. Aku tersenyum sendiri. Ada ketenangan dalam momen-momen seperti ini. Kupakai kaos oblong dan celana pendek, lalu keluar kamar dengan langkah pelan. Di ruang tengah, ibu mertuaku sudah sibuk di dapur. 🧓: “Etah, sarapan ma jo, unang sanga ngali annon indahan on.” seru inang simatuaku. Aku mengangguk sambil menguap. Kantuk masih sisa, tapi aroma dari dapur membuat langkah ...

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati

Poltak duduk di serambi rumah tua, menatap hujan yang turun perlahan. Di dalam, Oppung Windy, ibunya, sedang menyeduh teh jahe seperti dulu saat Poltak masih kecil. Rumah itu penuh kenangan, tapi malam itu terasa dingin, bukan karena cuaca, tapi karena jarak yang tumbuh di antara dua hati yang seharusnya PALING dekat. Poltak baru saja kembali dari kota. Ia bekerja keras, menempuh berbagai usaha, mengukir cita-cita, hanya demi satu tujuan,  MEMBAHAGIAKAN ibunya. Berharap kelak memberi uang bulanan, memperbaiki atap rumah, bahkan berencana membangun rumah baru. Tapi pulang kali ini, hatinya terasa hampa, dan wajah ibunya justru tampak makin murung. “O..mak, oppung ni Windyy,” kata Poltak akhirnya, pelan. “Kenapa kita seperti ini? Aku mengusahakan bakti untuk Mamak. Tapi kenapa rasanya kita malah makin jauh?” Oppung Windy duduk di sampingnya, menghela napas panjang. Tangannya yang mulai keriput menggenggam cangkir teh, seperti menggenggam masa lalu. “Anakku,” katanya, suara gemetar ...

Poltak, sang Mahasiswa abadi

Di sudut kampus yang mulai dipenuhi bangunan baru, Poltak duduk sendiri di bangku tua dekat fakultas hitung hitung duit. Sudah tahun ke-tujuh ia menjadi mahasiswa. Teman-teman seangkatannya telah lama lulus, beberapa sudah menikah, sebagian sibuk mengejar karier. Tapi Poltak masih di situ, mengisi daftar hadir, membaca buku, dan kadang menulis, meski tak pernah benar-benar menyelesaikan skripsinya. Suatu sore, dosennya, Bu Anne, menghampirinya. “Poltak, kenapa kamu belum juga menyelesaikan kuliahmu? Kamu bukan bodoh. Malah kadang saya pikir kamu terlalu dalam berpikir.” Poltak menatap langit yang mulai jingga. “Bu… saya takut.” “Takut apa?” “Takut lulus… dan ternyata hidup di luar sana tak memberi makna seperti yang saya cari di sini. Takut kalau semua ini cuma rutinitas tanpa jiwa. Di kampus ini, saya masih bisa bertanya tanpa harus segera menjawab. Dunia luar tak begitu, kan?” Bu Anne duduk di sebelahnya. “Kamu tahu, Poltak, bertanya itu penting. Tapi kadang kita baru bisa menemukan ...

_Jalan Sunyi Poltak

Poltak bukan orang yang istimewa di mata banyak orang. Ia tak pernah jadi juara lomba, tak punya banyak gelar, dan wajahnya pun mudah dilupakan orang. Tapi Poltak tahu satu hal, hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat atau siapa yang paling hebat. Hidup, baginya, adalah tentang menemukan arti. Ia tinggal di sebuah kampung kecil di pinggir danau. Setiap pagi, ia berjalan kaki ke ladang dengan sebungkus nasi dan sebotol air. Banyak orang bertanya, “oo Pol, kenapa kau nggak pindah ke kota? Cari kerja yang lebih menjanjikan!”. Poltak hanya tersenyum dan menjawab dalam hatinya, “Di sini aku bisa mendengar suaraku sendiri.” Suatu hari, ia duduk di bawah pohon mangga tua sambil memandang danau. Seorang pemuda dari kota datang menghampirinya. “bangg poltakk, udah kek mana sekarang? apa gak bosan gini gini aja?” tanya pemuda itu dengan heran. Poltak tertawa kecil. “Diboto ho do kedan, Aku dulu pernah coba jadi seperti orang lain. Aku pergi ke kota, kejar ini itu, puaskan keinginan orang-or...

Di antara langit dan tanah

  ketika “Di Antara Langit dan Tanah“ Di desa kecil di perbukitan yang angin paginya masih murni dan suara ayam jadi jam weker alami, hidup seorang pendeta bernama Poltak. Ia dikenal sebagai pemimpin rohani yang sangat yakin bahwa semua jawaban ada di langit, tempat Tuhan bertahta. Tiap Minggu, ia berkhotbah dengan suara menggelegar, menunjuk ke atas sambil berkata, “Carilah jawaban di atas, bukan di bawah!” Sementara itu, di pinggiran desa, tinggal Hulman. Ia bukan pendeta, bukan dosen, bahkan bukan guru. Ia hanya petani tua, dengan pikiran dalam dan kata-kata sederhana yang kadang bikin orang mikir dua kali. Warga memanggilnya “filsuf kampung”, bukan karena gelar, tapi karena ketenangannya menjawab semua persoalan hidup… sambil mencangkul. Suatu hari, Pendeta Poltak naik ke bukit, mencari Hulman, sebab sebelumnya ia mendengar kabar bahwa Hulman mengatakan sesuatu yang membuat umatnya “terguncang”. Ia membawa Alkitab, semangat, dan sedikit rasa ingin menang debat. Di ladang, Hulma...

Poltak dan Salib yang Hilang

Di sebuah desa kecil di pegunungan, tinggal seorang pemuda bernama Poltak. Ia Katolik yang taat, dikenal rajin membantu Pastor di gereja, aktif dalam koor, dan hampir tak pernah absen misa, terutama saat Pekan Suci. Di mata warga desa, Poltak adalah calon putra altar sejati, bersih, rohani, dan sopan. Pekan Suci tahun itu dimulai seperti biasa. Minggu Palma disambut dengan prosesi penuh khidmat. Poltak memimpin barisan anak-anak sambil mengangkat salib kecil dari kayu jati. Pastor memberikan homili singkat tentang pengkhianatan dan pengampunan, dan semua berjalan damai. Namun, saat persiapan Jumat Agung, satu hal mengejutkan terjadi: salib besar di altar gereja menghilang. Gereja itu hanya punya satu salib besar, buatan tangan dari kayu pohon tua yang hanya tumbuh di puncak gunung. Hilangnya salib itu mengejutkan semua orang. Pastor, bingung dan pucat, memanggil semua pengurus gereja. “Siapa yang terakhir melihat salib itu?” tanya Pastor. “Poltak,” jawab seorang ibu. “Dia yang menyapu ...

tertinggal dihati yang SALAH,,•

 "tertinggal dihati yang SALAH ,,• Malam turun di kota kecil yang telah lama kehilangan cahaya lampunya. Hujan gerimis merambati jendela warung kopi yang setia menjadi saksi percakapan paling jujur yang tak sempat ditulis sejarah. disudut bangku kayu yang sedikit goyang, duduk Poltak, menggenggam cangkir yang lebih hangat dari tangannya sendiri. Di depannya duduk Marsha. Perempuan dengan mata yang pernah membuat dunia Poltak porak poranda, tapi malam ini, mata itu menatap dengan penuh tanya, seolah menunggu penjelasan yang terlalu berat untuk diberikan, terlalu rapuh untuk dibungkus dengan kalimat sederhana. Poltak menghela napas. Perlahan, seperti orang yang baru saja selesai berlari dari bayang-bayangnya sendiri. Lalu ia bicara, tidak dengan suara lantang, melainkan dengan bunyi yang nyaris patah: "Bukan kebal, Marsha… tapi semuanya udah tertinggal di satu orang, Ga ada lagi yang tersisa untukku yang bisa kubawa ke tempat lain." Kata-katanya jatuh seperti hujan ...

Duduk di samping angin

 “Duduk di samping Angin” Poltak bukan tokoh besar. Ia bukan pendeta, bukan pejabat, dan bukan pula motivator spiritual dengan jas rapi dan senyum 36 watt. Tapi entah kenapa, kalau dia lewat, orang jadi pengin duduk lebih tenang. Sehari-hari, ia tinggal di rumah kayu yang dicat seadanya, di pinggir kampung, dekat sawah dan suara kodok. Pagi-pagi, ia biasanya menyiram tanaman sambil nyanyi pelan lagu rohani versi seriosa fals. Kalau ayam lewat, dia negur. “Eh, jangan mencakar-cakar sawah orang ya, nanti malu kita satu keluarga.” Dulu, Poltak orang sibuk. Kantornya di kota, ponselnya dua, langkahnya cepat. Tapi suatu hari, dia berhenti. Bukan karena jatuh, tapi karena sadar: dia terlalu sering berlari, tapi tak pernah benar-benar hadir. “Bukan dunia ini yang salah. Aku aja yang keliru cara menikmatinya,” katanya suatu malam di warung kopi. Tak ada yang paham maksudnya, tapi semua ikut manggut-manggut demi solidaritas. Kini, ia dikenal bukan karena prestasi, tapi karena kehadirannya y...