Poltak, sang Mahasiswa abadi


Di sudut kampus yang mulai dipenuhi bangunan baru, Poltak duduk sendiri di bangku tua dekat fakultas hitung hitung duit. Sudah tahun ke-tujuh ia menjadi mahasiswa. Teman-teman seangkatannya telah lama lulus, beberapa sudah menikah, sebagian sibuk mengejar karier. Tapi Poltak masih di situ, mengisi daftar hadir, membaca buku, dan kadang menulis, meski tak pernah benar-benar menyelesaikan skripsinya.

Suatu sore, dosennya, Bu Anne, menghampirinya.

“Poltak, kenapa kamu belum juga menyelesaikan kuliahmu? Kamu bukan bodoh. Malah kadang saya pikir kamu terlalu dalam berpikir.”

Poltak menatap langit yang mulai jingga. “Bu… saya takut.”

“Takut apa?”

“Takut lulus… dan ternyata hidup di luar sana tak memberi makna seperti yang saya cari di sini. Takut kalau semua ini cuma rutinitas tanpa jiwa. Di kampus ini, saya masih bisa bertanya tanpa harus segera menjawab. Dunia luar tak begitu, kan?”

Bu Anne duduk di sebelahnya. “Kamu tahu, Poltak, bertanya itu penting. Tapi kadang kita baru bisa menemukan jawaban setelah kita berjalan keluar dari zona nyaman kita. Dunia memang keras, tapi makna tidak selalu ditemukan di ruang sunyi. Kadang ia muncul saat kita jatuh, bangun, lalu mencoba lagi.”

Poltak diam. Ia ingin percaya kata-kata itu, tapi kekhawatirannya lebih kuat dari logika.

Malamnya, ia duduk di kamar kosnya yang penuh buku dan catatan lama. Ia membuka salah satu jurnal yang pernah ia tulis di tahun ketiga:

“Saya ingin hidup yang jujur. Bukan hanya gelar dan upah, tapi hidup yang utuh, yang punya arah. Tapi kenapa arah itu semakin kabur setiap saya mencoba berjalan?”

Air matanya menetes. Ia sadar, mungkin selama ini ia bukan takut gagal, tapi takut kehilangan pencarian itu sendiri. Keesokan harinya, Poltak kembali ke kampus. Ia menemui Bu Anne dan berkata,

“Bu, saya akan selesaikan skripsi saya.”

Bu Anne tersenyum, “Tentang apa?”

Poltak menatapnya dalam, “Tentang ketakutan orang-orang yang mencari makna, tapi terjebak dalam pencarian itu sendiri.”

Dari sanalah Poltak benar-benar mulai berjalan. Bukan untuk lulus, bukan untuk membuktikan sesuatu. Tapi karena akhirnya ia sadar, makna hidup tak selalu ditemukan sebelum langkah diambil. Kadang, ia justru muncul saat kita berani melangkah, meski dengan rasa takut yang belum pergi.


_seri kehidupan sipoltak 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati