Duduk di samping angin

 “Duduk di samping Angin”

Poltak bukan tokoh besar. Ia bukan pendeta, bukan pejabat, dan bukan pula motivator spiritual dengan jas rapi dan senyum 36 watt. Tapi entah kenapa, kalau dia lewat, orang jadi pengin duduk lebih tenang.

Sehari-hari, ia tinggal di rumah kayu yang dicat seadanya, di pinggir kampung, dekat sawah dan suara kodok. Pagi-pagi, ia biasanya menyiram tanaman sambil nyanyi pelan lagu rohani versi seriosa fals. Kalau ayam lewat, dia negur. “Eh, jangan mencakar-cakar sawah orang ya, nanti malu kita satu keluarga.”

Dulu, Poltak orang sibuk. Kantornya di kota, ponselnya dua, langkahnya cepat. Tapi suatu hari, dia berhenti. Bukan karena jatuh, tapi karena sadar: dia terlalu sering berlari, tapi tak pernah benar-benar hadir.

“Bukan dunia ini yang salah. Aku aja yang keliru cara menikmatinya,” katanya suatu malam di warung kopi. Tak ada yang paham maksudnya, tapi semua ikut manggut-manggut demi solidaritas.

Kini, ia dikenal bukan karena prestasi, tapi karena kehadirannya yang bikin adem. Ia datang kalau ada yang sakit, diam kalau orang lagi sedih, dan kadang cuma duduk diam di samping bapak tua yang kesepian—tanpa banyak tanya, cukup duduk dan berbagi sunyi. Ia tak banyak bicara soal iman, tapi pagi-paginya penuh syukur, siangnya penuh kerja, dan malamnya penuh doa yang pelan dan sederhana.

“Kalau hidup itu ibarat rumah,” katanya pada anak-anak di gereja, “jangan sibuk pasang marmer, tapi lupa pasang pintu. Hidupmu harus bisa dimasuki orang, biar mereka tahu rasanya damai.”

Anak-anak belum terlalu paham. Tapi mereka suka duduk dekat Poltak karena dia selalu bawa kue dan cerita lucu soal ayamnya yang kabur ke ladang tetangga.

Ada satu kali, seorang pemuda kota yang baru pulang kampung bertanya, 

“Abang nggak pengen punya nama besar?”

Poltak tersenyum. “Namaku udah besar,       P O L T A K.., lima huruf, susah pula dicari di kalender.”

Tapi sorot matanya bilang lebih dari itu. Ia sudah menemukan yang dicari banyak orang: TENANG..

Dan dalam tenangnya, Poltak menghidupi sesuatu yang tidak perlu diumbar atau dikotbahkan, cukup dijalani. Pelan, jujur, dan bersahaja. Seperti embun yang tidak pernah ramai, tapi selalu ada saat pagi datang. Dan malam itu, sebelum tidur, dia tulis di buku kecilnya: > “Hari ini, aku belum sempurna. Tapi kalau ada satu orang yang merasa lebih dikuatkan karena aku, berarti aku hidup tidak sia-sia.” 


Poltak, bukan poli*i tak berotak ✌️

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

Cinta disatu ketika