Di antara langit dan tanah
ketika “Di Antara Langit dan Tanah“
Di desa kecil di perbukitan yang angin paginya masih murni dan suara ayam jadi jam weker alami, hidup seorang pendeta bernama Poltak. Ia dikenal sebagai pemimpin rohani yang sangat yakin bahwa semua jawaban ada di langit, tempat Tuhan bertahta. Tiap Minggu, ia berkhotbah dengan suara menggelegar, menunjuk ke atas sambil berkata, “Carilah jawaban di atas, bukan di bawah!”
Sementara itu, di pinggiran desa, tinggal Hulman. Ia bukan pendeta, bukan dosen, bahkan bukan guru. Ia hanya petani tua, dengan pikiran dalam dan kata-kata sederhana yang kadang bikin orang mikir dua kali. Warga memanggilnya “filsuf kampung”, bukan karena gelar, tapi karena ketenangannya menjawab semua persoalan hidup… sambil mencangkul.
Suatu hari, Pendeta Poltak naik ke bukit, mencari Hulman, sebab sebelumnya ia mendengar kabar bahwa Hulman mengatakan sesuatu yang membuat umatnya “terguncang”. Ia membawa Alkitab, semangat, dan sedikit rasa ingin menang debat.
Di ladang, Hulman sedang menanam ubi.
Pendeta Poltak: “Hulman! Aku dengar kau bilang sama warga, bahwa jawaban-Nya tidak selalu di langit. Itu berbahaya Mann!”
Hulman: (Tersenyum, menepuk tanah) “Ah, Pak Pendeta. Saya cuma bilang... Tuhan juga sering menyembunyikan jawaban di tanah.”
Pendeta Poltak:“Bukankah firman datang dari atas? Bukankah langit tempat kebijaksanaan?”
Hulman: (Sambil mencabut rumput liar) “Tapi kita tak berjalan di langit, Pak Pendeta. Kita hidup di tanah. Kita menggali, menanam, jatuh, bangun, bahkan dikuburkan di tanah.”
Pendeta Poltak: “Maka kita harus mengangkat wajah ke atas, mengarahkan pandangan kepada Tuhan!”
Hulman: “Dan jangan lupa pak pendeta, Yesus juga membasuh kaki… bukan mencuci kepala.”
Mereka berdua diam. Angin sore meniup dedaunan. Seekor burung gereja mendarat di cangkul Hulman, seakan mendengar debat sakral itu.
Hulman: “Saya percaya langit adalah tempat asal kita. Tapi tanah… adalah tempat kita belajar menjadi manusia. Jika kita terlalu sibuk menatap langit, bisa-bisa kita tersandung batu kecil di jalan.”
Pendeta Poltak: (Sedikit melunak) “Lalu menurutmu, Hulman, bagaimana menemukan kebenaran?”
Hulman: “Dengan hati yang memandang ke atas... tapi kaki tetap berpijak di tanah. Karena iman yang tak mengerti penderitaan manusia… bisa jadi hanya kesombongan rohani pak pendeta.”
Beberapa hari kemudian, warga desa kaget melihat Pendeta Poltak datang ke gereja… memakai sepatu penuh lumpur.
Ia berkata dalam khotbahnya,
“Saudara-saudara, minggu ini saya belajar bahwa firman memang dari atas, tapi sering kali, Tuhan menyelipkannya... di antara akar-akar kehidupan kita yang sederhana.”
Dan dari jendela gereja yang terbuka, terlihat Hulman mengangguk pelan… sambil mengunyah ketela bakar.
Moralnya adalah :Kebijaksanaan sejati lahir bukan hanya dari langit yang tinggi, tapi juga dari tanah yang diinjak setiap hari. Di antara tanah dan langit, manusia belajar… merunduk, bersyukur, dan memahami.
Komentar
Posting Komentar