Part 2—angannya parcendol
part 2: Sarapan, Kenangan, dan Sepiring Arsik
Pagi datang perlahan, seperti biasa di kampung ini. Udara masih terasa sejuk, sisa dari embun malam tadi. Dari celah jendela kamar yang tidak tertutup rapat, cahaya matahari masuk pelan-pelan, menyentuh wajahku yang masih tertutup selimut bermotif bunga-bunga klasik.
Aku tahu pagi sudah benar-benar datang saat terdengar suara tawa para ibu dari arah dapur, bercampur dengan denting sendok dan bunyi wajan yang digeser.
Istriku masih tertidur. Dia terlelap di sisi kanan tempat tidur, rambutnya agak berantakan, wajahnya terlihat damai seperti anak kecil habis minum susu hangat. Aku tersenyum sendiri. Ada ketenangan dalam momen-momen seperti ini.
Kupakai kaos oblong dan celana pendek, lalu keluar kamar dengan langkah pelan. Di ruang tengah, ibu mertuaku sudah sibuk di dapur.
🧓: “Etah, sarapan ma jo, unang sanga ngali annon indahan on.” seru inang simatuaku.
Aku mengangguk sambil menguap. Kantuk masih sisa, tapi aroma dari dapur membuat langkah kaki terasa ringan. Di meja makan sudah tersaji sepiring besar arsik ikan mas, sambal andaliman, dan sepiring daun ubi tumbuk yang masih mengepul.
🌹: “Bang... ayo, rindu kalilah aku makan masakan rumah, gak ada yang bisa masak begini di Jawa. Kalau abang makan, aku juga semangat makan.” manjanya denganku.
Dia sudah duduk di meja makan, rambutnya setengah basah, mungkin baru cuci muka. Senyumnya pagi itu... seperti matahari di kampung: sederhana tapi menenangkan.
Kami pun sarapan bersama. Tak banyak bicara. Kadang, cinta itu tak butuh banyak kata. Cukup sepiring nasi hangat dan senyum kecil yang dijawab dengan suapan kedua.
Selesai makan, kami duduk di kursi panjang di teras. Ibu mertuaku menyusul membawa segelas teh manis dan sepiring pisang goreng.
🧓: “Rumah ini sepi. Kami gak tahu kapan anak-anak dari Jakarta bisa pulang. Tapi sekarang, menjelang pesta ini, rumah kembali ramai. Rasanya hati ini ikut hangat.”
si-adekkbmenatap halaman, melihat pohon jambu di sudut kanan rumah yang masih berdiri tegak seperti dulu. Angin pagi menyapu pelan, membawa aroma tanah basah dan kenangan yang tak bisa dijelaskan.
Hari ini kami tidak ke mana-mana. Katanya, nanti sore keluarga dari kampung seberang akan datang. Malam harinya akan ada pertemuan keluarga, kata orang Batak: “marnonang-nonang.” Mungkin malam nanti akan panjang. Tapi tidak apa-apa.
Karena di rumah ini, waktu berjalan pelan. Dan itu cukup. Karena yang paling berharga bukanlah hal-hal besar, tapi kesempatan untuk pulang. Pulang ke rumah. Ke tempat semua cerita dimulai, sekadar menyegarkan kembali ingatan masa lalu istri tercinta.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar