Part 5—angannya parcendol
Part 5: pikuk pesta, canda tawa dan hangatnya persaudaraan.
Pagi itu dimulai dengan suara panci dari dapur. Samar-samar terdengar juga obrolan ringan Inang simatua dan beberapa ibu ibu lainnya. suara ketel yang mulai mendesis, suara gas yang berembus. Udara sejuk masih mengisi tiap sudut rumah, belum sepenuhnya hangat oleh cahaya matahari yang perlahan menyelinap lewat kisi-kisi jendela kayu.
Aku terbangun lebih dulu. Ia masih terlelap di sebelahku, wajahnya tenang, napasnya ringan. Beberapa helai rambutnya menutupi pipi. Kupandangi sebentar, lalu turun dari ranjang dengan pelan agar tak mengganggunya.
Di ruang makan, amang simatua sudah duduk dengan koran dan secangkir kopi. Ibu mertuaku sedang menyiapkan sarapan—nasi goreng sederhana, tapi wangi bawang putih dan kecapnya menguar sampai ke ruang tamu. Aku menyapa pelan, ikut duduk sambil bantu menuang teh.
“Kek mana, capek jalan-jalan semalam?” tanya amang simatua sambil tersenyum.
“Sedikit. Tapi senang, amang,” jawabku ramah.
Tak lama, dia muncul dari dalam kamar dengan rambut yang sudah rapi dan wajah masih setengah ngantuk. Tapi tetap cantik, tetap jadi rumah yang tak pernah kehilangan kehangatannya.
“Pagi, semuanya,” ucapnya sambil langsung memeluk Ibu dari belakang.
Kami sarapan bersama. Obrolan ringan mengalir—tentang pasar pagi, tukang roti keliling, dan tetangga yang anaknya baru lulus kuliah. Tidak ada yang penting, tapi semuanya terasa hangat. Rumah ini memang begitu—ramai, tapi tidak melelahkan.
Setelah sarapan, kami keluar rumah. Jalan kaki saja, sebelum nanti jam 9 kami menghadiri pemberkatan pernikahan sepupu istriku. Kota ini terlalu damai untuk dilewati dengan tergesa. Ia menggandeng tanganku, sesekali menunjuk bangunan atau toko yang kami lewati.
“Tengok itu, Bang. Itu warung yang dulu aku suka datangi sama Mama tiap minggu pagi. orang itu masih jual kue yang sama,” katanya sambil tersenyum kecil.
Kami menyusuri jalanan kecil yang dipenuhi kenangannya. Anak-anak bersepeda lewat, ibu-ibu menyapu halaman, dan aroma kopi dari warung dekat gang ikut menemani langkah kami.
Di satu tikungan, kami berhenti. Ada SD kecil di sana, dengan gerbang cat biru dan taman bermain sederhana.
“Aku dulu sekolah di sini. Pernah jatuh waktu upacara karena nggak sarapan. Malu banget, tapi jadi pelajaran seumur hidup,” katanya sambil terkikik.
Aku tertawa pelan. “Pantes kamu selalu bawel nyuruh aku makan pagi.”
Kami terus berjalan. Kota ini benar-benar mengenalnya, dan lewat dia, aku mulai merasa kota ini juga mulai mengenalku.
Sampai akhirnya kami duduk di sebuah bangku dekat taman kecil, hanya diam sambil menikmati pagi yang berjalan pelan. Tidak banyak yang perlu diucapkan. Kadang, kehadiran saja sudah cukup.
“Bang,” katanya pelan. “Senang ya, bisa pulang. Bisa bawa kamu juga. Rasanya kayak... cerita hidupku yang lama akhirnya lengkap.”
Aku menoleh padanya, menggenggam tangannya. “aku senang, karena kau gak cuma bawa aku ke tempat-tempat yang kau cintai. Kau juga bawa aku masuk ke dalam semua ceritamu.”
Ia tidak jawab, hanya tersenyum. Tapi kali ini, senyum itu bukan karena hal lucu. Itu senyum yang menenangkan, seperti pagi, seperti rumah, seperti dia.
|Dibawah taratak pesta, pelukan dan tawa||
:Hari Dimana Semua Warna Datang
Siang itu, kota kecil yang biasanya tenang berubah jadi lautan warna. Dari halaman rumah sampai jalan-jalan sempit di sekitarnya, tenda-tenda pesta berdiri megah,papan ucapan selamat berjejeran, dihiasi bunga-bunga segar dan kain warna-warni yang menari ditiup angin.
Kami datang sebagai bagian dari keluarga. Sepupu istriku menikah hari ini, dan dari pagi, rumah mertua sudah ramai oleh suara obrolan, tawa, panggilan anak-anak, dan aroma masakan yang mengepul dari dapur belakang.
Dia berdiri di depan cermin, mematut-matutkan kebayanya. Warna lilac lembut yang dipakainya cocok sekali dengan kulitnya yang bersih. Ia menoleh padaku dan mengangkat alis, seolah menanyakan, "Gimana?"
Aku cuma bisa mengangguk, sedikit terdiam. “Kau tetap cantik dengan berbagai macam versi,” kataku akhirnya.
Dia tertawa. “Udah, jangan dilebihin. Ayo cepatt, udah terlambat kita.”
Kami berangkat jalan kaki, karena lokasi pestanya cuma dua blok dari rumah. Di sepanjang jalan, banyak warga menyapa, anak-anak berlarian, dan suara musik tradisional sudah terdengar dari kejauhan. Irama gondang dan suara taganing seperti memanggil-manggil siapa saja yang lewat untuk ikut bersuka cita.
Begitu sampai, kami langsung disambut keluarga besar. Peluk, salaman, tanya kabar, dan candaan khas orang dikampung yang tulus dan hangat. Aku diperkenalkan pada banyak orang—ada yang masih muda, ada yang sudah sepuh, semuanya menyambut dengan senyum lebar.
“Ini yang dari jauh itu ya?” tanya salah satu tulang sambil menepuk bahuku.
“Benar, Tulang,” jawabku sambil menunduk sopan. Istriku di sebelah hanya senyum-senyum, bangga tapi malu-malu.
Di pelaminan, sang pengantin terlihat sumringah. Mereka berdua dikelilingi keluarga, sahabat, dan musik yang terus mengalun. Meja-meja penuh makanan lezat: saksang, parjambaran, arsik, dan tentu saja tumpukan lemang dan kue tradisional yang entah namanya apa, tapi semuanya enak.
Kami duduk di bawah tratak, makan sambil menikmati suasana. Anak-anak kecil berlarian, ibu-ibu sibuk memanggil nama anaknya, dan para bapak tertawa keras di pojok sambil minum tuak dan kopi.
Sesekali aku dan dia saling pandang dan tertawa kecil—karena seseorang salah nyanyi, atau karena ada tante yang terlalu heboh memeluk kami. Tapi semuanya terasa ringan. Ini bukan hanya pesta pernikahan. Ini rumah yang sedang bersuka cita.
Di satu momen, dia menggenggam tanganku di bawah meja. “Bang,” bisiknya, “Senang ya, bisa lihat keluarga rame kekgini. aku kangen suasana kayak gini.”
Aku menoleh. “Kita nggak cuma datang, tondiikuu... Kita bagian dari mereka.”
Dia hanya mengangguk. senyumnya muncul lagi, senyum yang selalu bisa meneduhkan hari, bahkan di bawah terik matahari sekalipun.
Pesta terus berlangsung hingga sore. Tapi di dalam hati, aku merasa... hari itu sudah sempurna. Bukan karena makanan, bukan karena musik. Tapi karena hari itu, kami datang sebagai pasangan. Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa jadi bagian dari dunia kecilnya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar