Dapur Jiwa ibu Endang
“Saat Tuhan Berteduh di Warung Tua”
“Hee Pol, ibu baru bikin sambel terasi yang nggak pedas lohh,” kata Bu Endang sambil menyalakan kompor.
Poltak mengangguk pelan, duduk di bangku kayu yang kakinya sedikit goyah, tapi ia tak pernah mengeluh. Ada semacam kesetiaan dalam tubuh tua warung itu, seperti juga Bu Endang yang setia menyambut siapa pun, setia pada bumbu, dan setia pada hidup yang tak pernah manis secara utuh.
“Gimana pagi ini, Pol?” tanya Bu Endang, tanpa menoleh.
“yaahh seperti biasanya, Bu.”
lanjut bu Endang,
“Hidup itu seperti nasi putih, kadang hambar, kadang menggumpal. Tapi tanpa dia, ya semua lauk sia-sia.”
Poltak tidak tertawa. Ia menyukai cara Bu Endang menyelipkan filsafat dalam kepulan uap wajan. Ada hal yang lebih dalam dari sekadar humor.
“Buu!!” kata Poltak perlahan, “kenapa Ibu tetap baik meski sering ditipu orang, bahkan oleh teman sendiri?”
Bu Endang diam sebentar, lalu menaruh sendok kayu di atas piring kecil. Ia menatap Poltak dengan mata yang tak lagi terang, tapi dalamnya seperti sumur tua yang memantulkan langit malam.
“Karena kalau aku berhenti baik, aku KEHILANGAN alasan untuk jadi MANUSIA. Yang menipuku, mungkin lupa siapa mereka, tapi aku tidak mau lupa siapa aku.”
Kalimat itu menampar lembut dada Poltak. Ia terdiam, membiarkan aromatik sayur lodeh meresap ke dalam kesunyian hatinya.
Setiap sore, warung itu bukan sekadar tempat makan, tapi tempat di mana dunia berhenti berjalan dan obrolan bisa menjadi altar kejujuran. Poltak dan Bu Endang sering berbicara tanpa suara tinggi, seperti dua biksu dalam meditasi, membicarakan luka sebagai bagian dari kehidupan, bukan hal yang perlu disembunyikan.
Pernah suatu senja, Bu Endang berkata, “Aku pernah jatuh cinta dua kali. Yang pertama mengajariku sakit, yang kedua mengajariku bertahan.”
Poltak menunduk. “Dan aku belum jatuh cinta, Bu.”
“Mungkin karena kamu belum melihat wajah yang bisa menyimpanmu.”
Hari berlalu seperti ombak yang tidak pernah berhenti menari. Lalu pada suatu malam, warung itu tutup lebih awal. Poltak datang, tapi tak ada cahaya dari dalam. Ia menunggu di luar, hanya suara angin dan ranting yang bersentuhan.
Keesokan harinya, Bu Endang kembali. Tampak lebih lelah, matanya sembab. Tapi ia tetap memasak.
“Aku semalam ke rumah Bu Ratna. Dia baru saja ditinggal suaminya. Katanya, dia merasa kosong.”
“Dan Ibu datang untuk mengisi kekosongan itu?”
“Bukan, Pol. Aku hanya datang supaya dia tahu, dia tidak sendiri.”
Poltak menatap perempuan tua itu, yang tangannya mulai bergetar saat menyendokkan nasi, tapi masih stabil saat menyentuh hati. Ia melihat wajah itu, keriput, penuh gurat cerita, tapi tak pernah kehilangan cahayanya.
Suatu hari, Poltak bertanya, “Apa makna hidup itu, Bu?”
Bu Endang menjawab sambil tersenyum, “Bukan soal menemukan makna. Tapi tentang membiarkan makna itu menemukan kita... dalam kasih, dalam setia, dalam luka yang tak ditambal-tambal, yaa itulah hidup.”
Kini, Poltak belum punya pekerjaan. Tapi setiap hari ia datang. Kadang membantu mencuci piring, kadang hanya duduk. Tapi ia terus mencari. Tidak di jalanan kota, tidak di layar komputer. Tapi di wajah Bu Endang, ibu tua yang tak ia kenal saat kecil, tapi kini jadi rumah yang perlahan ia mengerti. Dan mungkin, makna hidup memang tidak terletak di akhir pencarian. Tapi dalam setiap detik kita memilih untuk tetap hadir, tetap manusia, dan tetap punya hati… bahkan ketika dunia terasa hambar. Sebab dalam wajah yang penuh kasih, kadang Tuhan sedang mengintip diam-diam.
_seri kehidupan poltakk
Komentar
Posting Komentar