Ujung bumi itu masih ada Frans!
Ujung Bumi Itu Masih Ada
Poltak duduk sendirian di sebuah bangku, malam telah menyalakan lampu-lampu kota seperti dulu, saat mereka berdua masih menjadi mahasiswa gila di tanah rantau. Tangan kanannya menggenggam gelas air tebu yang sudah hampir habis, sementara pikirannya mengembara ke masa lalu, ke hari-hari ketika motor Revo tua dan Jupiter ‘Sikuda Liar’ melintasi malam, seakan ingin melawan nasib yang tak kunjung berpihak. pernah sekali Poltak dan Frans balapan dengan kedua motor tua itu, dengan nyali yang sudah teruji, Poltak sengaja menyerempet Frans sampai akhirnya dia beserak, dan tawa ngakak pun tak terelakkan.
Frans Girsang. Nama itu muncul seperti bayang-bayang yang terlalu akrab di dalam batinnya. Adek kelas, tapi tak pernah jadi sekadar itu. Ia adalah teman seperjalanan, pengisi sunyi, dan kadang pada malam-malam tertentu, adalah satu-satunya orang yang mengerti bahwa Poltak tidak baik-baik saja, tanpa perlu dijelaskan.
Dulu mereka punya semboyan, “Ujung Bumi.” Tempat di pinggiran kota yang sepi, tinggi, dengan pemandangan desa yang dipenuhi lampu kecil seperti alam yang sedang meredupkan cahaya. Di sana mereka bicara tentang hidup, tentang ketidakadilan, tentang dunia yang terlalu kejam pada hati yang terlalu lembut.
“Tak semua luka perlu sembuh,” kata Frans waktu itu, “tapi semuanya perlu diterima.” katanya dengan wajah serius dan kumis yang bergetar.
Kini Frans telah kembali ke Tanah Karo. Membuka lembaran hidup baru dengan papan bunga, toko kelontong, kebun jeruk, cabai, dan kentang. Pragmatis, tapi jujur. Ia menjalani hidup seperti petani yang tahu bahwa tak semua biji akan tumbuh, tapi TETAP menanam karena itu satu-satunya cara melawan kehampaan.
Sementara Poltak masih di kota ini. Masih bertanya-tanya, masih mencoba menjadi lebih baik, meski dunia seolah tak pernah memberi cukup ruang. Ia berusaha bertahan di tengah kabut harapan dan keraguan yang saling berpelukan.
Malam ini, di tengah sunyi, handphonenya bergetar. Sebuah pesan dari Frans:
“Bang, besok kalau sempat, kita ke ujung bumi lagi. Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk mengingat bahwa kita pernah bertahan. ku kirimkan jeruk dari kampung ya bang.”
Poltak tersenyum. Ada getir. Ada hangat. Dunia belum berubah banyak, tapi mungkin mereka tak perlu menaklukkannya. Cukup duduk di ujung bumi, menatap lampu-lampu kecil di bawah sana, dan saling memeriksa hati lagi.
Mereka tahu, dalam hidup yang tak pernah pasti, pertemuan yang jujur dan perbincangan tanpa topeng adalah kemewahan yang tak bisa dibeli. Dan ujung bumi itu, entah bagaimana, selalu menunggu mereka kembali.
Komentar
Posting Komentar