Gereja 1981: uang, pesta, lelang, dan pidato mingguan. pelayanan? siapa pedulii!

Sebuah ironi menurut sudut pandang Poltak, 

“Gereja 1981: Uang, Pesta, lelang, dan Pidato Mingguan – Pelayanan? Siapa Peduli!”.

Dalam dunia yang semakin materialistis ini, tampaknya gereja, yang seharusnya menjadi tempat perenungan, pertumbuhan iman, dan pengabdian rohani, kini berubah menjadi institusi yang lebih mirip dengan ahh entahlah..., dengan segala KETIDAKJELASAN dan ABSURDITASNYA. Mari kita telusuri sebuah gereja lokal yang sudah berdiri sejak 1981, namun seolah-olah waktunya terhenti pada tahun tersebut. Sebuah gereja dengan 15 orang majelis, 4 pimpinan majelis, dan 1 full-timer yang tidak memahami kawanan dombanya, dan dombanya tak paham dia, dimana umatnya sebagian besar adalah mahasiswa yang hanya singgah di kota tersebut. Namun, di balik segenap rutinitas yang tidak berujung, gereja ini tetap hidup, berfungsi, tapi apakah itu benar-benar hidup? entahlah..jadi begini: 

1. Majelis Lebih Banyak dari Umat: Sebuah Parodi Pelayanan

Mungkin kita harus memulai dengan sebuah pertanyaan dasar: Mengapa ada begitu banyak majelis di gereja ini, lebih banyak dari umat yang sebenarnya? Dalam gereja ini, ada 15 orang majelis untuk hanya 22 Kepala Keluarga (KK), dengan sekitar 55% dari mereka yang datang beribadah. Sungguh, jumlah majelis ini lebih pantas untuk sebuah perusahaan kecil, bukan sebuah gereja yang seharusnya berfokus pada perkembangan rohani umat. Lalu, apa yang mereka lakukan? Seringkali, mereka sibuk dengan masalah administratif, dan hal yang ga jelas lainnya, ya yang tak ada habisnya: target setoran, acara pesta, dan lelang. Ah, ya, lelang...kegiatan gereja yang lebih mirip pasar malam daripada kegiatan spiritual yang justru lebih banyak hal buruknya. Tentu saja, tidak ada yang tampak peduli dengan apakah iman umat ini berkembang, atau bahkan apakah mereka tahu apa itu diakonia atau pemuridan. padahal katanya persekutuan dan pelayanan yang berdampak, tapi ga tau berdampak apa, berdampak buruk? mungkin.. 

Seorang Filsuf Michel Foucault mungkin akan menggambarkan gereja seperti ini sebagai contoh dari "biopolitik" di mana kekuasaan gereja tidak lagi berfungsi untuk PELAYANAN rohani, tetapi lebih untuk pengelolaan dan pengontrolan umatnya. Gereja seharusnya menjadi ruang di mana umat dapat merasakan KEBEBASAN BATIN dan KEDEKATAN dengan Tuhan, bukan sebaliknya, sebuah sistem yang penuh dengan birokrasi dan peraturan yang mengekang jiwa. Di sini, gereja tidak lagi menjadi tempat bersekutu dengan Tuhan, melainkan tempat untuk MENGEKALKAN status quo dan membangun sistem yang justru menggerogoti esensi pelayanan itu sendiri.

2. Full Timer: Seorang Orator Profesional atau?? atau apa ya..

Dan apa yang bisa kita katakan tentang full-timer yang "ditugaskan" dari sinode untuk memimpin gereja ini? Ia mungkin punya gelar dan surat tugas, tetapi sepertinya tidak punya pemahaman mendalam tentang umat yang dia layani. Setiap minggu, ia tampil memberi pidato, yang, jujur saja, lebih MEMBOSANKAN daripada menyegarkan jiwa. Ia tampaknya tidak memahami bagaimana membimbing umat dalam kehidupan rohani yang sebenarnya. Jika kita meminjam pandangan dari filsuf Thomas Aquinas, yang mengajarkan bahwa pelayanan seorang pemimpin rohani harus didasarkan pada kebijaksanaan dan pengertian mendalam tentang kebutuhan umat, maka full-timer ini gagal total dalam memenuhi panggilan tersebut. Di gereja ini, dia lebih mirip seorang PEMBICARA MOTIVASI yang tidak tahu apa yang sedang dia bicarakan. Tidak ada penggembalaan, tidak ada pemuridan, hanya pidato yang diulang-ulang sejak zaman Fir'aun belum sunat. 

Jean-Paul Sartre, dengan pandangannya tentang kebebasan dan tanggung jawab, mungkin akan mengatakan bahwa full-timer ini hanyalah sebuah produk dari sistem yang sudah RUSAK. Tidak ada kebebasan rohani dalam pelayanan seperti ini, karena gereja lebih peduli dengan RUTINITAS dan pencapaian duniawi daripada perkembangan SPIRITUAL umat. Full-timer, yang seharusnya menjadi gembala bagi umatnya, malah menjadi pengulangan ritual yang TAK BERJIWA, yang secara paradoks justru semakin menjauhkan umat dari pengalaman spiritual yang autentik.

3. Gereja sebagai Pusat EUFORIA dan KOMODIFIKASI Iman

Mari berbicara tentang apa yang benar-benar terjadi di gereja ini, uang, pesta, dan lelang. Setiap kegiatan gereja, dari acara sosial hingga lelang amal, tampaknya bertujuan untuk menghasilkan uang, bukan untuk memberkati umat, tetapi untuk memenuhi target setoran yang ditetapkan oleh sinode. Gereja ini lebih fokus pada perhitungan ekonomi daripada pengembangan iman umat. Lalu, pertanyaannya, apa yang umat dapatkan dengan memenuhi target setoran tersebut? Sebuah pertanyaan yang menggantung dan tak pernah dijawab. Apa bentuk feedback yang mereka terima? Apakah ini menjadi transaksi sosial di mana umat menyetor persembahan, dan gereja menyetor uang ke sinode tanpa ada perubahan yang berarti dalam kehidupan rohani mereka?

Menurut kritikus sosial Karl Marx, katanya: agama sering kali menjadi alat untuk mengalihkan perhatian orang dari masalah-masalah duniawi dan memfokuskan mereka pada janji-janji surgawi yang tak terjangkau. Dalam hal ini, gereja berfungsi seperti alat komodifikasi, menjual "persembahan rohani" kepada umat tanpa memberikan mereka kesempatan untuk benar-benar mengalami transformasi batin. Euforia yang terjadi bukanlah euforia rohani, tetapi EUFORIA SOSIAL dan material. Lelang dan pesta bukanlah bentuk pelayanan, melainkan bentuk pembenaran bagi sistem yang hanya memfokuskan diri pada UANG DAN KEKUASAAN.

4. Umat TIDAK merasa Ada yang Aneh,  Apakah Mereka Tuli terhadap Iman?

Yang paling mengherankan dari semua ini adalah bahwa umat, meskipun hidup di tengah semua ketidakjelasan dan kebobrokan ini, tampaknya tidak merasa ANEH. Mereka datang ke gereja, berpartisipasi dalam acara-acara sosial, dan beramah-tamah satu sama lain, tanpa menyadari bahwa unsur-unsur penting yang seharusnya ada dalam gereja, seperti pelayanan kepada yang terpinggirkan, pemuridan, dan pengembangan iman telah menghilang. Mungkin umat sudah terjebak dalam RUTINITAS sosial yang mereka sebut "gereja" dan tidak lagi menyadari bahwa gereja seharusnya adalah tempat untuk MEMPERDALAM iman dan MEMPERBAHARUI janji hidup Kristiani.

Pendapat Filsuf Soren Kierkegaard, yang sangat menekankan pentingnya keberanian untuk menghadapi kebenaran dan menjalani kehidupan yang autentik, mungkin akan mengatakan bahwa umat ini telah kehilangan “LOMPATAN IMAN.” Mereka menjalani kehidupan religius yang DANGKAL, hanya memenuhi kewajiban ritual tanpa menggali makna yang lebih dalam dari iman mereka. Apakah mereka bahkan tahu apa yang seharusnya mereka cari dalam gereja ini? Atau apakah gereja bagi mereka hanya tempat bertemu dan beramah tamah, tempat untuk bersosialisasi, bukan tempat untuk menghadapi TANTANGAN eksistensial iman?

5. Kesimpulannya, Gereja yang Sakit, Tapi Tidak Ada yang Peduli

Jadi, apa yang bisa kita simpulkan dari semua ini? Gereja ini lebih mirip sebuah mesin yang terus berputar, terfokus pada target keuangan dan rutinitas duniawi, sementara esensi dari pelayanan rohani pertumbuhan iman, pemuridan, diakonia dan hal luhur lainnya telah HILANG dalam KEGADUHAN administrasi dan EUFORIA sosial. Gereja ini tidak memberikan FEEDBACK ROHANI kepada umatnya. Mereka hanya diberi target setoran dan hiburan sosial, tanpa ada yang benar-benar membimbing mereka dalam perjalanan iman.

Mungkin inilah alasan mengapa gereja ini tetap STAGNAN. Mungkin inilah alasan mengapa umat tidak merasa ADA YANG ANEH. Karena, pada akhirnya, mereka juga hanya MENGANGGAP gereja sebagai bagian dari RUTINITAS SOSIAL, bukan sebagai tempat untuk menghadapi KEBENARAN iman yang mendalam. Maka, apakah gereja ini masih bisa disebut gereja? Atau hanya sebuah organisasi sosial yang menutupi KEKOSONGAN rohaninya dengan lelang dan pesta? Ini adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh MEREKA yang masih peduli pada esensi sejati dari gereja. 


Kota Loempia, Catatan dari Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati