Bagian I: poltak, marsha, dan RASA yang tak terucap

Poltak, Marsha, dan RASA yang Tak Terucap

Poltak tidak sedang duduk. Ia berjalan pelan menyusuri lorong waktu dalam kepalanya tempat yang setiap sudutnya dihuni kenangan yang tak pernah bisa ia bakar. Tak ada suara, kecuali gema langkah dan serpihan ingatan yang selalu mengantar sebuah entitas, namanya: MARSHA.

Marsha. nama yang tidak pernah ia panggil dengan suara, tapi berkali-kali ia bisikkan dalam doa. Perempuan yang datang tanpa aba-aba, dan pergi tanpa alasan. Ia tidak datang dengan cinta, hanya dengan tawa kecil dan mata yang sulit ditebak arahnya. Tapi cukup untuk membuat Poltak menjatuhkan SELURUH musim dalam dadanya.

Poltak tahu ini bukan cerita tentang keberanian yang terlambat. Ini adalah kisah tentang rasa yang sejak awal memang TIDAK DITAKDIRKAN tumbuh. Bukan karena cinta tak cukup, tapi karena ia tak pernah punya lahan untuk berakar.

Ika, adik satu-satunya, kadang mencuri pandang saat Poltak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia hafal betul arah tatapan itu, nama yang tak pernah disebut, dan luka yang tak pernah DIOBATI. Suatu kali, Ika meletakkan sebuah surat di meja makan. tidak ada amplop, tidak ada perangko, hanya satu nama ditulis di atasnya: MARSHA.

Poltak menatap kertas itu seperti menatap jalan pulang yang tak pernah bisa ia lalui. Bukan karena tak tahu jalan, tapi karena tahu apa yang menunggunya di ujung sana adalah KEHILANGAN yang sama. Ia merobek surat itu dengan tenang. tak ada amarah. tak ada air mata. hanya sebuah kesadaran yang MENYESAKKAN: Bahwa beberapa cerita memang ditulis untuk tidak pernah selesai. dan malam itu, ia menulis satu kalimat pendek bukan surat balasan, hanya bisikan yang ia tujukan pada semesta:

“Sampaikan salamku untuk dia, agar kau mengerti… ingin ku mereguh hatimu, yang hanya tergores dalam lamunanku.”

Sepotong lirik itu ia lipat, ia simpan di antara halaman buku yang tak pernah ia BUKA lagi. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk dikenang dalam senyap. Ika mendekat, duduk di sampingnya. tak bertanya apa-apa. tak ada gunanya menanyai luka yang bahkan sudah tahu caranya MENYAMAR.

Lalu Poltak berkata, “tak semua cinta ingin dimiliki, Nangg. ada yang hanya ingin hidup sebentar dalam DIAM, lalu mati dengan TENANG.” dan malam pun menggulung waktu, seperti biasa. tapi bagi Poltak, waktu itu tak pernah netral. Ia membawa bayangan, dan menaruhnya di bawah kelopak matanya. Karena Marsha bukan masa lalu. Ia adalah RUANG KOSONG yang tidak bisa diisi siapa pun, karena ia tak pernah benar-benar pergi. dan PERASAAN itu… tetap tinggal, tak TERUCAP, tapi ABADI.


Bersambung... 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati