Poltak dan Salib yang Hilang

Di sebuah desa kecil di pegunungan, tinggal seorang pemuda bernama Poltak. Ia Katolik yang taat, dikenal rajin membantu Pastor di gereja, aktif dalam koor, dan hampir tak pernah absen misa, terutama saat Pekan Suci. Di mata warga desa, Poltak adalah calon putra altar sejati, bersih, rohani, dan sopan.

Pekan Suci tahun itu dimulai seperti biasa. Minggu Palma disambut dengan prosesi penuh khidmat. Poltak memimpin barisan anak-anak sambil mengangkat salib kecil dari kayu jati. Pastor memberikan homili singkat tentang pengkhianatan dan pengampunan, dan semua berjalan damai.

Namun, saat persiapan Jumat Agung, satu hal mengejutkan terjadi: salib besar di altar gereja menghilang. Gereja itu hanya punya satu salib besar, buatan tangan dari kayu pohon tua yang hanya tumbuh di puncak gunung. Hilangnya salib itu mengejutkan semua orang. Pastor, bingung dan pucat, memanggil semua pengurus gereja.

“Siapa yang terakhir melihat salib itu?” tanya Pastor.

“Poltak,” jawab seorang ibu. “Dia yang menyapu altar tadi malam.”

Poltak langsung ditanya. Tapi ia hanya menggeleng.

“Tidak, Pastor. Saya bersihkan altar sore kemarin. Salib masih ada saat itu.”

Tapi tak ada bukti. Kecurigaan pun tumbuh diam-diam. Bisik-bisik mulai menyebar: mungkinkah Poltak mengambilnya? Untuk apa? Dijual? Disembunyikan? Atau… semacam ujian iman?

Namun, Pastor tetap memilih untuk diam dan tak menghakimi. Ia hanya mengganti salib besar itu dengan salib kecil seadanya. Misa Jumat Agung tetap berjalan, meski tanpa salib utama.

Sabtu Suci, hujan turun deras. Petir menyambar gunung dan air bah kecil mengalir ke desa. Keesokan paginya, saat fajar Paskah, seorang anak kecil berlari dari lereng bukit sambil berteriak:

“Salibnya ditemukan! Di gua tua dekat air terjun!”

Warga berbondong-bondong ke gua itu. Di sana, tergeletak salib besar yang hilang. Tapi bukan itu saja yang mereka temukan.

Di bawah salib itu, tertidur kaku tubuh Poltak. Ia sudah dingin. Tangannya memeluk kaki salib seperti sedang berdoa. Di sampingnya, ada buku doa kecil milik gereja, basah oleh hujan. Pastor menangis sambil bersimpuh di tanah. Di dalam buku doa itu, pada halaman terakhir, tertulis dengan tinta hitam yang nyaris luntur:

“Tuhan, aku tahu salib-Mu terlalu berat untuk kupikul. Tapi jika aku bisa membawanya satu malam saja untuk merenungkan penderitaan-Mu dalam kesendirian, maka hidupku akan punya arti. Ampunilah aku, karena aku mencintai salib itu melebihi hidupku sendiri.” 

Warga hanya terdiam. Ternyata, malam sebelum Jumat Agung, Poltak diam-diam memanggul salib itu ke gua, tempat ia biasa menyepi, demi mengalami penderitaan Yesus secara pribadi. Ia ingin merasakan apa artinya "memikul salib." Tapi malam itu terlalu dingin, dan tubuh Poltak tak kuat menahan dingin pegunungan.

Misa Paskah pagi itu pun menjadi misa duka. Tapi juga misa harapan. Karena Poltak, yang dicurigai mencuri salib, justru menjadi satu-satunya yang benar-benar memikulnya. Sampai mati. 


_Salib Poltak 

Pemakaman Poltak berlangsung dalam keheningan yang syahdu. Tak ada satu pun warga desa yang tak meneteskan air mata. Dalam kematiannya, Poltak bukan menjadi tersangka, ia menjadi teladan.

Pastor memberkati gua itu dan menancapkan batu peringatan di dekat salib:

> "Di tempat ini, seorang pemuda memikul salib Kristus, bukan hanya di pundaknya, tapi di seluruh hidupnya." Sejak hari itu, setiap malam Kamis Putih, umat dari desa dan kampung tetangga berjalan kaki ke gua itu. Mereka memanggul salib kecil di punggung masing-masing, menyanyikan lagu sengsara dalam kabut gunung, dan berlutut dalam diam. Dan kadang, di saat angin malam bertiup pelan dan kabut menyentuh kulit, beberapa dari mereka bersumpah mendengar suara nyanyian lembut dari balik pohon pinus. Suara tenor yang dulu memimpin koor.

:“Suara Poltak,,

Ia telah pergi, namun jejaknya tertinggal dalam hati setiap orang yang memikul salibnya sendiri dengan cinta yang sama. 


Dalam seri pekan suci 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati