ndann, suratmu masih ku simpan!
Surat yang Tidak Pernah Kutulis, Tapi Selalu Kubaca
Malam-malam itu terasa seperti perang. Bukan perang dengan orang lain, tapi dengan diriku sendiri. dengan rasa lapar yang terus mengetuk, dengan rasa malu yang pelan-pelan mengikis harga diri. dengan bayangan bapak dan ibu di kampung, yang kukira kuat, tapi sebenarnya juga menahan tangis karena tak bisa mengirim belanja. Aku tidak ingin pulang, tapi juga tidak tahu harus bertahan dengan apa. Kampus terasa jauh, bukan karena jarak, tapi karena aku tahu, aku datang ke kelas tanpa sarapan, dan kadang pulang dengan hanya meneguk air.
Mungkin Tuhan sedang menggodaku, pikirku. atau mungkin Dia sedang diam, dan aku sedang dibiarkan belajar mencintai ketiadaan.
Lalu, seperti kilas cahaya yang tidak kucari, ada sebuah surat terselip di celah pintu. amplop putih, tidak istimewa. Tidak ada nama. Tidak ada parfum yang biasa disematkan anak gadis.
Hanya tulisan sederhana: “ini untukmu!.”
Aku membukanya dengan hati yang tidak berharap apa-apa. dan di dalamnya, ada uang—tidak banyak, tapi cukup untuk membuatku menangis tanpa sadar. dan secarik kertas kecil yang hanya berisi beberapa baris:
> Jangan menyerah, Poltak.
Tuhan masih menyertai.
_Anak Allah.
Aku menatap tulisan itu lama sekali. Aku tahu siapa yang mengirimnya. Hanya satu orang yang memanggilku dengan nada setegas itu namun penuh perhatian: Jessica!!!.
Atau seperti yang biasa kupanggil: Komandan. Perempuan yang tak banyak bicara, tapi pandangannya bisa membaca luka yang kusimpan rapi di balik senyum pura-pura. Dia tidak datang membawa pelukan atau air mata.
Dia tidak menguliahi aku soal iman atau pengharapan. Dia hanya memberi, lalu diam.
Diam seperti langit yang tahu caranya menghibur tanah tanpa suara, cukup lewat hujan. Sejak malam itu, aku selalu menyimpan surat itu. bukan karena uangnya sudah lama hilang dan berubah jadi nasi dan air.
Tapi karena surat itu seperti pengingat: bahwa dalam hidup ini, selalu ada satu jiwa yang melihat kita, bahkan saat kita merasa dunia telah menutup mata.
Aku belum pernah membalas surat itu. Belum pernah menuliskan apa-apa kepada Komandan. Mungkin aku takut merusak KEHENINGAN indah yang ia bangun. Atau mungkin karena surat itu, dalam DIAMNYA, telah menyampaikan segala yang perlu disampaikan.
Ia tidak butuh balasan. Ia hanya butuh DILANJUTKAN.
Maka aku belajar menulis, berbicara, dan diam dengan cara yang baru. Belajar memberi, tanpa menuntut diketahui. Belajar MENYENTUH HATI, bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat HADIR yang benar.
Sebab, jika kasih adalah NYALA API, maka surat Komandan adalah KOREK KECIL yang menyalakan kembali hatiku saat hampir padam. Dan aku, hingga hari ini, adalah nyala yang bertahan, bukan karena hebat, tapi karena pernah DISENTUH DIAM-DIAM oleh cinta yang tidak perlu nama.
Komentar
Posting Komentar