Part 3—angannya parcendol
Episode 3: Surat-Surat yang Tak Pernah Terkirim
Pagi itu sedikit berbeda. Angin membawa bau daun kering dan jejak kayu bakar, menyelinap lewat jendela yang terbuka setengah. Di luar, danau masih berselimut kabut, samar-samar seperti ingatan yang mulai pudar namun belum benar-benar hilang.
Dia duduk bersila di lantai kamar, punggungnya bersandar ke lemari tua yang masih disimpan sejak dia remaja. Di pangkuannya, sebuah kotak karton bergambar bunga sakura, agak lembap karena udara kampung yang selalu basah.
"Aku dulu sering nulis surat, Bang," katanya pelan. "Tapi gak pernah kukirim ke siapa-siapa. Aku simpan semua di sini."
Aku menoleh. Ia menyerahkan selembar kertas yang sudah kuning di pinggirnya. Tulisan tangannya masih rapi, sedikit membulat, seperti karakter anak bungsu yang tumbuh dalam ketenangan kampung kecil. Surat itu ditulisnya tahun 2013, dari kota kecil yang disebut orang dalam buku-buku geografi karena danaunya yang indah.
"Kepada siapa pun yang nanti mencintaiku, jangan cari aku di kota. Carilah aku di kampung kecil yang sunyi ini, di jalan setapak dekat pohon jambu. Di sana aku menunggu, dengan hati yang belum banyak tahu, tapi sangat ingin dipahami."
Aku diam. Surat itu menampar pelan sesuatu di dadaku, entah itu rasa syukur atau sesal, aku tak bisa membedakannya. Yang jelas, aku merasa seperti menemukan dirinya sekali lagi. Bukan yang hari ini, bukan yang kini bersamaku, tapi dirinya yang dulu. Yang dulu selalu menatap danau sambil bertanya, "Apakah cintaku juga akan datang dari kejauhan?"
Kami tak banyak bicara pagi itu. Hanya duduk berdampingan, sambil membaca sisa-sisa ingatan yang dilipat rapi. Ia membuka surat demi surat. Beberapa ditulis dengan tinta ungu, satu dua ada gambar hati yang digambar dengan penggaris. Di setiap surat, ada jejak gadis kecil yang tumbuh perlahan, menunggu waktu mempertemukannya dengan laki-laki yang akan mencintainya bukan karena ia pandai, bukan karena ia manis, tapi karena ia adalah rumah.
“Bang,” katanya lirih, “Kamu datang waktu aku gak lagi percaya sama surat-surat ini.”
Aku menoleh. Matanya tidak menatapku, tapi jauh ke luar jendela. Mungkin pada danau yang tak terlihat dari sini, tapi selalu hadir dalam rasa.
“Dan sekarang, aku gak butuh dikirim surat lagi,” lanjutnya, senyum tipis muncul di bibirnya, “Karena pengirimnya sudah tidur di sebelahku tiap malam.”
Aku hanya menunduk, menggenggam tangannya yang dingin karena udara pagi.
Hari itu kami tak ke mana-mana. Tak perlu. Karena ternyata, berjalan-jalan di dalam hati orang yang kita cintai, jauh lebih panjang dari seluruh jalan kampung.
Dan sepiring arsik tadi pagi, kini hanya tinggal duri.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar