Part 4—angannya parcendol

Part 4: Malam, kita dan Kota Itu

Kami menghabiskan malam itu dengan motoran keliling kota kecil tempat istriku dibesarkan. Kota ini memang terkenal, apalagi karena danaunya. Banyak turis datang ke sini, tapi buat dia, kota ini bukan tempat wisata, ini rumah.

Udara malamnya sejuk, jalannya bersih dan tenang. Lampu-lampu jalan temaram, dan beberapa kedai masih buka. Aku yang bawa motor, dia duduk di belakang. Tangannya memeluk pinggangku santai, sesekali ia bicara, menunjuk ke arah bangunan atau jalan yang kami lewati.

“Itu gereja aku dulu. Tempat aku sekolah minggu,” katanya pelan tapi senang. “Dulu aku suka malu-malu kalau disuruh maju ke depan hahaha.” tawanya.

Aku menoleh sedikit, melihat gereja yang besar dan kokoh berdiri di ujung jalan.

“Di pojokan itu, ada martabak manis paling enak sekota ini. Sampai sekarang pun masih rame. dulu aku sama kakak sering ke sana kalau lagi pengen yang manis-manis.”

Kami terus jalan. Kota ini memang nyaman. Ramai tapi nggak berisik. Turis-turis jalan kaki di trotoar, sebagian makan di warung, beberapa duduk santai di tepi jalan sambil ngobrol.

“Yang ini warung sate langganan keluarga aku. Ulang tahun, atau ada yang baru pulang dari luar kota, pasti ke sini. Kayak semacam tradisi kecillah.” terangnya.

Aku suka dengar dia cerita. Nggak dibuat-buat, semuanya datang dari kenangan yang betul-betul dia alami. dan aku merasa diberi kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh lewat kota ini.

Sampai di satu titik, kami berhenti sebentar di perempatan. Ada tiga arah. Aku tanya, “Yang mana nih?”

Dia jawab cepat, “Kiri.”

Tapi ternyata maksudnya adalah jalan yang lurus tapi agak menekuk ke kiri. Sedangkan aku belok ke simpang kiri yang benar-benar belok tajam.

Beberapa menit kemudian aku sadar. “Eh, betulnya jalan kita ini dek?”

Dia cuma ketawa di belakangku. “Salah sih. Tapi gapapa, aku pengen lihat kamu bingung.”

Aku ikut ketawa. Dan jujur aja, aku suka momen kayak gitu. 

Akhirnya kami sampai juga di tepi danau. Airnya tenang, angin semilir sejuk, langit cerah, dan bulan terang banget malam itu. Kami turun dari motor, jalan pelan ke pinggir danau.

Dia duduk di pinggir batu, aku duduk di sebelahnya. Kami ngobrol banyak hal. Tentang masa kecilnya, tentang keluarganya, bahkan tentang hal-hal sepele yang nggak penting tapi bikin nyaman.

Lalu ada momen di mana aku diam. bukan karena nggak ada yang bisa dibicarakan. Tapi karena aku cuma pengen menikmati suasana. Melihat wajahnya yang cantik, mendengar suaranya yang lembut, dan merasa... bersyukur.

Malam itu dia kelihatan cantik sekali. bukan karena bulan, bukan karena danau, tapi karena dia jadi dirinya sendiri. dan itu cukup buat bikin aku berpikir:

“Kalau ada satu tempat yang pengen aku datangi setiap hari sampai tua nanti, itu bukan kota ini. Tapi DIA.”



Bersambung... 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

Cinta disatu ketika