Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Kalau kata si Riska Ovt: Ya betul OVERTHINKING!

ANTARA AKU DAN AKU  Ini bukan tentang solusi. Bukan pula tentang keberanian. Tulisanku ini hanya ingin menjadi selembar bantal bagi siapa saja yang kepalanya terlalu berat menampung keraguan, ketakutan, dan segala hal yang tak selesai. OVERTHINKING , kata orang, dan juga kata adekku, Riska tondii ni abang. Ya begitu katanya...tapi bagiku, itu adalah bentuk lain dari rindu yang belum punya nama. Rindu kepada hidup yang sederhana. Rindu kepada tidur yang damai. Rindu kepada diam yang tak perlu dipertanggungjawabkan. Aku tidak menulis ini untuk mereka yang kuat. Aku menulis untuk mereka yang duduk sendirian pukul dua pagi, yang membuka lembaran kosong bukan untuk berkarya, tapi sekadar ingin merasa ditemani oleh seseorang yang tak akan menghakimi. Jika kau pernah merasa bahwa isi kepalamu adalah penjara, dan kau adalah narapidana yang juga sekaligus sipirnya, maka tulisan ini untukmu. Selamat membaca. Semoga, di antara paragraf-paragraf ini, kau menemukan jeda untuk bernapas, meski ha...

Di Tepi KEGILAAN

Okay jadi begini ceritaku sore ini, biar kutarik lebih dalam ke palung-palung yang lebih sepi. TENTANG KEWARASAN DAN KEGILAAN.  Kewarasan dalam sistem ini bukan lagi soal stabilitas batin, tapi soal kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan ekonomi. Mereka yang bisa menahan tangis di kantor, tetap hadir di pertemuan meski hatinya kosong, dianggap KUAT . Padahal di dalam, jiwa mereka sudah remuk. Sementara GILA di sini bukan sekadar kondisi klinis, tapi simbol dari melawan standar palsu, menolak pura-pura, dan berani hidup sesuai ritme batin sendiri, meski dianggap aneh, gagal, atau bahkan kehilangan tempat di masyarakat.  Jadi, apa benar menjadi waras adalah satu-satunya cara bertahan? Atau justru itu adalah bentuk kekerasan sistemik paling halus?  Jadi Kek gini, sore itu dalam suasana hujan yang dingin, aku duduk berteduh di emperan toko yang katanya sudah tutup sejak pandemi. Tak ada pekerjaan, tak ada panggilan. Hanya ada aku, hujan dan suara kendaraan le...

KEHENINGAN: Pelukan Sunyi, Tempat Terakhir yang tidak Menghakimi

Aku berbaring di dada keheningan, karena hanya ia yang bisa mendengar napas gugupku tanpa menyuruhku tenang. KEHENINGAN: Pelukan Sunyi, Tempat Terakhir yang tidak Menghakimi  Ku pikir…jangan-jangan yang disebut “suara hati” itu cuma suara orang kalah yang tetap nekat ingin menang padahal semua bukti sudah bilang, “Udah, nyerah aja, boyy”.  Tapi aku yang hidup dari nasi bungkus dan ilusi disore hari, aku tidak tahu cara menyerah yang elegan. Kalau menyerah cuma jadi alasan untuk TIDAK BERHARAP , bukankah itu cuma bentuk KEMATIAN pelan-pelan yang DISAMARKAN dengan senyuman?, dan seperti dalam lagu itu, aku pun bertanya, “Haruskah aku menyerah melawan kebisingan?” ya itu kebisingan batin. Jeritan jiwa yang menggumpal dalam tanda tanya.  Ada hari-hari di mana aku iri pada burung. Ia terbang bebas, tak harus menjelaskan pada siapa pun ke mana tujuannya. Ia menyanyi, tanpa perlu validasi dari panggung atau penonton. Aku sudah mencoba mendaki semua bukit. Bukit janji manis ora...

Mungkin Aku Sudah Sampai, Tapi Tak Pernah Tahu di Mana

“Mungkin Aku Sudah Sampai, Tapi Tak Pernah Tahu Di Mana” Nyaris menjadi desah terakhir, aku yang sudah terlalu lama berjalan, lupa arah pulang, lupa siapa diriku, dan lupa mengapa aku mulai. Saat-saat terberat di tahun 2021-2023  Ketika aku belum banyak tahu, hidup ini kuanggap seperti meneguk air dari tempayan tua. Cukup segar, dan tak pernah kusangka akan habis. Aku hidup seperti bocah kampung yang bermain di lumpur kotor, tapi tak peduli apapun. Kupikir menjadi manusia hanya soal menghirup udara dan menghembuskannya kembali. Sesederhana itu. Sesering itulah aku salah paham, tanpa pernah belajar cara menahan napas di tengah kenyataan. Aku berjalan tanpa alasan, karena segala sesuatu seolah menanti untuk ditertawakan. Kupikir luka bisa diobati dengan tidur, dan kehilangan bisa diganti dengan es krim dua rasa. Aku tak tahu bahwa waktu bisa mencuri semuanya tanpa suara, dan tanpa ampun. Tapi itu sebelum aku kenal yang namanya GELORA . Ah gelora... gelombang yang tak bisa kutebak uju...

Ritme yang Tak Tertulis: Pasar yang riuh, Gereja yang sunyi

Aku mengukir cerita, dengan sentuhan sisi terdalam kehidupan sehari-hari, yang mengalir dengan renungan lirih, menggambarkan hidup sebagaimana adanya, sederhana, namun tak pernah kehilangan makna. oleh Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan  Ritme yang Tak Tertulis: Pasar yang riuh, Gereja yang sunyi  Hari itu ulangtahun adikku Riska, sihetel kami yang sudah berumur 22 tahun katanya. Tak ada lilin baru di atas kue, tak ada dekorasi warna-warni seperti dalam gambar di etalase toko roti. Hanya ada syukur yang sunyi, ada doa yang diam-diam mengalir seperti air kecil di sela bebatuan. Kami rayakan dengan sederhana, secukupnya saja, karena hidup pun kadang tak memberi lebih dari itu. Aku, Romo Wirandus, Aglean, dan Dorc. Entah siapa yang menggagas, tapi tiba-tiba saja kami sudah memacu motor menuju Goa Maria Kerep di Ambarawa. Motor kami melaju seperti pelan-pelan menyusuri sunyi, menyisiri waktu yang masih pekat dan sepi. “Santai-santai aja ya guru”, begitu kata si romo wi...

Catatan si kuda Liar #1: Berjalan Tanpa Rem, Berdoa Tanpa Naskah

“AKU DAN KUDA LIAR”  Tak ada yang luar biasa pagi itu, hanya jalan sepi, udara dingin, dan aku di atas motor tua. di sana, pelajaran hidup menepi tanpa suara. Kuda liarku mogok. Tapi yang paling mengejutkan, aku tak ikut rusak bersamanya. oleh Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan  Seperti biasa Langit belum sempurna membuka tirai cahayanya, aku berjalan menuju rumah, ya rumah yang telah kuputuskan menjadi tempatku berpulang. Jam tanganku berbisik, “04.15”. Jalanan masih lengang, hanya suara ban sepeda motor dan nyanyian angin yang menggoda dedaunan menemani langkahku. Tiba-tiba, kuda liarku meringkik tak tenang. Rantainya terlepas seperti ingin bebas dari kendali. Remnya patah, pedalnya copot seperti menyerah pada perjalanan. Dan aku?, aku tertawa kecil… Aku takluk pada kerusakan itu, tidak dengan keluhan, namun  PENERIMAAN . Aku turunkan kaki, kuberi napas pada mesin yang megap-megap, dan perlahan, aku pasang kembali rantai itu dengan tangan telanjang. Kupasang...

Anggii boru payung Part II | MAAF 🙏

“Maaf yang Tak Pernah Sempat Sampai” Di balik barisan kata ini, aku mencoba merangkai ulang puing-puing hati, menuliskan maaf yang tak pernah sempat sampai. Untuk Anggi, yang pernah aku cintai dengan hebatnya, dan kini hanya tinggal dalam ingatan yang menggigil. |kelanjutan dari Anggi boru payung, ketika waktu memaksa lupa  Jika ada dua jenis kehilangan dalam hidup ini. kehilangan karena takdir, dan kehilangan karena diam yang terlalu panjang. Yaa, aku mengalami yang kedua. Dan diamku, seperti batu hitam di dasar sungai, tetap menetap di sana, tak pernah sempat diterapungkan oleh kata maaf. Ada kesedihan yang tidak menangis. Ia hanya duduk diam di sudut hati, menggigil, dan menatap dunia seperti seorang anak yang ditinggal di stasiun yang salah, tak tahu harus pulang ke mana. Dan begitulah aku… sejak kau pergi.  Anggi, Aku menulis ini bukan untuk mengulang kesedihan. Aku tahu, kesedihan yang dikuliti berulang hanya akan membusuk. Tapi barangkali, dengan menulis ini, aku bisa m...