Tepat Waktu untuk Jiwa yang Tertunda


Di suatu malam yang sepi, di mana jam berdetak pelan seperti kenangan yang enggan pergi, aku duduk mendengarkan diriku sendiri. Dan suara itu, lirih, rapuh, namun jujur, bertanya, “Apa makna menikah ketika aku belum mengenal sepenuhnya siapa diriku?”

Aku telah sampai di usia dua puluh delapan tahun. Dalam catatan kalender banyak orang, ini adalah usia matang. Matang seperti buah yang sudah waktunya dipetik. Orangtuaku, saudara-saudaraku, bahkan sanak jauh yang jarang bertegur sapa, tiba-tiba menjadi nabi-nabi kecil yang satu suara berkata, “Menikahlah! Mangoli Ma Ho!”

Namun tidak ada seorang pun yang bertanya, “Bagaimana hatimu?”

Aku bukan pengecut yang lari dari tanggung jawab. Aku juga bukan gunung batu yang menolak cinta. Aku hanyalah seorang manusia yang sedang belajar, perlahan-lahan, untuk tidak menghianati diri sendiri. Bukankah menikah seharusnya bukan tentang menjawab ketakutan orangtua akan masa depan anaknya? Bukan tentang menjadi simbol keberhasilan keluarga? Bukan pula pelarian dari kesepian yang tak tertahankan?. Menikah adalah perjalanan spiritual yang panjang, perjalanan dua jiwa yang merangkai satu langit. Dan langit itu tak cukup hanya digambar dengan tangan orang lain.

Kalau saja orangtuaku tahu, betapa aku sering terbangun malam-malam, bertanya-tanya, “Adakah cinta di luar sana yang bisa tumbuh dari ketulusan, bukan dari desakan waktu?”. Aku belum punya pekerjaan tetap. Dan mungkin dari kaca mata dunia, aku belum pantas. Tapi apa itu pantas, jika hanya diukur dari gaji dan status? Apakah layak menikah ketika jiwa masih rapuh, ketika malam masih sering menjadi ruang pertanyaan dan bukan tempat peristirahatan?. Aku sedang bertumbuh. Di ladang sunyi yang jarang dilihat orang. Di dalam doa-doa tak bersuara yang sering hanya aku dan Tuhan yang tahu. Bukankah tanah yang belum ditaburi benih tak patut dipaksa berbuah?

Bukan tak mau mencintai. Aku hanya takut memberi setengah dari diriku, lalu menuntut yang lain untuk menggenapinya. Beberapa pernah bilang, “Orang harus berhenti menjadi bayang-bayang.” Dan aku takut menjadi bayangan dari harapan orangtuaku, takut menjadi boneka dari naskah yang tidak KUTULIS sendiri. Kalau pernikahan adalah panggung, aku ingin tampil dengan naskah yang kusepakati bersama lawan mainku, bukan naskah warisan, yang tak kukenal dari siapa asalnya.

Sering aku membayangkan duduk bersama orangtuaku, menatap mata mereka dengan gemetar berkata, “Aku tahu kalian ingin melihatku bahagia. Tapi biarkan aku menemukan jalan itu dengan kakiku sendiri.” Aku ingin mereka tahu, bahwa aku sedang tidak menunda, aku sedang menyusun pondasi. Karena rumah tanpa pondasi hanya akan jadi tempat beristirahat sementara, bukan tempat berteduh dari badai. Aku ingin mereka tahu, bahwa anakmu ini bukan batu yang beku, tapi sungai yang sedang mencari jalannya, kadang membelok, kadang pelan, kadang mengering, tapi tak pernah berhenti mengalir.

Menikah bukan ujian nasional yang harus diselesaikan sebelum usia tiga puluh. Ia adalah PEZIARAHAN. Kadang butuh waktu, kadang tersesat, tapi selalu punya arah. Aku tidak menolak cinta, aku sedang membuka diri kepadanya, tapi bukan dengan paksaan, bukan dengan tenggat, melainkan dengan kebijaksanaan yang datang dari keheningan dan luka yang telah kuakrabi. Kalau suatu hari aku menikah, biarlah itu bukan karena aku kalah oleh tekanan, tapi karena aku menang melawan ketakutanku sendiri. Biarlah pernikahan itu menjadi taman, bukan jeruji. Menjadi tempat bertumbuh, bukan tempat menyusutkan siapa diriku.

Bila malam ini, Tuhan mendengarkanku menulis dengan air mata yang nyaris kering, semoga Ia tahu bahwa aku tidak sedang menolak kodrat, aku sedang mempersiapkan ruangnya, agar ketika cinta datang, aku tak hanya menyambutnya sebagai tamu, tapi merawatnya sebagai rumah.

Di dunia yang bising ini, aku sedang belajar menikah dalam sunyi. Bersama waktu, bersama keyakinan, bersama luka yang perlahan menjadi cahaya. Dan jika kelak aku menjadi milik seseorang, biarlah itu bukan karena dunia menyuruhku, tapi karena jiwaku memilihnya dalam keadaan utuh. “Karena yang tergesa akan patah, dan yang tak dipahami akan menghancurkan. Sedang cinta, selalu butuh waktu, seperti pohon yang bertumbuh pelan, namun mengakar dalam.”


Poltak, sipendongeng miskin yang tak berwawasan 

Smg/July 25


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

Cinta disatu ketika