Si Tulang Freeport: “Datang Tanpa Oleh-Oleh, Pergi Tanpa Kenang-Kenangan”
Si Tulang Freeport: “Datang Tanpa Oleh-Oleh, Pergi Tanpa Kenang-Kenangan”
(Catatan singkat dari pertemuan yang terburu-buru, oleh Poltak si pendongeng miskin)
“Horas...!!!” Begitulah aku membuka pintu rumah tua di perempatan jalan itu. Sejenak kulihat bangunan itu tampak rapuh di mataku, tapi di dalamnya tersimpan ribuan kenangan yang tak lapuk oleh waktu. “Bahh, na ro do lae!” seru seseorang dari dalam. Itu suara Lae Amani El Tamba, yang masih saja berseloroh seperti dulu. Tak lama, anak-anak berlarian menyalamiku, tangan kecil mereka menggenggam erat tanganku. Ada dua puluhan jumlahnya cucu-cucu dari namboru kami, Op Prando boru, yang telah pergi setahun lalu. Aku datang terlambat, bahkan untuk sekadar melihat wajahnya yang terakhir.
Di dapur, tanpa banyak kata, Ito Nai Paima sudah menyeduh kopi hitam untukku. Ia istri dari Lae Riwal, si bungsu di rumah itu, yang baru saja menikah tiga hari lalu. Aku pun tak sempat hadir di hari bahagia mereka. “Selamat berbahagia da ito,” ucapku sambil menyalami mereka berdua. Sekadar ucapan, tapi semoga cukup untuk menunjukkan bahwa aku datang bukan sekadar berkunjung, melainkan menebus waktu yang telah hilang. Lae Pak Leon datang tiba-tiba. Seperti biasa, candanya mengisi ruang. “Bawa inang bao itunya Lae ini pulang!” serunya. Kami tertawa keras, dan aku menjawab, “Hahaha... dang tarpikir dope tusi bah lae.” Tawa kami seolah menambal kekakuan waktu yang terlalu lama tak bersua.
Amangboru, lelaki tua yang masih gagah itu, menatapku tajam tapi hangat. Ia masih ingat siapa aku. “Ai boasa songon na songgot parro ni tulang?” katanya. Aku pun menjawab pelan, “Ehee... na singgah do amangboru. Naing hu siattar do hami. Mamboan inanguda hakim au sian Semarang.” Senyumnya merekah, dan aku tahu ia menerima jawabanku sebagai bentuk kepulangan yang tulus, meski tanpa membawa apa-apa.
Kami duduk santai di pojok rumah. Kursi kayu tua itu menopang pertemuan yang pendek tapi bermakna. Anak-anak telah 'diamankan', kata Ito Mak Sani. “Jangan ribut yaa... tulang datang itu dari Jawa...” bisiknya pada mereka. Dalam adat kami, jika pihak tulang datang berkunjung ke rumah namboru, penyambutannya begitu hangat dan penuh hormat. Tapi aku tahu diri. Aku hanya perantau yang datang tanpa keberhasilan apa-apa. Ya... santai sajalah, kataku dalam hati. Jangan terlalu dihormat, aku bukan siapa-siapa.
Waktu kami terlalu singkat. Belum satu jam aku di sana. Tapi dalam waktu yang sesingkat itu, seakan sepotong masa lalu berhasil kuraih kembali. Rumah itu, tawa itu, anak-anak yang saling berdesakan minta disapa, semuanya menghangatkan dadaku.
Sambil menyeruput kopi hitam dari tangan Ito Nai Paima, aku termenung. “Sayang sekali,” pikirku, “aku datang belum jadi siapa-siapa. Tak membawa apa-apa.” Anak-anak itu pasti bahagia kalau kuberi hadiah kecil, salam tempel, atau bahkan permen. Sekadar kenang-kenangan dari Tulang-nya yang datang jauh dari Jawa. Tapi ya, apa daya. Aku hanyalah tulang pendongeng miskin. Jadi ku ingat dulu waktu kecil, waktu Tulang kami datang dari perantauan, meskipun ibu kami mengajarkan untuk tidak meminta, tapi Tulang memberi. Dan itu... kebahagiaan yang tak pernah kulupa. Mungkin karena itu aku ingat sampai sekarang. Karena ternyata, hal kecil dari orang dewasa bisa menjadi kenangan panjang bagi anak-anak.
Kepulanganku ini bukan di waktu yang baik. Tapi, kapan sebenarnya waktu yang baik itu? Apakah harus menunggu sampai berhasil dulu baru boleh pulang? Entahlah. Kata pepatah, HACCIT DO MANIMPALHON NA SO ADA, sulit memberi dari apa yang tidak ada. Mungkin itu yang sedang aku jalani hari ini. Tapi aku tahu... Mamak dan Bapakku pasti mengerti. Demikian juga keluarga besar di rumah ini. Aku hanya mohon doa, agar tetap sehat, tetap kuat, dan tetap punya harapan. Dunia ini tidak mudah, tapi aku tetap ingin menjadi orang baik.
Kopi hitam di cangkir masih mengepul, harum dan pahitnya terasa akrab. Kami duduk melingkar di ruang belakang rumah tua itu, bersandar di kursi kayu yang sudah aus dimakan waktu, tapi masih kokoh menopang percakapan keluarga yang lama terpisah.
Lae Pak Leon membuka cerita. Nada suaranya datar, tapi sorot matanya menyimpan kesedihan yang tak bisa disembunyikan. “Boha ma Lae, tikki adong dope hinan namboru ni Lae sai ro do iba nanggo pala mangan loppa-loppanni namboru ni Lae i. Sonari dang adong be, sepi ma tahe.” Tak ada yang langsung menyahut. Semua terdiam, seperti memberi ruang bagi kenangan yang muncul bersama kata-kata itu. Rumah ini memang terasa berbeda sekarang. Sepi. Dulu, selama namboru kami masih hidup, ada kehidupan yang hangat, terasa dari aroma masakan, suara langkahnya, bahkan senyum diam-diamnya saat menyambut anak-anak yang pulang tanpa kabar. Kini, setelah kepergiannya, rumah ini seperti kehilangan denyutnya.
Lae El mengangguk pelan. Ia tak banyak bicara, tapi dari raut wajahnya terlihat ia juga memendam rindu yang sama. Rumah itu dulunya tempat bernaung, tempat pulang untuk sekadar mencicipi masakan ibu mereka, melepaskan lelah, atau menyambung kembali kasih yang tak terucap.
Lae Riwal menambahkan, “Rumah ini ramai karena kami baru selesai acara tiga hari lalu Lae, Jadi banyak keluarga yang pulang, dan anak-anak cucu amangboru dan namboru lae semua kumpul di sini.” Aku tersenyum sambil mengangguk. Memang benar, di tengah kesepian karena kehilangan, pernikahan itu membawa kegembiraan kecil. Sekurangnya rumah ini bisa tertawa lagi, walau hanya sebentar.
Diluar rumah terdengar suara ayam berkokok. Lae Pak El tertawa ringan dan mulai menceritakan tentang usaha ternak ayam yang sedang mereka jalani bersama Lae Riwal. “Ayam kampung sama ayam potong, itu yang kami usahakan lae,” katanya. “ Ya kek gitulah Lae, kadang bagus, kadang turun. Harganya fluktuatif. Pakan naik, ayam sakit, cuaca juga nggak nentu. Tapi ya tetaplah kami kerjakan.” Lae Riwal ikut menyambung, “Kemarin harga bagus Lek, sekarang turun lagi. Belum lagi kalau musim hujan, rawan penyakit. Tapi ya, ini yang kami punya. Hidup dari sininya dobah Laekku...”
Dari dapur, Ito Mak Sani ikut menimpali sambil membawa piringan pisang goreng, “Dikampungku di Sigalingging sana, hidup awakpun gitu-gitu ajanya ito, aku pulang dari mengajar SD langsung ke ladang. Bantu Lae-mu situmorang ini markantang, markol, sama martomat. Kami tanam juga jagung, cabai, apa saja yang bisa tumbuhlah tahe.” begitu katanya. Aku menatap mereka satu per satu. Mereka hidup sederhana, tapi tak pernah kehilangan semangat. Di kampung, orang-orang seperti mereka ini yang terus menjaga api kehidupan tetap menyala, meskipun hanya dengan bahan bakar seadanya.
Obrolan berlanjut. Anak-anak namboru yang lain ikut bercerita tentang kehidupan mereka, satu per satu. Tentang anak yang mau masuk kuliah, tentang ternak babi yang baru lahir, tentang panen yang tahun ini gagal karena logo ari. Semua bicara tanpa beban, saling menguatkan, saling menertawakan kesusahan, seolah kesulitan sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Sampai akhirnya Lae Pak Leon menoleh kepadaku. Ia tersenyum lebar dan bertanya, “Terus Lae, kek mana di Jawa? Apa kegiatan kita di sana?”
Aku tahu pertanyaan itu bukan soal pekerjaan. Tapi soal hidupku yang entah sedang ke arah mana. Aku meletakkan cangkir kopiku yang tinggal setengah, lalu menjawab dengan nada ringan.
“Ya begitulah, Lae... masih Freeport. Kadang free, kadang repot,” kataku.
Seketika tawa mereka pecah, serentak dan lepas. “Hahahaha... ya cocok lah itu Lae,” kata Lae Pak El sambil menepuk pahaku. “Kalau kekgitu, hidupmu fleksibel, Lae!” seru yang lain.
Aku ikut tertawa, tapi dalam hati aku sadar... Dibalik candaku itu, ada ketidaktahuan yang tak bisa kututupi. Hidupku memang masih terombang-ambing. Tak sepenuhnya repot, tapi juga belum sepenuhnya mapan. Tapi kupikir, mungkin bukan keberhasilan yang mereka butuhkan dariku, melainkan kehadiran yang tak asing. Tapi bukankah tawa memang sering jadi cara kita menyembunyikan kebingungan hidup? Mungkin mereka tahu, mungkin tidak. Tapi rasanya... mereka mengerti.
Tak lama kemudian, aku dan Inanguda Hakim berpamitan. Kami memang hanya mampir sebentar. Sebelum pergi, aku pandangi sekali lagi rumah itu. Anak-anak masih melambaikan tangan. Mungkin mereka tak tahu siapa aku. Tapi semoga kelak mereka mengingat... bahwa pernah ada Tulang dari Jawa, datang diam-diam, singkat, namun penuh cinta. Aku pun memacu mobil ke Pematang Siantar. Di kaca spion, rumah tua itu mengecil, lalu hilang. Tapi dalam hatiku, ia tetap besar. Seperti doa yang mengendap dalam kopi hitam, pahit, tapi menghangatkan.
Duri, 01July25
Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan
Komentar
Posting Komentar