Langkah Sunyi Seekor Petarung
Sementara langit sore melukis dirinya di atas atap biara Murti ini, aku masih duduk sendiri di ujung kasur tua yang lusuh, masih mendengar suara angin merambat pelan, seperti bisikan ibu yang menyuruhku pulang, lembut dan penuh desakan. Aku tak menjawab. Bukan karena aku tak ingin pulang, bukan karena hatiku telah dingin oleh kota, hanya karena ada sesuatu yang belum selesai dalam diriku sendiri. Dan aku tak ingin pulang dengan hati yang masih compang-camping.
Sejak dinyatakan lulus dari Undip, dari kota perjuangan yang telah menyeka peluh dan air mata, aku menetap di sudut kota ini. Bukan kota besar. Tapi cukup sepi untuk membuatku mengenal kembali suara nafasku sendiri. Di ruang biara ini, hari-hari berganti tanpa kejutan. Pagi datang seperti biasa, membawa matahari yang sayu. Dan malam datang pelan-pelan, seperti kenangan yang tak pernah hilang.
Orangtuaku, dari kampung jauh di tanah yang subur, terus bertanya, “Kapan kau pulang, Nak? Di sana apa yang kau cari?” Aku hanya tersenyum dalam diam. Aku tahu mereka tidak paham, bahwa tak semua orang bisa segera pulang. Ada yang harus menunggu dirinya utuh lebih dulu. Dan aku… aku masih belajar menyusun serpih-serpih diriku yang patah.
Tidak ada kawan di sini. Tidak ada sahabat yang bisa diajak berbagi kegelisahan jam dua pagi. Tapi aku tak menyesal. Karena aku percaya, dengan segala caranya yang aneh, kadang menyakitkan, kadang terlalu sunyi, Tuhan masih ada di sisiku. Mungkin Ia duduk di sampingku saat aku menuliskan doa-doa dalam diam. Mungkin Ia menyentuh bahuku saat aku mulai gemetar menahan tangis. Aku percaya, bahkan ketika tak ada tangan yang menggenggamku, ada tangan-Nya yang tak pernah lepas.
Aku tidak sedang ingin dianggap kuat. Aku hanya tak ingin hidup sebagai bayang-bayang orang lain. Biarlah aku sendiri. Biarlah tak ada yang memanggil namaku di antara keramaian. Asal aku tetap bisa mendengar suara hatiku sendiri, dan tahu ke mana langkahku ditujukan, diantara orang-orang yang tampak tenang, hidupnya jelas, jalannya terang. Meski aku… seperti harimau yang dibuang ke rimba asing, harus belajar mencakar dari luka-lukanya sendiri. Tapi harimau tak pernah meminta duka untuk dilihat. Ia bertahan dalam diam. Ia berburu tanpa perlu menampakkan dirinya. Begitulah aku. Terlihat lemah. Mungkin orang menganggapku melarikan diri dari kehidupan. Tapi tidak. Aku hanya sedang memilih jalan sunyi yang lebih jujur untukku. Bahkan jika suatu saat nanti aku tak meninggalkan nama, biarlah... karena akupun tak sedang hidup untuk dikenang, aku hanya ingin menjalani hidup ini dengan utuh dan penuh.
Bahkan jika kelak Tuhan memanggilku sebelum aku sempat membahagiakan orangtuaku, biarlah kata maafku tercatat dalam setiap malam yang kulalui sendiri. Dan bila dunia menutup pintu-pintunya padaku, biarlah aku duduk di tangga surga yang paling rendah, asal aku tahu, bahwa aku pernah hidup sebagai aku, dengan segala luka, sepi, dan nyala kecil yang tak pernah padam. Aku masih berjalan…Di jalan yang tidak dipilih orang banyak. Jalan yang sunyi, dan di sinilah aku menjadi diriku sendiri.
Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan
Komentar
Posting Komentar