Empati yang diharamkan, [Membunuh Rasa]| Menguliti Kekosongan Stoik
Empati yang diharamkan, [Membunuh Rasa]| Menguliti Kekosongan Stoik
Di atas sebuah kapal kayu tua yang berderak pelan menyusuri perairan Danau Toba, dari Tigaras menuju Simanindo, aku duduk diam. Langit seperti terselip dalam genangan air raksasa itu. Tenang. Datar. Sunyi. Angin menyentuh wajahku seperti tangan seorang ibu yang sedang meninabobokan kesedihan. Tapi justru di saat seperti inilah, aku melihat ketabahan yang tak utuh, dan kekosongan yang menyaru sebagai kebijaksanaan. Aku duduk di bangku kayu, sedikit menjauh dari keramaian, dan memandangi air danau yang tak berkedip. Diam. Datar. Seolah ingin membuktikan pada dunia bahwa semua bisa dihadapi dengan tenang, jika kita cukup tabah. Tapi betulkah ketenangan selalu berarti kebijaksanaan?
Di antara deretan bangku penumpang, para pedagang kecil berkeliling, menawarkan jeruk, minuman dingin, dan potong-potong kue kampung dalam plastik yang mulai kusam. Wajah mereka menua bukan karena usia, tapi karena terlalu sering ditolak. Terlalu sering berharap. Terlalu sering menahan rasa malu yang ditelan bersama senyum pura-pura. Mereka tak menjual dagangan, mereka menjual harapan kecil, “Diho kassang on ito, tuhor jo ito, baenma nah, asa adong dongan marnonang…” Wajah mereka tak kerasukan semangat kapitalisme. Mereka tak sedang melakukan pemasaran strategis. Mereka sedang bertahan hidup.
Yang menarik, banyak penumpang membeli dari mereka bukan karena butuh. Bukan karena lapar, atau haus. Tapi karena... iba. Iba yang lahir dari melihat tubuh kurus dan suara lirih. Iba yang muncul saat tatapan memohon menyentuh lubuk hati yang barangkali sudah lama ditutup oleh kesibukan kota. Dan di situlah, di titik rapuh itulah, aku tiba-tiba teringat pada Stoisisme, sebuah paham yang sering dipuja sebagai solusi hidup modern. Filsafat yang mengajarkan kita untuk tidak larut dalam emosi. Untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal di luar kendali kita. Untuk tabah, tenang, menerima, dan melampaui gejolak batin. Rasional. Stabil. Dingin bila perlu. Tapi melihat para pedagang itu, dan wajah-wajah penumpang yang tergerak membeli hanya karena rasa iba, saya tergugah oleh satu pertanyaan, Apakah dunia akan tetap manusiawi jika semua orang menjadi Stoik yang sempurna?
Bayangkan, jika semua orang di kapal itu mempraktikkan Stoisisme secara ekstrem, Mereka tidak akan membeli dagangan, karena tidak butuh. Mereka tidak akan tergerak oleh emosi, karena “itu di luar kendali”. Mereka akan tenang, netral, tidak terpengaruh oleh penderitaan orang lain. Dan para pedagang itu... akan pulang dengan tangan hampa. Dengan luka yang lebih dalam dari sekadar penolakan. Luka karena dianggap tidak cukup penting untuk mengganggu ketenangan orang lain.
Ketabahan yang diajarkan Stoik memang memikat. Ia menawarkan pelampiasan tanpa kemarahan, penerimaan tanpa air mata, kekuatan tanpa harus merasa. Tapi justru di sanalah letak bahayanya, KETABAHAN yang MEMBUNUH rasa. Dalam psikologi modern, menekan emosi secara terus-menerus bukan hanya tidak sehat, ia bisa menyebabkan trauma yang tersembunyi, kelelahan emosional, bahkan rasa keterasingan dari diri sendiri. Otak kita, secara neurologis, membutuhkan ruang untuk menangis, marah, cemas, dan berharap. Emosi bukan kebocoran logika, ia adalah peta yang menuntun kita memahami kemanusiaan. Dan lebih jauh dari itu, jika ketabahan membuat kita tidak lagi terganggu oleh penderitaan sesama, bukankah kita telah kehilangan sesuatu yang paling mendasar dari menjadi manusia?
Aku tidak sedang menolak Stoisism sepenuhnya. Dalam situasi tertentu, ia bisa menjadi JANGKAR ketika hidup terombang-ambing. Tapi Stoisisme yang terlalu murni, terlalu steril dari RASA, justru berpotensi menumpulkan sensitivitas etis kita. KITA MENJADI TENANG, tapi JUGA TUMPUL. KITA MENJADI KUAT, tapi JUGA BEKU. Kita belajar untuk tidak larut dalam perasaan, tapi kemudian lupa bagaimana rasanya merasakan. Stoisisme bisa membuat kita tahan banting, tapi bisa juga menjadikan kita tahan terhadap tangis anak kecil yang lapar, tahan terhadap suara ibu yang meminta tolong, tahan terhadap realitas bahwa tidak semua orang punya kemewahan untuk “MENERIMA NASIB” dengan elegan.
Aku percaya, rasa iba bukan kelemahan. Ia adalah keberanian untuk terganggu. Ia adalah kejujuran batin yang belum dikuasai oleh nalar yang ingin menang sendiri. Ia adalah sisa-sisa cahaya di dunia yang mulai menganggap empati sebagai beban. Hari itu, di kapal kayu sederhana yang mengapung di atas danau yang luas, aku tidak sedang belajar tentang tenang. Aku belajar tentang guncangan yang menyelamatkan hati. Bahwa kadang, yang membuat kita tetap manusia bukanlah kemampuan untuk MENAHAN RASA, tapi keberanian untuk MENGALAMINYA.
Ketenangan yang dibanggakan para Stoik itu, bila salah tempat dan salah arah, bisa menjelma jadi SIKAP APATIS. Ia bisa jadi alasan untuk tidak peduli, untuk tidak peduli kepada wajah-wajah yang memelas, kepada perjuangan sunyi para pedagang kecil yang tidak butuh nasihat, tapi butuh belas kasih. Rasa iba adalah bentuk paling manusiawi dari gangguan batin. Dan itu bukan kelemahan. Itu adalah tanda bahwa hati kita belum beku.
Stoikisme ingin kita tahan rasa, tekan amarah, tanggalkan keluh kesah. Tapi bagaimana jika semua itu justru adalah bagian dari kebijaksanaan yang jujur, Bagaimana kalau perasaan marah terhadap ketidakadilan, sedih atas kehilangan, dan iba terhadap penderitaan adalah cara jiwa berteriak bahwa dunia ini tak sedang baik-baik saja? Apa artinya tenang, jika di baliknya kita mati rasa?
Aku jadi berpikir, jika hari itu semua orang di kapal itu adalah Stoik sejati, mungkin tak seorang pun akan membeli dari para pedagang itu. Tak seorang pun akan terganggu. Tak seorang pun akan merasa iba. Dan di sinilah bahayanya, dunia bisa jadi sangat tenang… dan sangat kejam. Di atas air yang tenang itu, aku menggugat ketabahan yang membunuh rasa. Aku mulai percaya bahwa perasaan bukanlah musuh. Kadang justru perasaanlah yang membuat kita tetap manusia.
Tigaras-Simalungun, July 2025
Poltak, Pendongeng miskin yang tak berwawasan
Komentar
Posting Komentar