Catatan Kuda Liar #2: “Pesan Cinta dari sudut Parkiran Biara Murti ”
AKU DAN KUDA LIAR #2: “Pesan Cinta dari sudut Parkiran Biara Murti”
Oleh Poltak, si pendongeng miskin yang tak berwawasan
Sudah hampir sebulan, kuda liarku terdiam di sudut parkiran Biara Murti ini. Ia tidak lagi meringkik di pagi hari, tidak lagi menggelitik telingaku dengan dengungan tuanya yang khas, tak lagi membawaku menjelajahi kota dengan angin yang mengusap pelipis dan kenangan yang jatuh satu-satu dari langit malam. Dan setiap aku membuka pintu kamar kecilku, entah mengapa, selalu kutemui dia di sana. Diam. Lusuh. Tapi penuh makna. Seperti patung kenangan yang tak meminta untuk dikenang, namun hadir tanpa perlu diundang. Dia ada, bukan hanya sebagai benda, tapi sebagai tubuh yang dahulu pernah bersamaku menanggung beban. Seperti tubuh yang mengerti luka, tapi tak pernah mengeluh.
Aku menyebutnya kuda liar bukan pula karena dia buas, cuma karena dia bebas. Bebas dari gengsi, bebas dari aturan kesempurnaan. Dia tak muda lagi, dan aku pun demikian. Mungkin itu sebabnya kami bisa menyatu dalam diam yang saling memahami, dalam tua yang tidak pernah kami sesali. Dia tak malu pada karat di tubuhnya, dan aku tak malu menungganginya di tengah hiruk-pikuk kendaraan yang lebih muda, lebih bertenaga, dan tentu lebih gagah. Dan tak sedikit pun ada malu dalam hatiku saat duduk di atas tubuh tuanya. Justru malahan ada semacam keintiman yang hanya dimengerti oleh mereka yang telah lama menua bersama sesuatu. Seperti cinta diam seorang istri tua pada suaminya yang tak lagi tampan, tapi pernah menjadi rumah saat dunia mendinginkan hati.
Setiap aku mengelus batok kepalanya, ya batok getar itu, yang dulu sering kupukul pelan tiap kali ia susah hidup, aku tidak sekadar menyentuh besi tua. Aku menyentuh kenangan. Aku menyentuh hari-hari di mana aku gagal, tapi tetap pulang. Hari-hari di mana aku menangis, tapi tak hancur. Dia tahu malam-malam ketika aku mengelilingi kota ini bukan karena senang, tapi karena tak tahu harus bercerita kemana. Dia tahu beratnya langkahku, bahkan saat gas kupelintir sampai mentok. Dia adalah saksi, bukan dari keberhasilan, tapi dari keberanian untuk tetap berjalan di tengah kegagalan. Dia tahu betul rasa asin air mataku, yang tak pernah kuusap, yang kubiarkan jatuh, karena kadang, yang terbaik dari luka adalah membiarkannya mengalir bersama angin dan aspal.
Di parkiran ini, dia diam. Tapi dalam diam itu, ada semacam bisikan yang bercahaya. Seperti ada api kecil yang tak padam, hanya karena waktu belum lagi meminta untuk menyala. Dan aku tahu, bukan hanya aku yang menua. Dia pun, dalam usianya yang renta, tetap bersetia, tetap menunggu, tetap diam dalam setia yang tak memaksa. Katanya, hidup bukan sekadar berjalan, tapi menyimak. Maka aku menyimak dia, kuda liarku, dari jendela kamar biara ini. Dalam kesunyian dan usia yang terus menua, dia mengajariku makna kesetiaan, bahwa kesetiaan bukan hanya soal menemani yang sukses, tapi hadir dalam seluruh proses, entah itu retak, luka, bahkan ketika aku nyaris ingin menyerah.
Angin seakan menyelinap lewat embun di kaca jendela, berbisik, “Jika cintamu tak bisa memberimu kedamaian, maka itu bukan cinta, tapi kegaduhan.” Maka aku tahu, hubunganku dengan kuda liarku bukan sekadar keterikatan benda dan manusia. Ini cinta, dalam bentuknya yang paling sunyi. Cinta yang tidak membutuhkan keindahan, tapi justru menemukan keindahan dalam keterbatasan. Dan pagi-pagi di biara ini, meski tak lagi kuisi dengan deru roda dan gelegar knalpot, tetap penuh perjalanan. Perjalanan ke dalam. Karena dalam diamnya kuda liarku, aku justru belajar mendengar suara-suara terdalam. Bahwa ada perjalanan yang tak membutuhkan jarak, hanya membutuhkan keberanian untuk diam.
Aku tak pernah menganggap kuda liarku rusak. Dia hanya sedang rehat. Dan mungkin, akulah yang sedang butuh diam lebih panjang. Di usianya, dan di usiaku yang juga tak lagi muda, kami saling memberi jeda. Saling menyembuhkan luka. Kami tidak lagi tergesa-gesa seperti dulu. Hari ini, aku kembali membuka pintu kamar. Dia masih di sana. Diam, tapi menyala. Dan aku tahu, bahkan ketika tak ada suara, tak ada gerak, tak ada perjalanan… hubungan kami tetap berlangsung. Dalam sunyi yang tak membeku. Dalam cinta yang tak berisik. Dalam kesetiaan yang tak perlu diumumkan.
Catatan kuda liar #2 ini bukan tentang perjalanan ke mana-mana. Tapi tentang perjalanan pulang… ke dalam. Yang pada akhirnya, di sinilah aku mengerti, bahwa dalam hidup, tak semua hal harus dipacu. Ada saatnya kita berhenti, duduk bersama yang diam, dan saling menyembuhkan. Karena kadang, kendaraan paling bijak bukan yang membawamu ke tempat jauh, tapi yang diam bersamamu saat kau kehilangan arah.
Komentar
Posting Komentar