Anggii boru payung Part III: Sejauh Jalan Menuju Lupa

 Sore itu, jalan raya tidak begitu padat. Langit mendung seolah menimbang apakah perlu menangis atau cukup mendung saja. Di tengah perjalanan menuju Nasmoco, handphone-ku bergetar pelan, mengusik diam yang sejak tadi kutumpangi. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari adikku di Sumatra. 

Gambar tangkapan layar. Anggi. 

Ia duduk bersama seorang pria, tersenyum. Senyum pria itu teduh. Tampak seperti seseorang yang sudah lama mengenal damai, atau setidaknya bisa membuat seseorang percaya bahwa damai itu mungkin. Mungkin, dialah lelaki yang kini menggenggam tangan Anggi, yang dulu sempat kugenggam namun terlepas karena sebab yang bahkan hingga kini tak seluruhnya kupahami.

Adikku, dengan gaya khasnya yang setengah menggoda dan setengah menyindir, menulis, “Bangg... lihat ini haa. Dia aja udah dapat penggantimu. Kau kok lalap kek gitu-gitu aja?” Disertai emot ketawa.

Kubalas dengan pendek, “Wahh, puji Tuhan. Turut mendoakan yang terbaik.”

Tapi sebenarnya, siapa yang benar-benar tulus saat mengatakan kalimat itu dalam perih? Doa itu ada, tapi luka pun belum sepenuhnya tiada. Aku belajar, rupanya tak semua kehilangan bisa dibungkus dengan “tulus”. Ada yang tetap membekas, meski kita tak lagi ingin memilikinya.

Setibanya di bengkel Nasmoco, aku, Romo, dan Bang Diko membawa mobil venturer ganteng itu ke toko ban Bridgestone. Akan ada perjalanan jauh ke Sumatra Utara dua hari lagi. Ribuan kilometer. Mungkin itu cukup jauh untuk meninggalkan bayang-bayang Anggi, atau malah cukup panjang untuk membuatku kembali mengingat semuanya. Saat teknisi mengganti ban, aku berdiri di samping, berpura-pura sibuk memperhatikan. Tapi benakku melayang pada potongan pesan tadi. Ada rasa lega yang tak bisa kuterjemahkan ketika tahu bahwa Anggi telah menemukan cinta yang baru. Tapi ada juga kekosongan yang menganga diam-diam. Mungkin karena aku belum menemukan pengganti, atau jangan-jangan aku belum selesai berdamai dengan yang lama. Aku tidak tahu. Aku ini lelaki yang terlalu pandai menahan rasa, tapi payah untuk jujur pada diri sendiri. Apakah ini tentang penyesalan? Atau tentang kehilangan yang tidak selesai dicatat?..

“Mas... mas...!” Teriakan teknisi itu menyadarkanku dari lamunan. Ia bertanya berapa tekanan udara ban yang kuinginkan. Aku jawab sekenanya.

Setelah semua selesai, kami ke DP Mall. Bang Diko lapar, dan Voorhanger Krisna ikut datang dengan motornya. Di tengah riuh orang-orang yang menikmati akhir pekan, aku masih seperti orang asing dalam kepalaku sendiri. Seperti berjalan di antara keramaian, tapi tetap merasa sendirian. Kami pilih tempat makan. Makanan-makanan enak akhirnya datang. Dan sejenak aku lupa segalanya. Lidahku sibuk, dan batinku akhirnya diam. Tapi semua itu hanya sementara. Setelah pulang dan kembali ke biara Murti, aku duduk sendiri, menyeduh air jahe tawar. Panasnya menjalar pelan, membasuh tenggorokan yang sejak tadi bisu. Dan di situ, di sudut malam, aku baru benar-benar mendengar diriku. Aku ini seperti hujan yang tertahan di langit. Tak jadi jatuh, tapi juga tak bisa pergi. Anggi sudah menemukan rumahnya, sementara aku masih berteduh di bawah kenangan. Dan mungkin, memang begitulah aku. Lelaki yang tidak benar-benar ditinggalkan, tapi juga tidak pernah benar-benar dipilih. Lelaki yang tak lagi mencintai, tapi belum bisa berhenti merindukan. Aku tidak merasa ingin kembali. Hanya saja sepertinya masih menggenggam kisah yang belum selesai.

Hidup terus berjalan, memang. Meninggalkan warisan kenangan yang tak bisa kita warisi, hanya bisa dikenang. Dan kadang, dalam diam kita tahu, bukan kehilangan yang menyakitkan, tapi kenyataan bahwa kita tak pernah cukup berani mengakui bahwa kita belum benar-benar siap untuk ditinggal. Kini, aku menutup malam dengan sisa jahe hangat di gelas kecilku, dan bisik yang lirih dalam hati, “Anggi, semoga benar kau bahagia.” 


Biara Murti 127B-26June25 

Poltak sipendongeng miskin yang tak berwawasan..




Komentar

Postingan populer dari blog ini

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

Cinta disatu ketika