Aglean, Kak Yuni, Cici F, Hertati boruku, Ongke, Pak Artha, Brigitta, dan Bang Andiko: Saksi Diam dari Luka² yang Kutulis

Kalau dirimang-rimangi, memang ada banyak hal yang tak pernah bisa kita peluk hanya dengan tangan, tapi barangkali kita mampu rasakan hingga jauh ke dasar dada. Salah satunya adalah... KEHADIRAN.

Tulisan-tulisan yang kutorehkan di binder ini lahir bukan dari keindahan, dia lahir dari luka yang tak bisa ditidurkan. Aku tidak bermaksud ingin mengajari siapa pun, hanya karena aku takut meledak oleh kesunyian yang terlalu lama meng-karat. Namun siapa sangka, di balik layar dan sunyi internet, ada orang-orang yang membaca. Singgah, bukan sekadar lewat. Bukan sekadar menatap, tapi menyimak dengan hati. 

Tulisan ini adalah penghormatan kecil bagi mereka para sahabat tak bernama yang diam-diam menjadi rumah bagi kata-kataku yang rapuh. Mereka, yang tak pernah lewat tanpa membaca. Maka inilah tulisanku untuk kalian. Ini bukan sebagai penutup dari semua cerita, cuma sebagai tanda, bahwa aku melihatmu, aku mengingatmu, dan aku menulis ini untukmu.


Aglean, Kak Yuni, Cici Franika, Hertati Boruku, Ongke, Pak Artha, Brigitta, dan Bang Andiko” 

Catatan Terimakasih dari Pendongeng Miskin untuk mereka yang Selalu Setia 

Hari itu berganti tanpa janji, seperti biasanya. Langit di luar jendela tak memamerkan bintang, hanya kelam yang menggantung seperti kenangan yang tak pernah ada habisnya. Di dalam kamar kecilku yang pengap, cahaya dari layar handphone menari di wajahku yang mulai kehilangan arah. Detik waktu tak terdengar, tapi ada suara kecil yang memecah kesunyian, ya itu notifikasi dari binderguretanku@blogspot.com 

Seseorang kembali membaca. Bukan tulisan baru, melainkan coretan lama. Sebuah catatan luka yang kutulis tanpa bermaksud membuatnya menjadi penting, ku tulis hanya agar aku tidak hancur sendirian. Tapi ada yang kembali padanya. Ke laman itu. Lagi dan lagi. Aku terdiam. Ada desir hangat yang melintas, seperti angin dari masa kecil yang datang tiba-tiba menggugurkan gugusan sepi yang kian hari makin berat di dada. Siapa gerangan yang membaca segenap luka itu, padahal aku sendiri tak sanggup mengingatnya tanpa getir. 

Jadi begini, selama ini aku menulis bukan karena ingin diakui. Aku menulis karena aku kehilangan saluran untuk berbicara. Aku kehilangan ruang untuk bersuara. Sudah setahun aku menganggur. Tak ada panggilan kerja, tak ada pintu yang terbuka. Cinta pun ikut patah, dan hatiku seperti bangkai perahu yang kandas entah di pantai mana. Sepipun duduk di sebelahku setiap hari, meminjamkan lututnya untuk kutangisi, lalu pergi tanpa menghapus air mataku. Menulis bagiku, bukan soal kemampuan menyusun diksi. Menulis adalah cara agar aku tetap waras, agar aku tahu bahwa aku masih ada meski nyaris punah dari percakapan dunia. Dan kadang-kadang, aku bahkan menulis agar aku tahu bahwa aku pernah hidup, yang kelak menjadi artefak bagi mereka yang menemukan. 

Aku kira binder ini akan seperti ruang kosong lain yang kutinggalkan, sepi dan tak berbentuk. Tapi aku salah. Ada mereka, orang-orang yang datang tanpa suara, yang hadir dengan segenap hati. 

Ada Aglean Visecia Sinaga, adik kecilku yang banyak gaya tapi berhati cahaya. Walau sering kutoyor kepalanya dengan sayang, tentu saja ia membaca tulisanku seperti seorang biarawati membaca kitab doa, pelan, khusyuk, dan nyaris berkaca-kaca. Ia menangkap luka-luka itu, memeluknya dengan ketulusan yang hanya dimiliki mereka yang hatinya dilahirkan dari langit. 

Ada Kak Yuni Silalahi, kakak dari Sumatra yang tak sekadar membaca. Ia menyelami. Ia ikut menangis bersama kalimat yang seharusnya tak lagi menyedihkan. Kini, kabarnya sedang kurang sehat. Dari jauh, aku berdoa diam-diam untuknya, sebagaimana ia pun selalu diam-diam mendoakanku. 

Ada Cici Franika Purba, yang datang tanpa aba-aba, hadir dan menetap. Semangatnya menyala, matanya menari di setiap bait, dan ia memilih tetap tinggal meski tulisanku lebih sering pahit daripada manis.

Ada Hertati Silaban, boruku yang sedang menata masa depan di kota kecil di pesisir barat Sumatra. Ia mengajar dengan hati, belajar dengan haus, dan membaca tulisanku seperti mencari peta rahasia untuk melangkah. Boruku, semoga bunga hatimu tetap mekar meski dikelilingi duri sawit yang tak kau pilih. Dan kiranya Tuhan memberimu kekuatan dalam mencerdaskan generasi bangsa ini. 

Ada Ongke Damanik, adik yang matang dalam berpikir, dewasa dalam menyimak. Ia menyerap bukan hanya kalimat, tapi makna di balik diam.

Ada Pak Artha Uly Simanungkalit, bapak satu anak yang tetap lucu meski usia kian berlari. Kehadirannya adalah semacam jendela yang membiarkan cahaya masuk di pagi yang dingin. 

Dan tentu saja, Pak Dokter Andiko Damanik, Ia tak hanya menyembuhkan tubuh yang sakit, tapi juga diam-diam menyembuhkan jiwaku lewat tanggapannya yang cerdas dan jenaka. Kamsia, pak dokter! Kam mungkin tak sadar betapa pentingnya kam hadir di binder lusuh ini. Tuhan yang turut serta dalam membangun kehidupan dikemudian hari, menemani dan menghantarkan kam pada cita-cita. 

Dan ada satu nama yang tidak bisa kulewatkan. Jiwanya tak lahir dari tubuh, melainkan dari kehendak angin yang tak pernah tiba. Brigitta, ia seperti doa yang tak pernah kupanjatkan, tapi selalu kuamini dalam diam. 

Brigitta MvK. Cewek cantik dengan rambut bob cut yang menawan itu. Ia bukan sekadar pembaca, ia nyaris jadi kami. Senyumnya bisa menembus benteng pertahanan yang kubangun dari patah demi patah, dan suaranya… ah, suaranya lembut seperti suara hujan yang turun di malam paling sepi. Responnya selalu tak terduga, ia tak berkata banyak, tapi setiap geraknya seperti kabut tipis yang tahu cara menyentuh luka tanpa menyakitinya. Dan, Semoga kau menemukan apa yang kau cari, dek Gitt.  Dunia ini besar, aku percaya Tuhan sudah menaruh tanda-tanda di sepanjang jalanmu. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku hanya ingin kau tahu, kehadiranmu pernah jadi cahaya kecil di hari yang sangat gelap.

Mereka semua, yang kusebut maupun yang tak sempat kusebut, telah menjadi langit dari puing-puing atap yang hampir roboh ini. Mereka hadir dalam diam, membaca dalam senyap, menyimpan setiap kata layaknya rahasia bersama.

Dari semua tulisan yang pernah kutulis, mungkin tulisan tentang Anggi adalah yang paling mengguncangkanku. Bukan pulak karena tulisan itu yang paling baik, tapi karena ia paling jujur. Ketika aku menuliskannya, aku seperti menumpahkan air mata terakhir dari sumur yang hampir kering. Dan yang membuatku terdiam lama adalah ketika kak Yuni dan Aglean meresponsnya dengan getir, dengan keheningan panjang dalam komentar pendek. Mungkin bukan soal isi. Tapi karena rasa yang sama. Kesedihan yang tak bisa dijelaskan tapi dimengerti.

Memang tulisan ini tidak dibungkus pita. Tidak akan ada paket yang datang ke rumah kalian dengan label TERIMAKASIH. Tapi izinkan aku menghadiahkan catatan ini, sebagai tanda bahwa aku melihat kalian. Bahwa aku ingat. Bahwa aku menulis bukan untuk dunia, tapi untuk kalian yang tetap tinggal. “Tulisan ini ku pahat bukan karena aku pandai memilih kata, tapi karena kalian tak pernah berhenti membacanya.” Meski begitu, kalau suatu waktu kalian berhenti membaca, tak apa. Ketahuilah, sebelum itu terjadi, kalian sudah menolong seseorang untuk tetap hidup dengan cara yang tak kalian sadari.

Untuk yang tak tersebutkan. mungkin kita tak akan pernah berjumpa. Tak saling tahu wajah. Tak tahu suara. Tapi bukankah hidup ini lebih sering dijaga oleh yang tak kasat mata? Bukankah banyak cinta tumbuh tidak karena sentuhan, tapi karena pemahaman? Kita tak tahu wajah masing-masing. Tapi bukankah jiwa-jiwa yang saling membaca jauh lebih dalam daripada sekadar menyapa?. 

Di zaman ketika semuanya cepat, kalian memilih untuk membaca pelan-pelan. Di dunia yang penuh huru-hara, kalian memilih untuk diam bersama tulisanku yang ganjil dan patah-patah ini. Itulah mengapa aku percaya, bahwa menulis masih punya arti. Dan kalian, pembaca setia yang tak pernah lewat tanpa membaca, telah menjadi bukti paling indah dari kesunyian yang berubah menjadi perjumpaan. Terimakasih telah menjadi saksi dari hidupku yang nyaris diam. Dan semoga, tulisan ini menjadi semacam pelukan dalam bentuk kalimat, yang menemani kalian di malam-malam sepi kalian sendiri.


Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan – Biara Murti, July 2025 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

Cinta disatu ketika