Ambia dekkk: “Adik yang Kupilih, Bukan yang Kupunya”
Ambia dekkk: “Adik yang Kupilih, Bukan yang Kupunya”
Ini bukan surat rindu, bukan pula permohonan maaf. Ini adalah sepotong jiwa yang tetap tinggal, bahkan ketika pintu telah ditutup dari dalam. Begini cara diamku tetap mengasihimu, bahkan ketika kau tak lagi menoleh, karena Beberapa kasih tidak bersuara, tapi ia menetap. Dan tulisan ini adalah buktinya.
Dalam hidup yang tak selalu dapat dijelaskan dengan kata-kata, di antara hari-hari yang terus berjalan tanpa suara, aku menyimpan satu nama di dalam dada, dan aku menemukan, adekku Egi Maulana Risky Damanik. Bukan sekandung atau pun sedarah, namun sejak hari pertama mengenalnya lima tahun lalu, sesuatu dalam diriku perlahan memanggilnya, mbia dekk...
Aku mengingatnya bukan sebagai luka, melainkan sesuatu yang pernah hidup dan belum sepenuhnya mati. Kami lahir tidak dari rahim yang sama. Tapi sejak langkah-langkahnya tiba di kota ini, dan matanya mencari tempat bernama rumah, hatiku diam-diam membuka pintu. Mungkin karena aku tak punya adik lelaki, maka ketika dia datang seperti embun yang lambat-lambat mengendap di pagi buta, aku tahu…aku menerimanya bukan sebagai tamu, tapi sebagai bagian dari rumah yang tak pernah lengkap. Aku ingin membersamainya dengan banyak peristiwa. Seperti bumi menjaga benih yang tak minta ditumbuhkan.
Aku mengantarnya ke kamar kost pertamanya. Mencarikan segala yang diperlukannya, menyusun ruang agar ia bisa merasa teduh. Pernah saat tubuhnya dilanda demam, kekhawatiranku menggigil lebih dulu daripada panas di dahinya. Dimomen lain aku mendengarnya bercerita tentang perempuan-perempuan yang membuat jantungnya tak tenang, tentang visi misinya membangun organisasi perhimpunan² mahasiswa Simalungun, dan organisasi lainnya, bahkan tentang idealisme yang mulai letih, dan tentang rekaman nyanyian-nyanyian kami yang tak kunjung selesai. Tak ada yang ditahannya dariku. Dan aku, aku selalu duduk di sampingnya, tak banyak bicara, tapi mencatat setiap keheningan yang ia bagikan.
Namun lihatlah kami sekarang. Dua batu yang pernah saling menghangatkan kini saling membeku. Kami ada, tapi tak hadir. Kami tahu, tapi tak saling menoleh. Kami saling mengenang, tapi tak saling menjangkau. Ada sesuatu dalam dirinya yang perlahan menjauh, dan ada sesuatu dalam diriku yang tak bisa menahan untuk tidak mengambil jarak. Ada sikapnya yang tak dapat kuterima, tapi lidahku terlalu takut menjadi pisau, maka aku memilih diam sebagai lentera, berharap ia paham bahwa nyala tak selalu harus terang. Aku tak ingin membunuh kepercayaan yang pernah tumbuh di antara kami, hanya karena aku tak pandai mengatur kata menjadi puisi untuk menegurnya. Aku hanya tahu, bahwa kasih, jika terlalu sering diceramahkan, akan berubah menjadi dinding. Dan aku tidak ingin jadi itu. Aku ingin tetap jadi tanah, yang bisa ia pijak, bahkan jika ia lupa berterima kasih.
Kau tahu, pernah suatu sore ke petang, kami duduk di tepi empang disudut kota ini. Hanya kami berdua dan seutas tali pancing yang membelah permukaan air. Di sanalah aku berkata, “Jangan tiru jalanku. Apa yang kutempuh bukan sesuatu yang layak untuk diwariskan.” aku menepuk pundaknya, berkata “Mari kita selesaikan sama-sama”. Tapi suaraku itu seperti riak kecil di permukaan air, sebentar lalu tenggelam. Tak ada gelombang. Tak ada jawaban. Hanya sunyi. Yang aku tahu ia sedang bergumul. Tentang SESUATU yang belum selesai, tentang beban yang tak bisa ia ucapkan. Tapi aku bimbang, harus mendekapnya dengan cara apa? Bila kutanya, ia mungkin diam. Bila kutunggu, ia mungkin lupa. Aku hanya tak sanggup melihatnya mengerut dalam dirinya sendiri, sementara aku berdiri di luar, mengetuk hati yang tak kunjung terbuka.
Dulu, di saat-saat tergelapku, ia hadir. Tak melakukan banyak hal. Tapi keberadaannya diam, hadir, dan jujur, seperti cahaya lilin yang cukup untuk menuntun langkah. Dan kini, saat cahayanya sendiri mulai redup, aku ingin membalas, tapi tak tahu harus dengan apa. Apa arti perhatian jika yang dikasihi menutup jendela? Apa arti kasih jika tidak dipahami sebagai kasih?, begitulah pertanyaan yang sering berputar-putar dikepalaku, padahal semua itu hanya kelemahanku memahaminya.
Aku sering membuka album-album lama. Foto-foto kami tertawa, Video rekaman kami bernyanyi bersama, atau gambar kami berdiri di antara teman-teman yang sekarang pun mulai menjauh. Dan setiap kali kulihat wajah itu, wajah yang selalu kugenggam dengan doa, ada bagian dari dadaku yang meleleh dalam diam. Remuk dan hancur. Ada sekali, saat Yudi sidang kita duduk bersama, tertawa bersama, itu membuatku mengingat dan memutar kembali kenangan waktu kita pernah melewati banyak hal dengan tawa yang lebih nyaring lagi. Sungguh aku merindukan situasi itu.
Sekarang, jika dia ingin mendengarkan suara terdalam dari hati ini, aku ingin berpesan kepadanya dengan suara yang lirih,
“Dekk...belakangan ini, aku melihat ada sesuatu yang hilang darimu. Bukan tubuhmu, ataupun suaramu, tapi cahaya yang dulu berkedip dalam matamu. Tatapanmu kini datar, seperti danau yang kehilangan angin. Langkahmu lesu, seperti orang yang berjalan tanpa tahu ia akan ke mana. Dan kedua tanganmu, yang dulu menggenggam dunia dengan keyakinan, kini menggantung seperti daun yang letih menunggu jatuh. Aku melihatnya. Aku menyadarinya. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya hadir di sisimu tanpa menjadi bayangan yang mengganggu.
Aku takut kehadiranku justru menjadi suara yang menyesakkan, seolah aku datang membawa tuntutan, atau membawa ingatan tentang harapan yang kau anggap beban. Padahal aku hanya ingin duduk. Di sampingmu. Tanpa kata. Tanpa nasihat. Tanpa tuntutan. Hanya duduk, dan diam bersamamu. Jika perlu menangis, mari kita menangis bersama tanpa suara. Jika tak sanggup berkata-kata, mari kita menyatu dalam sepi. Karena aku adalah kau, dan kau adalah aku. Tak ada yang harus dijelaskan ketika kasih sudah cukup menjadi pengertian. Kita bukan saudara yang lahir dari tubuh yang sama, tapi aku memilihmu. Dan pilihan itu bukan perasaan sesaat, ia adalah keputusan jiwa yang diam-diam bersumpah di hadapan langit.
Aku tahu mungkin bagimu, aku hanyalah seseorang dari pinggiran. Seseorang yang pernah penting tapi kini tak lagi berarti. Tapi andai kau tahu bagaimana rasanya menyaksikanmu kehilangan diri sendiri, bagaimana rasanya menjadi seseorang yang tak tahu harus menolong dengan cara apa, bagaimana rasanya menyimpan cinta yang tidak bisa diucapkan karena takut melukai, kau akan tahu bahwa diamku bukan pengabaian. Diamku adalah bentuk tertinggi dari harap yang tidak ingin menambah beban. Aku ingin sekali menjadi teladan untukmu, bukan karena aku lebih baik, tapi karena aku ingin menghadirkan kesetiaan di hidupmu yang barangkali belum pernah sungguh kau temui. Sebab dunia ini kejam bagi orang-orang yang rapuh dan menyembunyikan luka.
Dan kau, dengan segala kerasnya kepalamu, aku tahu hatimu adalah tempat yang lembut, yang tidak ingin dikasihani, tapi sangat butuh dicintai. Aku tak ingin jadi guru, tak ingin jadi pelindung, aku hanya ingin menjadi tanah yang kau tahu tak akan pergi, sekalipun kau menanam luka, aku akan tetap menyuburkanmu dengan kasih yang tidak meminta kembali.
Seperti pepatah namatua berkata, “Dohor pe hasoman partubuh, dohoran do hasoman parhundul.” Sekalipun tubuh terpisah, biarlah kasih tetap dekat. Sekalipun darah tak mengalir sama, biarlah jiwa menyatu dalam pengertian yang tak bisa diputuskan oleh waktu. Dan jika kelak rambutku memutih, jika tubuh ini mulai membungkuk dan waktu mengikis semua yang sempat kita bangun, aku hanya ingin tahu satu hal, bahwa dalam suatu masa hidupmu, kau pernah menjadi adik yang sungguh ku kasihi.
Bahkan jika kau kini menganggapku tidak penting, aku tetap berdiri di sini, memanggil namamu dalam doa yang tidak bersuara. Aku tahu, kasih tak bisa memaksa. Ia seperti angin yang harus datang sendiri, atau ia bukan apa-apa. Maka biarlah waktu membawanya kembali, atau tidak sama sekali. Tapi ketika hari nanti menua, dan dunia tak lagi memanggil namaku, aku ingin kau tahu, Ada seseorang di masa lalumu yang pernah menyebutmu adik. Dan menyebutmu begitu bukan karena kewajiban, tapi karena cinta yang tak pandai bicara. Cinta yang tidak mencari sorot lampu. Cinta yang memilih menjadi tanah, tempat seseorang menapakkan kaki, lalu pergi.
Dan jika kau masih tak mengerti, atau memilih tak mengingat, biarlah. Sebab kasih sejati tak tumbuh dari pengakuan. Ia tumbuh dari kehilangan. Dari diam. Dari keyakinan bahwa mencintai pun bisa menjadi jalan pulang, walau tak pernah disambut di pintu. Kasih sejati tidak pernah berhenti karena ditolak. Ia tetap tinggal, seperti air yang menunggu retakan tanah agar bisa meresapi sampai kedalamannya. Ia tetap percaya, seperti fajar yang kembali meski malam selalu membunuhnya.
Dan aku…di sinilah aku. Masih memanggilmu ambia dekk, dalam sunyi yang tak kau dengar. Masih berharap, kau menemukan kembali tanganmu yang bisa menggenggam. Matamu yang bisa melihat terang. Dan dirimu yang dulu berjalan dengan gempita.”
Untukmu adikku yang kehilangan nyalanya, dan untuk diriku yang tetap mencintainya dalam remuk yang tak bersuara. Aku yang memilih menyebutnya dekk. Meski dengan segala keras kepalanya, keangkuhannya, kelam dan terang dalam dirinya, aku tetap berdiri di tempat yang sama, dengan tangan yang tetap terbuka, walau tak lagi kelihatan.
Tembalang, June 2025
Komentar
Posting Komentar